1

Pendidikan yang Memiskinkan; Membaca Kembali Kritik Pendidikan “menohok” ala Darmaningtyas

Posted by Unknown on 21.47 in
Ketika mendengar nama Darmaningtyas, telinga kita tentu sudah tak asing lagi. Beliau adalah orang yang bisa dikatakan nomor wahid yang secara lantang dan berani melontarkan kritikan-kritikan tajam terhadap aktualisasi pendidikan di negeri ini, dan beberapa kritikannya yang lain adalah mengenai transportasi di Indonesia. Dalam tulisan singkat ini akan secara spesifik saya uraikan pandangan-pandangan Darmaningtyas yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan yang Memiskinkan”, terbitan Galang Press Yogyakarta. Buku ini bukan buku yang secara kronologis membahas satu tema atau masalah secara spesifik dan metodologis semacam buku hasil riset tesis atau disertasi, melainkan adalah buku hasil kumpulan artikel-artikelnya yang berserakan di berbagai media massa. Akan tetapi kita tak perlu bingung memahami dan membacanya, karena secara garis besar, editor telah menyusunnya secara sistematis sesuai dengan tema-tema khusus yang mudah dapat kita cermati. Secara garis besar, kumpulan artikel dalam buku ini berisi kritik-kritik mengenai praktek pendidikan di tanah air selama pemerintahan Orde Baru (baca: pemerintahan Presiden Soeharto) yang meliputi segala lini masalah pendidikan, mulai dari makna pendidikan, kebijakan menteri pendidikan, kurikulum, profesi guru, buku ajar pendidikan, wajib belajar, sekolah unggulan, komersialisasi pendidikan, dan permasalahan di perguruan tinggi. Semua tersaji dalam 10 bab yang tertata secara sistematis.

Pendidikan pada Era Orde Baru
            Darmaningtyas merekam hampir seluruh fenomena yang terjadi di dunia pendidikan semenjak masa ia sekolah, itu dapat kita temui dalam beberapa kalimat dalam tulisannya yang banyak merefleksi kasus penidikan yang dia alami dahulu di bangku sekolah, kemudian ia bandingkan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi saat tulisan itu di buat, yaitu selama masa pemerintahan orde baru, sekitar tahun 1982-1990, atau sebelum era reformasi. Yaitu era di mana rakyat Indonesia sedang terninabobokkan kalau tidak boleh disebut “ketakutan” dengan rezim yang repressif dan otoriter saat itu. Tulisan-tulisannya sangat cermat dan teliti menyoroti kasus demi kasus yang sifatnya sangat kontekstual. Orang yang baru lahir atau baru dewasa di era reformasi mungkin akan menemukan fakta-fakta baru yang belum pernah ditemuinya. Kurang lebih (lebih banyak kurangnya) kritik Darmaningtyas terhadap fenomena pendidikan pada masa rezim orde baru dapat dikelompokkan dalam tiga hal, antara lain: pendidikan menjadi wahana indoktrinasi ideologi, pendidikan menjadi sapi perah industri tekstil dan pariwisata, dan pendidikan menjadi aktifitas yang menyengsarakan masyarakat.

Pendidikan sebagai Wahana Indoktrinasi Ideologi
            Di masa orde baru, pemerintah menjadikan pendidikan sebagai alat “pemaksaan” penanaman ideologi yang cukup massif, dimana tentunya ditujukan untuk melanggengkan status quo saat itu. Pertama, yang dilakukan adalah penggantian mata pelajaran Kewarganegaraan (civic education) menjadi PMP (Pendidikan Moral Pancasila) sejak tahun 1976. Pelajaran kewarganegaraan mengajarkan para siswa untuk mengetahui hak-hak dan kewajibannya sebagai warga Negara, begitupun sebaliknya Negara sebagai sebuah institusi kepada rakyatnya. Implikasinya adalah nantinya akan dihasilkan anak-anak yang kritis terhadap segala kebijakan pemerintah dengan mengetahui akan apa saja yang menjadi haknya. Akan tetapi pelajaran PMP tekanannya lebih diarahkan pada menjadikan siswa menjadi oang-orang yang patuh dan taat pada ideologi negara saja, tapi tak pernah diajarkan tentang apa saja yang menjadi hak-haknya. Produknya adalah orang-orang yang taat, patuh, pengecut, tidak kritis serta tidak pernah memiliki prinsip sendiri. Kedua, adalah pemberian materi penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang harus diikuti semua murid mulai TK sampai Perguruan Tinggi dan juga para gurunya. Sejak tahun 1983-1997, penataran P4 menjadi kewajiban yang harus diikuti oleh setiap murid baru. Ketiga, pemberian materi pada pelajaran sejarah yang terlalu menekankan pada peristiwa 1965-1966 yang menampilkan penguasa orde baru sebagai pahlawan dalam memberantas PKI (Partai Komunis Indonesia), eksploitasi berlebihan kekejaman PKI dan heroiknya angkatan darat dalam menyelamatkan pancasila. Keempat, pada masa Pelita III diadakan peraturan seragam wajib merah-putih untuk SD, biru-putih untuk SMP, dan abu-abu-putih untuk SMA (SMTA). Dimana sebelumnya seragam sekolah itu dibebaskan memakai pakaian seperti apa yang dikehendaki oleh masing-masing sekolah. Kelima, adanya penambahan mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), yang tumpang tindih dengan materi sejarah, dimana muatannya  dimaksudkan untuk menyenangkan kekuatan politik yang dominan, yaitu ABRI, terutama Angkatan Darat. Kemudian keenam adalah dibentuknya PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang menjadi alat kontrol penguasa terhadap suara-suara yang kritis dari para guru. Dimana PGRI saat itu adalah organisasi profesi yang menjadi basis pendukung partai Golkar (Golongan Karya) pada saat itu.

Pendidikan Menjadi Sapi Perah Industri Tekstil dan Pariwisata
            Pada era 1970an, pemerintah juga sedang meggalakkan pertumbuhan industri tekstil dan pariwisata. Pendidikan menjadi pangsa pasar (sapi perah) dua industri tersebut. Industri tekstil mendapatkan peningkatan pendapatan yang signifikan setelah diberlakukannya peraturan wajib menggunakan seragam, pada masa menteri Daoed Joesoef. Sedangkan Industri pariwisata mendapat momentumnya ketita hampir semua sekolah mewajibkan program study tour bagi setiap angakatannya tiap tahun. Dua kewajiban yang sengaja dibentuk itu sudah barang tentu akan meningkatkan produktifitas dua macam industri tersebut dan lagi-lagi dunia pendidikan, siswa dan rakyat kecil yang manjadi korban, karena harus mengeluarkan biaya lagi.

Pendidikan Menyengsarakan Masyarakat
            Segala jenis pembiayaan dalam pendidikan, yang sarat dengan kepentingan penguasa dan pemodal tersebut semakin menyengsarakan masyarakat. Setiap awal tahun dan akhir tahun rakyat harus menyediakan banyak uang untuk kegiatan pendidikan anaknya. Banyak masyarakat yang berbondong-bondong menggadaikan barang-barangnya untuk ditukar dengan uang sebagai biaya tetek bengek sekolah anaknya. Hal tersebut diperparah dengan orientasi lulusan sekolah yang diarahkan untuk menjadi orang-orang urban sebagai pegawai negeri atau kayawan yang lupa dengan kampung halamannya. Pendidikan justru menjadikan anak-anak  lupa dengan status keluarganya yang pedagang, petani, nelayan dan sebagainya. Dimana justru hal tersebut lebih memperbanyak pengangguran, dari pada pekerja yang siap untuk bertahan hidup di kampung halamannya sendiri sesuai dengan latar belakang budayanya. Alih-alih menjadi manusia urban, anak-anak lulusan sekolah malah kehilangan identitas daerah dan budayanya dan yang lebih parahnya lagi, mereka tak dapat memiliki pekerjaan.

Refleksi
            Tulisan-tulisan Darmaningtyas dalam buku ini tajam menukik dan disertai dengan data-data yang akurat. Tajam menukik dalam artian kritik-kritik yang dilontarkan tanpa basa-basi menggunakan bahasa yang lugas, namun jelas. Kejelasan tersebut juga disertai dengan data-data yang lengkap dibalut argumen hasil refleksi kritisnya terhadap konteks keadaan yang terjadi saat itu (zaman orde baru). Kritik-kritiknya mendekonstruksi  segala kebijakan dan bahkan tatanan yang sudah berjalan di dunia pendidikan, dengan paradigma yang berani, yaitu “melawan arus”. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena beliau bukan dari background sarjana pendidikan, akan tetapi sarjana filsafat, mungkin itu yang menyebabkan segala kritiknya bebas meluncur kepada siapapun yang disasar. Akan tetapi sedikit sisi dari beberapa tulisan tersebut terasa kurang lengkap, karena dekonstruksi yang dilontarkan tidak disertai dengan solusi-solusi rekonstruktif atas segala masalah yang terjadi. Sepertinya dia tidak terlalu merisaukan hal itu, dan sengaja membiarkan pemegang kebijakan maupun praksiti dan pakar pendidikan untuk berpikir keras dalam merumuskan solusi jitu sebagai penyelesaiannya. Buku ini wajib dibaca oleh segenap pembuat kebijakan pendidikan, akademisi pendidikan dan para praktisi di dunia pendidikan.



Wallahu A’lam

0

Purna Siswa MAN Tuban 2016; Runtuhnya Stigma Sekolah Alternatif

Posted by Unknown on 08.03 in
Tepat pada hari selasa, 3 Mei 2016, jalan raya HOS. Cokroaminoto Tuban, di depan kompleks bangunan nomor 4, dipenuhi deretan mobil berbagai merk rapi berderet dari barat ke timur. Ditambah lagi puluhan motor terparkir sesak di halaman TK (Taman Kanak-Kanak) “Ath-Thur”  Tuban. Pada hari itu di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Tuban sedang diselenggaraan kegiatan purna studi siswa kelas XII tahun pelajaran 2015-2016. Tepat di tengah lapangan upacara yang sekaligus menjadi lapangan futsal dan basket itu, kegiatan tersebut dilaksanakan. Barisan kursi tertata rapi dengan tiga panggung di depannya, dimana panggung utamanya berada di tengah, menambah kemegahan acara itu. Penyelenggaraan purna siswa yang dilakukan di dalam lingkungan madrasah ini—walau hawa panas terasa di dalamnya—tetap menjadikan kenangan tersendiri, karena secara langsung baik siswa, guru, staf madrasah dan segenap undangan yang hadir dapat melihat dan menyaksikan lingkungan madrasah yang menjadi kawah candradimuka seluruh civitas akademika dalam berjibaku mengembangkan potensi kognitif, afektif dan psikomotornya. Kemudian untuk mengetahui segudang prestasi akademik maupun non akademik para siswa dan produk nyata predikat sukses para alumninya myang tersebar di segala sektor.
Purna siswa tahun 2016 ini menjadi menarik, karena kepala MAN Tuban—Bapak Saifuddin Yulianto, S.Ag., M.Pd.I.—membuat sebuah gebrakan kreatif dengan menyelipkan tiga macam kegiatan unik. Pertama, beliau mengundang puluhan alumni MAN Tuban lintas angkatan, kedua adanya peluncuran buku pertama karya para siswa MAN Tuban dan ketiga peresmian “MAN Tuban in the Corner” oleh Ka.Kanwil Kementerian Agama Jawa Timur. Hal tersebut membuat purna siswa yang diselenggarakan di dalam lingkunagan madrasah ini terasa lebih istimewa dari sebelumnya.

Puluhan alumni sengaja didatangkan dari berbagai daerah tempat kerjanya untuk menghadiri acara purna siswa ini. Kepala madrasah secara langsung mengontak satu persatu alumninya untuk datang pada hari itu. Dengan rasa senang dan bangga, para alumninya pun rela mengorbankan waktu kerjanya pada hari itu untuk menghadiri acara yang sakral tersebut. Yang menjadi istimewa lagi adalah  kehadiran para alumni MAN Tuban angkatan pertama (81, 82 dan 83). Beberapa dapat saya sebutkan adalah Bapak Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., Bapak Drs. Mahfud Shodar, M.Pd.I., Bapak Drs. Pardi, M.Pd. serta novelis muda Sifah Nur. Profesor Qomar adalah guru besar pemikiran modern dalam Islam dan mantan ketua di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Tulungangung yang prolific, karena telah menghasilkan belasan buku ilmiah akademik berkualitas yang berhasil diterbitkan oleh penerbit berskala nasional. Kebanyakan buku beliau bertemakan pemikiran Islam alternatif dan pendidikan Islam yang banyak dijadikan rujukan primer para mahasiswa di lingkungan IAIN/UIN. Beliau terkenal dengan konsep “kesadaran pendidikan” yang menurutnya menjadi solusi atas sengkarutnya kualitas pendidikan di Indonesia dewasa ini. Selanjutnya adalah Drs. Mahfud Shodar, M.Pd.I., dan Drs. Pardi, M.Pd., yang masing-masing adalah Kepala Kantor Wilayah dan Kasi Kesiswaan Pendidikan Madrasah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Kepiawaian keduanya dalam memimpin di lingkungan kementerian agama menjadikan mereka berdua berhasil menduduki jabatan prestigious yang membawahi seluruh kantor kementerian agama di wilayah Jawa Timur. Para tokoh tadi merupakan teladan kepada alumni yang lain dan siswa-siswi MAN Tuban, akan arti pentingnya capaian intelektual serta profesionalisme dalam memimpin telah berhasil mengantarkan ketiganya ke gerbang kesuksesan. Kita beranjak ke alumni berikutnya, Sifah Nur. Dia adalah alumnus yang relatif masih belia, lulusan tahun 2013 dan mahasiswa aktif semester empat di Universitas Brawijaya Malang. Yang menjadi istimewa adalah keberhasilannya menerbitkan beberapa karya novelnya di penerbit nasional. Dia pantas disebut sebagai novelis muda berbakat yang boleh jadi di masanya nanti, ia akan sejajar dengan novelis sekelas Andrea Hirata, Habiburrahman El-Shirazi dan bahkan Pramudia Ananta Toer. Keempat alumnus beda generasi tersebut memberikan testimoni dan orasinya satu persatu, sehingga membakar semangat semua undangan yang hadir pada waktu itu.
Dalam momen purna siswa 2016 ini juga diadakan peresmian “MAN Tuban in The Corner” oleh Ka.Kanwil Kemenag. Jatim yang beliau juga adalah alumnus MAN Tuban angkatan 81. MAN Tuban in The Corner adalah pojok baca di lobi MAN Tuban yang merupakan area baca berisi puluhan buku karya guru, alumni dan para siswa MAN Tuban. Buku-buku tersebut terdiri dari buku-buku ilmiah akademik, hasil penelitian, bunga rampai kumpulan artkel, novel dan buku-buku sastra lainnya. Beraneka ragamnya bentuk tulisan pada buku-buku tersebut menandakan dari MAN Tuban telah lahir para penulis dengan skill menulisnya masing-masing. MAN Tuban telah meneguhkan diri dan serius mengembangkan bakat kepenulisan para siswanya. Ini terbukti dengan diadakannya pelatihan kepenulisan oleh MAN Tuban yang bekerja sama dengan lembaga Nizamia Learning Center (NLC). Para peserta dibekali keahlian menulis dan secara langsung dipraktekkan dengan produk pelatihan berupa tulisan yang benar-benar diterbitkan dalam bentuk buku.
Hasil dari pelatihan menulis tersebut dibuat dalam bentuk buku kumpulan tulisan, cerpen dan puisi dari siswa dan siswi MAN Tuban. Tulisan siswa-siswi MAN Tuban tersebut dituangkan dalam sebuah buku berjudul “Untaian Cita-Cita Hati; Kumpulan Karya Siswa-Siswi MAN Tuban” yang diterbitkan ratusan eksemplar. Buku tersebut diberi pengantar oleh kepala MAN Tuban, Bapak Saifuddin Yulianto, S.Ag., M.Pd.I., dan Bapak Dr. M. Musfiqon, M.Pd. (alumnus MAN Tuban 96 dan tutor latihan kepenulisan tersebut). Doktor Musfiqon adalah salah satu alumnus yang berprestasi pula, ia berprofesi sebagai dosen yang menduduki jabatan Dekan Fakultas Tarbiyah di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Peluncuran buku ini menjadi pemicu semangat dan antusiasme para alumnus, guru dan para siswa MAN Tuban untuk menghasilkan karya-karya serupa yang lebih banyak dan lebih berkualitas lagi.
Alumni angkatan awal yang kerkarir sebagai akademisi dan birokrat tersebut hanya sebagian kecil dari seluruh alumni MAN Tuban yang telah sukses di bidangnya, dimana karena keterbatasan kemampuan tidak bisa menampung seluruh alumni untuk hadir. Pada sektor yang lainnya masih banyak alumni yang sukses dalam karirnya, antara lain sebagai pengusaha, wiraswasta, pegawai negeri sipil, pendakwah, TNI, POLRI, petani, pedagang, seniman dan lain sebagainya. Heterogenitas profesi para alumni MAN Tuban ini menunjukkan beragamnya keahlian lulusan MAN Tuban yang sebagian besar berhasil diwadahi dan dikembangkan selama di madrasah dan dilanjutkan setelah para siswa itu lulus dari madrasah. Pandangan miring sebagian orang yang menganggap kualitas sebuah lembaga pendidikan hanya dari bagus atau tidaknya input calon siswanya pelu diubah dengan juga melihat kualitas produk para alumninya. Apabila suatu lembaga pendidikan dengan input siswa berkualitas SDM rendah tetapi berhasil menghasilkan produk alumni yang berhasil secara monumental dalam karirnya, maka itu menandakan sekolah/madrasah tersebut telah berhasil mendidik para siswanya dan dapat dikatakan itu adalah lembaga pendidikan yang berkualitas.
MAN Tuban dengan empat program unggulannya, yaitu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), Bahasa dan Program Keagamaan kiranya dapat disebut sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas. Ciri khas MAN Tuban sebagai “MAN Keterampilan” (otomotif, las dan tata busana) dan predikat Sekolah/Madrasah Adiwyata terbaik se-Kabupaten Tuban yang ditambah lagi dengan keberhasilan capaian alumninya di atas, kiranya dapat meruntuhkan stigma bahwa madrasah hanyalah sekolah alternatif, tetapi sebaliknya madrasah dapat dijadikan referensi utama pendidikan menengah atas bagi anak dengan program pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan internalisasi ajaran agama Islam dalam kegiatan pendidikannya sehari-hari.
Wallahu A’lam



0

Perginya Sang Ikon Keilmuan; Liputan Peluncuran Buku Terakhir Alm. Prof. Muhaimin

Posted by Unknown on 12.51 in
Pada hari Sabtu, 2 April 2016 di auditorium Gedung Prof. Susilo Bambang Yudhoyono Kompleks Pascasarjana UIN Maliki Malang dilaksanakan acara peluncuran buku karya terakhir almarhum Prof. Dr. Muhaimin, MA—direktur pascasarjana dan Guru Besar Pendidikan Islam di UIN Maliki Malang—sekaligus reuni alumni mahasiswa Program Pascasarjana. Acara tersebut penuh sesak dengan peserta, meski pendaftaran sudah dilakukan jauh-jauh hari secara online melalui website pascasarjana. Dalam bedah buku ini panitia mengundang dua orang pembicara, yaitu pertama Prof. Dr. Imam Suprayogo dan kedua Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag. (guru besar Pemikiran Islam di IAIN Tulungagung) dengan dimoderatori oleh Dr. Ahmad Khudori Soleh, M. Ag. Para undangan yang hadir meliputi rektor UIN Maliki Malang, Prof. Dr. Mudjia Raharjo, M.Si., direktur Pascasarjana, Prof. Dr. Baharuddin, M.Pd.I., para dosen, para alumni dan mahasiswa S2 dan S3 aktif Pascasarjana UIN Maliki Malang.
Dalam sambutannya, Rektor UIN Maliki Malang, Prof. Dr. Mudjia Rahardjo, M.Si., banyak bercerita tentang capaian UIN Maliki Malang selama ini. Salah satunya adalah keberhasilan pendirian Fakultas Kedokteran yang baru saja SK-nya ditetapkan oleh Menristekdikti, dengan spesifikasi kedokteran khusus haji dan umroh. Pendirian fakultas kedokteran ini sudah menjadi planning jangka panjang yang dilakukan oleh rektor sebelumnya, Prof. Imam Suprayogo. Prof. Mudji menambahkan pengembangkan fakultas dan prodi-prodi baru ini dalam rangka menjawab tantangan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) yang sekarang sudah berjalan dan MEAP (Masyarakat Ekonomi Asean Asia Pasifik) yang menyusul akan diberlakukan. Jika Bangsa Indonesia tidak mampu menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki keahlian di berbagai bidang dan siap bersaing, maka Indonesia akan menjadi negara yang tertinggal. Di samping itu, rektor juga menjelaskan perencaan pembangunan kampus 3 UIN Maliki Malang di tanah seluas 100 hektar yang telah selesai dibebaskan sebelumnya. Dengan perencanaan bangunan yang mewah dan modern, dan dilengkapi dengan gedung Islamic Centre, maka kampus 3 ini diharapkan akan menjadi ikon pengkajian peradaban Islam. Hal penting terakhir yang disampaikan rektor adalah keinginannya merubah status UIN Maliki Malang ini yang sekarang masih BLU (Badan Layanan Umum) menjadi BH (Badan Hukum). Apabila status kampus sudah menjadi Badan Hukum, maka ia memiliki otoritas yang besar dalam mengembangkan program pendidikannya, termasuk badan usahanya, seperti membuka atau mendirikan program studi baru. Universitas lain yang sudah berstatus Badan Hukum antara lain adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelum rektor menutup sambutannya, ia mengharap kepada semua yang hadir untuk meneladani almarhum Prof. Muhaimin, dalam segala hal, terutama dalam menghidupkan budaya menulis dan meneliti di kalangan civitas akademika.
Setelah semua sambutan selesai, maka dilanjutkan dengan sesi diskusi. Pamaparan pertama disampaikan oleh Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., dan dilanjutkan dengan paparan dari Prof. Dr. Imam Suprayogo. Dalam paparannya Prof. Qomar banyak sekali mengapresiasi gagasan dan pemikiran Prof. Muhaimin dalam bukunya tersebut, akan tetapi juga dilengkapi dengan kritik-kritik konstruktif terhadap kekurangan buku tersebut. Prof. Qomar menyebut beliau (Prof. Muhaimin) sebagai “ikon keilmuan” di UIN Maliki Malang. Ikon keilmuan yang dimaksud adalah seorang yang mampu mendobrak tradisi atau budaya stagnan yang telah berlangsung lama. Beliau merumuskan beberapa karakteristik ikon keilmuan yang semuanya terdapat dalam pribadi almarhum. Diantaranya adalah semangat keilmuan yang tinggi, peduli dalam memberikan pemecahan masalah keilmuan, memiliki tradisi penelitian, naluri mengembangkan ilmu pengetahuan,  tradisi menulis secara continue, dan memiliki obsesi yang tinggi dalam menawarkan konstruksi konseptual teoritis dalam ranah ilmu pengetahuan.[1]
Buku karya terakhir almarhum Prof. Muhaimin itu bertajuk “Model Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran dalam Pendidikan Islam Kontemporer di Sekolah/Madrasah dan Perguruan Tinggi”. Di dalamnya terdapat tujuh pembahasan, antara lain pertama membahas perbincangan perubahan kurikulum sekolah/madrasah di Indonesia; kedua, reaktualisasi pendidikan agama Islam pada Sekolah/Madrasah dalam Implementasi Kurikulum 2013; ketiga, pemgembangan metodologi pembelajaran PAI; keempat, pengembangan kurikulum dan rencana pembelajaran pada perguruan tinggi Islam (PTI); kelima,  pengembangan desain kurikulum program magister PAI berbasis KKNI; keenam, pengembangan desain kurikulum pendidikan kader ulama dan ketujuh, model pendidikan berbasis Ulum Albab.[2] Dalam telaah Prof. Qomar terhadap buku ini, beliau mengapresiasi pembahasan di dalamnya dalam beberapa aspek. Menurutnya, dalam buku ini Prof. Muhaimin menunjukkan beberapa keunggulan, antara lain: a) ketidakterpisahan antara kurikulum dan pembelajaran, karena keberadaan kurikulum tanpa adanya metode pembelajaran akan menjadi tidak berarti, dan  begitupun sebaliknya, b) gambaran tentang bagaimana me-manage institusi pendidikan, termasuk proses pendidikan dan pembelajaran yang berbasis nilai-nilai Ulul Albab yang dibangun dari nilai-nilai wahyu Ilahi, c) analisis integrasi antara agama dan sains dalam kurikulum 2013 bukan hanya dalam tataran pelaku, tetapi substansi pengetahuan dan keterampilan atau keahliannya, d) dalam pengembangan kurikulum PAI yang berwawasan inklusif, perlu dikambangkan teologi inklusif agar terwujud sikap beragama yang inklusif pula, e) dalam membangun sumber daya peserta didik, secara psikologis dibutuhkan upaya pengembangan IQ (Intellligent Quotient), EQ (Emotional Quotient), CQ (Creativity Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient), f) arah desain kurikulum PAI ditekankan pada kemampuan PAI merespons kebutuhan-kebutuhan publik dalam masyarakat modern, dengan modal akhlaq mulia yang dijiwai oleh wahyu Ilahi yang menghiasi sikap responsif PAI menghadapi berbagai perkembangan kontemporer, dan g) pada tataran pembelajaran, proses pembelajaran PAI bukan sekedar melalui eksplorasi, eaborasi dan konfirmasi, tetapi juga dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan dan mencipta. Pikiran-pikiran inilah yang terdapat dalam buku tersebut dan merupakan kontribusi positif alm. Prof. Muhaimin terhadap kurikulum PAI di Indonesia.[3]
Selain dari pada itu, terdapat pula kritikan-kritikan konstruktif yang disampaikan oleh Prof. Qomar yang ika itu di dalami dengan serius, dapat dijadikan acuan oleh para dosen/peneliti dalam menulis karya serupa di masa yang akan datang. Hal-hal yang menjadi sorotan antara lain; a) menurut Prof. Muhaimin,, kurikulum merupakan inti atau jantungnya pendidikan, sebab kurikulum merupakan penjabaran dari idealisme, alternatif pendidikan, fungsi pendidikan dan penentu hasil pendidikan. Sedangkan dalam pandangan Qomar, kurikulum bukanlah penentu keberhasilan pendidikan, melainkan “kesadaran pendidikan”, b) harapan bahwa kurikulum S2 PAI dapat berkontribusi menghapuskan terorisme, radikalisalisme, fundamentalisme, isu NII, rendahnya daya saing, sikap intoleran dan lain-lain sepertinya terlalu melebii kapasitas program S2 PAI, c) tawaran struktur krikulum program S2 PAI yang diberikan Prof. Muhaimin mengacu pada Surat Edaran Dikti Nomor 526/E.E3/MI/2004, sedangkan surat ini tidak lolos dalam uji publik, sehingga telah dianulir dan diganti dengan peraturan Menristek Dikti Nomor 44 Tahun 2015. Demikianlah apresiasi dan kritik konstruktif yang disampaikan Prof. Qomar terhadap buku karya terakhir Prof. Muhaimin ini.[4]
Paparan Prof. Qomar di awal ini sepertinya kurang begitu disepakati oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam paparan yang berikutnya. Berbeda dengan paparan pertama, paparan kedua lebih bersifat oral tanpa makalah, yang merupakan ciri khas dari beliau, yang piawai dalam beretorika dan membuat peserta yang hadir tertawa terpingkal-pingkal. Menurutnya, “apa yang telah disampaikan Prof. Qomar sebelumnya ini tidak konsisten, di bagian awal ia banyak mengapresiasi Prof. Muhaimin sebagai ikon keilmuan, mengapresiasi isi bukunya ini, akan tetapi di bagian belakang justru banyak sekali kritikan yang dikeluarkan terhadap buku ini”, ungkapnya. Akan tetapi, selebihnya Prof. Imam sepakat dengan apa yang menjadi pemikiran Prof. Qomar, yaitu bahwa kurikulum  pendidikan itu memang penting, akan tetapi yang lebih penting adalah kesungguhan atau kesadaran menuntut ilmu yang tinggi dalam dunia pendidikan ini, terutama para dosen, guru, kyai, profesor sangat penting keberadaannya. Kampus atau lembaga pendidikan yang hebat itu dapat dilihat pada kepakaran para pendidiknya pada bidang keilmuan masing-masing. Seperti yang dilakukan oleh para ulama’ hadits, fiqih, tafsir dan sebagainya, mereka belajar dengan berkelana mencari guru/syaikh yang pakar di bidangnya masing-masing dari satu guru ke guru yang lain dengan metode yang sederhana. Artinya, kurikulum yang diterapkan pun sangat sederhana pula, namun kesungguhan dan kesadaran dalam belajar itulah kunci keberhasilan mereka. Di bagian akhir, Prof. Imam menyampaikan bahwa almarhum Prof. Muhaimin ini adalah orang yang baik, dia mengabdikan dirinya untuk ilmu pengetahuan dan tentunya nanti akan mendapat tempat yang istimewa di sisi Allah Swt.
Diskusi diakhiri tanpa sesi tanya jawab, karena waktu yang sudah siang ditambah lagi pembicara sudah menyampaikan kalau sudah lelah. Sebelum di akhiri seluruh peserta satu buah buku karya almarhum Prof. Muhaimin terbitan UIN Maliki Press dan sekeping VCD berisi file digital book disertai video profil dan kiprah almarhum selama hidupnya, mulai awal karir sampai dengan posisi akhir beliau sebagai Direktur Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Seluruh civitas akademika UIN Maliki Malang beduka, namun perginya almarhum Prof. Muhaimin haruslah dapat dijadikan pelajaran bagi semua, agar  dapat meneladani sikap hidup dan konsistensi beliau dalam menulis dan berkarya untuk diskursus pengembangan ilmu pengetahuan.
Wallahu A’lam.





[1] Mujamil Qomar, Mengenang Sosok Konseptor Kurikulum Pendidikan Islam Indonesia dan Ikon Keilmuan UIN Maliki Malang, Makalah dalam Seminar Nasional dan Launching buku karya terakhir (alm.) Prof.  Dr. Muhaimin, MA., 2 April 2016, hlm. 1-2.
[2] Muhaimin, Model Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran dalam Pendidikan Islam Kontemporer di Sekolah/Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Malang: UIN Maliki Press, 2016), hlm. xvii-xix.
[3] Lihat dalam Mujamil Qomar, Mengenang…………hlm. 2-4.
[4] Lihat dalam Mujamil Qomar, Mengenang…………hlm. 4-6.

0

Nilai-Nilai Aswaja dan Urgensinya

Posted by Unknown on 17.10 in
Pengertian Aswaja
Ahl al-sunnah wa al-jama’ah atau yang lebih dikenal dalam kalangan NU (Nahdhatul Ulama’) dengan singkatan “aswaja” atau “sunni” adalah salah satu aliran teologi dalam Islam yang terlahir dari sebagai respon kepada madzhab teologi mu’tazilah yang melahirkan pertentangan sengit antara aliran qadariyah dan jabariyah. Kalangan nahdliyyin berpijak pada hadits Nab Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Tabrani dan Tirmidzi. Pertama, Rasulullah bersabda: Demi Dzat, yang jiwaku ada dalam genggamanNya, umatku adakan pecah menjadi 73 golongan; satu masuk surge dan 72 masuk neraka. Seorang sahabat bertanya: Siapa itu Ya Rasul? Jawab Nabi: I addalah golongan Ahlussunnah wal Jama’ah (HR. Thabrani). Kedua, Rasulullah bersabda: Umatku akan pecah menjadi 73 golongan, Satu selamat (masuk surga) dan lainnya rusak (masuk neraka). Sahabat bertanya: Siapakah yang selamat itu Ya Rasul? Jawab Nabi: Golongan Ahlussah wal Jama’ah. Seorang sahabat lain bertanya: Siapakah golongan Ahlussunnah wal Jama’ah itu? Jawab Nabi: Yang sekarang bersamaku dan sahabat-sahabatku.[1]
Sebelum pembahasan lebih jauh, maka hal pertama yang harus kita pahami adalah pengertian dari terma “ahl al-sunnah wa al-jama’ah” itu sendiri. Ahlussunnah wal jama’ah sendiri terdiri dari tiga kata, yaitu “ahlun”, “al-sunnah” dan “al-jama’ah”. Ahl berarti keluarga, golongan atau pengikut. Sedangkan al-sunnah berarti segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Maksudnya adalah semua yang datang dari Nabi Muhammad Saw. yang berupa perbuatan (fi’l), ucapan (qaul) dan pengakuan (taqrir) Nabi Muhammad Saw. Kemudian al-jama’ah adalah apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah Saw. pada masa al-khulafa’ al-rasyidun (Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib).[2] Jadi, ahl al-sunnah wa al-jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Dengan demikian, maka tingkat kebenaran dan orisinalitas ajaran agama Islam akan terjaga kemurniannya melalui sanad yang terus bersambung antara masa sahabat sampai dengan Rasulullah Saw.
Pendiri madzhab teologi ahl al-sunnah wa al-jama’ah adalah Abu Hasan ‘Ali bin Isma’il al-‘Asy’ari (la hir di Bashrah 260 H/874 M dan wafat 324H/936 M) yang bermadzhab syafi’i dan Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al –Maturidi (lahir di daerah Maturid abad ke 9 M dan wafat 944 M) dari madzhab hanafi.[3] Imam Asy’ari awalnya adalah pengikut setia Mu’tazilah yang juga murid al-Juba’i (tokoh penting Mu’tazilah) selama 40 Tahun. Hal yang menjadi penyebabnya adalah ketidakpuasannya atas jawaban pertanyaan dari gurunya yang meliputi masalah kedudukan orang mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat nanti. Setelah itu ia merenung kurang lebih selama 15 hari dan hasilnya, ia memproklamirkan telah keluar dari madzhab Mu’tazilah. Pemikiran Asy’ariyah muncul sebagai kritik atas aliran Mu’tazilah.[4] Sedangkan al-Maturidi memiliki ajaran yang selaras dengan al-Asy’ari, perbedaannya hanya dalam fiqh-nya saja dan tantangan Imam al-Maturidi saat itu bukan hanya Mu’tazilah, akan tetapi juga aliran Mujassimah, Qaramithah, dan Jahmiyyah. Selain itu juga kelompok agama lain seperti Yahudi, Majusi dan Nasrani.[5] Kedua tokoh ini menjadi tokoh sentral dalam madzhab ahl al-sunnah wa al-jama’ah sebagai solusi jalan tengah (tawassuth) dalam perdebatan antara kelompok Jabariyah dan Qodariyah.

Nilai-Nilai Aswaja dalam Kehidupan
Dari sikap yang ditunjukkan oleh al-‘Asy’ari dan al-Maturidi ini kemudian dirumuskan beberapa nilai-nilai ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang berlaku di kalangan NU (Nahdlatul Ulama’), yaitu: tawassuth, tawazun, tasamuh, dan i’tidal yang dijadikan pedoman dalam bertindak di segala aspek kehidupan. Adapun perinciannya sebagai berikut:[6]
Pertama, nilai tawassuth, yaitu jalan tengah, tidak ekstrem kanan atau kiri. Dalam paham Ahlussunnah wal Jama'ah, baik di bidang hukum (syari’ah) bidang akidah, maupun bidang akhlak, selalu dikedepankan prinsip tengah-tengah. Juga di bidang kemasyarakatan selalu menempatkan diri pada prinsip hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil, lurus di tengah-tengah kehidupan bersama, sehingga ia menjadi panutan dan menghindari segala bentuk pendekatan ekstrem.dengan sikap dan pendirian. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (Al-Baqarah: 143). 
Tawassuth merupakan landasan dan bingkai yang mengatur bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita agar tidak terjebak pada pemikiran agama an sich. Dengan cara menggali & mengelaborasi dari berbagai metodologi dari berbagai disiplin ilmu baik dari Islam maupun Barat. Serta mendialogkan agama, filsafat dan sains agar terjadi keseimbangan, tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama dengan tidak menutup diri dan bersikap konservatif terhadap modernisasi.
Kedua, nilai tawazun, yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan pribadi dan masyarakat, dan kepentingan  masa kini dan masa datang. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan dalam hidup. Firman Allah Swt:
 “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…….” (Al-Hadid: 25).
Keseimbangan menjadikan manusia bersikap luwes tidak terburu-buru menyimpulkan sesuatu, akan tetapi melalui kajian yang matang dan seimbang, dengan demikian yang diharapkan adalah tindakan yang dilakukan adalah tindakan yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.
Ketiga, nilai tasamuh, yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu'iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (ukhuwwah islamiyyah) dengan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang dianjurkan hanya sebatas penyampaian saja yang keputusan akhirnya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Dalam diskursus sosial-budaya, Ahlussunnah wal Jama'ah banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam tradisi kaum Sunni terkesan hadirnya wajah kultur Syi'ah atau bahkan Hinduisme. Hal ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah dunia. Pluralistiknya pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah keniscayaan dan ini akan mengantarkannya kepada visi kehidupan dunia yang rahmat di bawah prinsip ketuhanan.
Keempat, nilai i’tidal (adil, tegak lurus atau menempatkan sesuatu pada tempatnya). Dalam al-Qur’an disebutkan:
 “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Maidah: 8).
       Menempatkan sesuatu pada tempatnya ini asalah salah satu tujuan dari syari’at. Dalam bidang hukum, suatu tindakan yang salah harus dikatakan salah, sedangkan hal yang benar harus dikatakan benar, kemudian diberikan konsekuensi hukuman yang tepat sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Dalam kehidupan sosial, rakyat sebagai komponen yang paling penting dalam negara demokrasi harus mendapatkan keadilan dari pemerintah sesuai dengan hak-haknya dengan terimplementasikannya Undang-Undang sebagaimana mestinya tanpa diskriminasi. Perjuangan menuju keadilan sosial harus terus dikawal sesuai dengan pesan luhur pancasila.
Jika empat prinsip ini diperhatikan secara seksama, maka dapat dilihat bahwa ciri dan inti ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah adalah pembawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Sikap moderasi yang tercermin dalam empat nilai di atas harus dijadikan pedoman dalam berpikir, bersikap dan bertindak dalam segala hal yang menyangkut agama dan segala aspek sosial yang lainnya.

Urgensi Membumikan Nilai Aswaja
Menurut hemat penulis, penting (urgensi)-nya membumikan nilai-nilai aswaja ini dalam dunia pergerakan dan kaderisasi ada dua hal, pertama adalah ideologisasi dan internaslisasi nilai-nilai aswaja ini dalam diri pribadi setiap kader NU/PMII dan yang kedua adalah menjadikan nilai-nilai aswaja yang sudah tertanam ini menjadi dasar dan basis kekuatan dalam melahirkan gerakan-gerakan sosial dalam menjawab tantangan permasalahan kontemporer. Sebagaimana kaidah ushuliyah yang sangat populer di kalangan pesantren “Al-Muhafadhatu ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik).
     Tidak dapat dipungkiri bahwa NU/PMII dihadapkan pada tantangan banyaknya gerakan-gerakan Islam militan transnasional yang selalu melakukan penyebaran ideologinya dengan tidak segan-segan melakukan infiltraisi pada kelompok-kelompok Islam moderat lainnya. Selain itu juga kita dihadapkan pada tantangan global persaingan ekonomi lintas batas. Tidak dapat dipungkiri dengan banyaknya masuk pengusaha-pengusaha asing dari luar negeri nantinya akan membawa pula nilai-nilai baru yang dapat mengancam kearifan lokal Indonesia. Ini semua perlu dirumuskan dalam langkah-langkah gerakan strategis dengan selalu berbasis pada intelektualitas, dan mahasiswa maupun akademisi mengambil peran penting dalam hal ini.  
Wallahu A’lam.



[1] Dua hadits ini dikutip dari kitab aslinya oleh Munawwir Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, Cet. IX, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 8-10.
[2] Lihat dalam Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis: Jawaban atas Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Cet. VI, (Surabaya: Khalista, 2004), hlm. 1-3.
[3] Lihat dalam Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis…….hlm. 16 dan 21.
[4] Lihat dalam Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Eds. 2, (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 66-67.
[5] Tim Penyusun, Aswaja An-Nahdliyah; Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang berlaku di lingkungan Nahdlatul Ulama’, Cet. 3, (Surabaya: Khalista, 2009), hlm. 15.
[6] Disarikan dan dielaborasi dari Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis: Jawaban atas Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Cet. VI, (Surabaya: Khalista, 2004), dan Tim Penyusun, Aswaja An-Nahdliyah; Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang berlaku di lingkungan Nahdlatul Ulama’, Cet. 3, (Surabaya: Khalista, 2009).

0

An-Nur; Lentera di Tengah Kegelapan

Posted by Unknown on 01.12 in
Teng….Teng….Teng……
Pagar besi yang berkarat itu
Beradu dengan sesosok gembok besar
Timbullah dentuman keras…….
Memecah kesunyian malam yang tenang
                        Seorang Kyai yang bersahaja itu
                        Dengan langkah lebarnya
                        Membangunkan puluhan mayat yang terkapar
                        Lelap dalam buaian  sang malam
Sontak suara itu menggetarkan hati
Hati yang galau dalam peperangan
Antara nafsu dengan nurani
Antara tidur atau mengaji
                        Dengan langkah gontai…..
                        Ku paksakan diri ini
                        Menyapu segala kenikmatan yang penuh cacian
                        dengan percikan air suci pembawa keberkahan
Di surau yang sederhana itu
Menjadi ajang pergulatan intelektual dan spiritual
Menyatukan pikiran dan perasaan
Menghapus segala keraguan
                        Kesederhanaan, kesahajaan dan keuletan
Memberikan lentera penerang
Menjadi secercah cahaya penuntun perjalanan

Dalam gelapnya kehidupan yang menyesatkan 

0

Mendung

Posted by Unknown on 01.08 in
Kala rumput mulai menghijau
Kala matahari mengintip silau
Kala gemercik air sungai mengalir lalu
Kala benih telah tersemai menguncup itu

            Mahkota raja bagai tersemat di kepala
            Menari-nari hati Sang Raja
            Menikmati sengatan bangga
            Bak tertemu mata air di tengah Sahara

Apa daya
Hanya fatamorgana
Cahaya sekejap menyulap dirinya
Menjelma gelap gulita

            Kini ramai berganti sunyi
            Kini gembita menjadi duka
            Kini cerah berganti mendung
            Kini lurus jadi berbelok

Kemantapan beralih keraguan
Menyayat-nyayat seonggok daging malang
Yang selalu kalah sebelum perang
Yang sudah mati sebelum hidup itu datang

Tak ada artinya keberanian
Karena besarnya kuasa ketakutan
Dia hanya butuh dukungan

Bukan cacian dan bahkan makian

0

TAK MAU

Posted by Unknown on 01.00 in
Aku tak mau dibatasi oleh kotak-kotak yang membuatu takut

terlalu banyak berpikir akibat buruk dari apa yang aku lalukan

Aku memegang teguh apa yang aku yakini, aku pikirkan dan yang aku kerjakan

              Langit terlalu luas untuk ku pandang

              Samudra terlampau dalam untuk ku selami

              Bumi terhampar luas sejauh mata memandang untuk ku jelajahi

Lalu mengapa hati dan akalku mau saja dijebak dalam kotak

Kotak-kotak yang serba melarang dan mengekang

Kotak-kotak yang membuatku pesismis dan rendah diri

Aku ingin menjelajahi luasnya langit dan bumi serta dalamnya samudra


Mencari apa yang ingin kucari….

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.