0

Dilema Muslim Moderat dalam Pilgub DKI

Posted by Unknown on 06.36 in
Pilgub DKI putaran kedua akan dihelat besok, tanggal 19 April 2017 ini, tinggal esok hari. Lantas bagaimana kaum muslim—khususnya muslim moderat—dalam menyikapi hal tersebut, mengingat ada dua pasangan calon yang sama-sama kuat dan dilematis. Calon petahana yang memiliki basis massa dan kebetulan seorang non muslim, melawan calon penantang yang beragama Islam. Dimana dalam konteks ini, isu agama menjadi barang dagangan yang boleh jadi sangat laris dalam meraih dukungan massa.

Pertama, Basuki Cahaya Purnama (Ahok). Sebagai petahana, ia tahu persis segudang permasalahan yang ada di DKI Jakarta. Dalam berbagai debat Cagub, ia tampil memukau dengan paparan jelas dan sangat teknis mengenai sumber permasalahan dan tawaran solusi yang sedang ataupun yang akan dilakukan. Akan tetapi yang menjadi dilematis, adalah posisi Ahok yang juga seorang Kristiani berkebangsaan Tionghoa. “Etnis Tionghoa” mungkin faktor yang tidak terlalu sensitif bagi banyak orang, karena pasca reformasi dan adanya kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid, kaum Tionghoa mendapat tempat yang sejajar di mata hukum dengan warga pribumi. Warga pribumipun tak ada masalah untuk hidup berdampingan dengan masyarakat Tionghoa. Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Satu hal yang menjadi permasalahan adalah bahwa ia adalah seorang Kristiani, yang bagi seorang muslim—dimana dari segi jumlah ia mayoritas—merupakan hal yang masih sangat tabu. Dari banyak literatur klasik yang mana itu masih diamini dan ditaqlidi oleh sebagian besar ulama’, menganggap bahwa “memilih pemimpin kafir itu hukumnya haram”. Sontak pencalonan Ahok sebagai Cagub (walau cawagubnya seorang muslim) membuat sebagian muslim di DKI Jakarta menjadi geram. Hal tersebut diperparah dengan blunder video pidato Ahok di Kepulauan Seribu tentang tafsir surat Al-Maidah ayat 51. Buah dari tindakannya tersebut berujung pada demo besar-besaran yang dihelat oleh kelompok umat Islam yang anti kepada pemimpin non muslim. Aksi yang reaksioner ini mayoritas diikuti oleh kelompok-kelompok muslim yang pro terhadap penegakan syari’at Islam sebagai hukum positif di Indonesia. Ahok yang non muslim, kemudian komentarnya terkait Surat Al-Maidah ayat 51 dan gaya keemimpinannya yang kasar, menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk menggulingkannya dari kursi pencalonan Cagub DKI. Mewakili umat Islam Indonesia yang mayoritas berada pada tataran grass roots, maka akan sangat mudah untuk terpancing mengikuti demo anti Ahok tersebut, dengan misi mulia yaitu melengserkan calon pemimpin non muslim dan menjatuhkan pilihan kepada calon gubernur yang beragama Islam. Gelombang aksi penolakan yang dilakukan oleh beberapa gabungan ormas Islam tersebut, berujung pada aksi besar-besaran yang dilakukan beberapa kali. Akan tetapi, usaha mereka sepertinya sia-sia, karena Ahok masih tetap bebas melenggang maju terus ke kursi Cagub DKI. 

Calon kedua adalah Anis Baswedan. Ia menjadi populer dengan “Gerakan Indonesia Mengajar”-nya yang sukses menarik perhatian anak-anak muda berprestasi dan memiliki semangat tinggi untuk menjadi role model guru terbaik di daerah-daerah tertinggal. Setelah itu ia kembali tenar setelah mengikuti konvensi Partai Demokrat yang akan menentukan calon presiden 2014-2019 dari parpol ini. Ia pun mendapat basis dukungan dari anak-anak muda yang mengkonsolidasikan diri ke dalam gerakan “turun tangan”. Menurut Anis, kita tidak boleh urun angan saja terhadap Republik ini, tetapi juga harus turun tangan langsung dan bersama-sama memperbaikinya. Masih menurut Anis, salah satu gerakan turun tangan ini adalah terjun di dalam tataran praktis menjadi calon pemimpin. Namun, setelah gagal di konvensi Partai Demokrat, ia mengalihkan basis pendukungnya—yang sebagian besar anak-anak muda itu—untuk geser mendukung pasangan Djokowi-JK dan menjadi tim pemenangannya. Satu hal yang menarik, kali ini ia benar-benar menjalankan dukungan politik nya ini untuk mendapatkan posisi dalam Kabinet Jokowi. Hal itu terbayar dengan dijadikannya ia sebagai bagian tim transisi yang menyusun komposisi kabinet “Kerja” kala itu. Ia pun mendapatkan posisi menggiurkan, yaitu menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama, setelah ia terkena ressufle Kabinet Kerja yang memaksanya hengkang dari jabatan menteri. Karena tidak memiliki gerbong partai politik, ia pun mengakhiri kebersamaannya dengan Jokowi dan kembali menjadi akademisi yang setia mendampingi keluarga di rumah. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama setelah masa pencalonan Pilgub DKI tiba, ia dipinang oleh Parpol yang dulu sangat lantang ia kritik saat mendukung Jokowi, yaitu Partai Gerindra. Tanpa pikir panjang, iapun menerima pinangan dari Prabowo Subianto untuk menjadi calon gubernur bersama Sandiaga Uno. Pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi berhasil lolos pada putaran kedua setelah berhasil mengalahkan pasangan Agus-Silvi yang diusung oleh Partai Demokrat. Dukungan masyarakat DKI Jakarta—terutama umat Islam—terus mengalir kepada paslon Anies-Sandi ini. Hal yang menarik adalah banyaknya kelompok Islam pro-syari’ah atau kelompok Islamis memberikan dukungannya kepada Anies-Sandi. Sebut saja FPI (Front Pembela Islam), FUI (Forum Umat Islam) dan bahkan yang anti Demokrasi—HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)—yang ketiganya memantapkan dukungan kepada Anies-Sandi untuk mengganjal menangnya Ahok (yang non muslim) dalam perhelatan ini. Sungguh sangat dilematis, khususnya bagi muslim kebanyakan yang moderat, karena dukungan kelompok-kelompok Islam garis kanan ini mengindikasikan adanya kontrak politik berbau formalisasi syari’at Islam. Tanpa perlu bukti fisik pun—FPI, FUI dan HTI—ketiganya adalah agen-agen formalisasi syari’at Islam dalam Undang-Undang dalam segala aksi dan forum-forum kegiatannya. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa, kaum muslim moderat adalah mereka yang ingin menjalankan ajaran agama Islam dengan damai, santun, ikhlas tanpa paksaan. Mereka adalah penjaga gawang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan kesadaran penuh bahwa Negara Indonesia ini terbentuk oleh adanya kesepakatan bersama. Kesepakatan untuk menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945, prinsip kebhinekaan, dan menjaga keutuhan NKRI. Muslim moderat sadar, bahwa tidak perlu payung formal syari’at Islam yang melembaga, untuk menjalankan ajaran agama Islam. Karena Umat Islam sudah dengan leluasa dapat menjalankan ajaran agamanya tanpa intervensi siapapun. Di sisi lain, Indonesia adalah negara yang multi etnis, multi budaya, multi bahasa dan multi agama. Jika doktrin salah satu agama dijadikan sebagai peraturan hukum positif yang di-Undangkan, maka yang akan terjadi adalah konflik agama dan bahkan disintegrasi bangsa. Muslim moderat adalah mereka yang berhasil mensintesiskan antara kecintaan kepada agama Islam dan kecintaan terhadap tanah air Indonesia. 

Dua paslon dalam putaran terakhir di Pilgub DKI tahun 2017 ini menyisakan dilema berat bagi kaum muslim yang berhaluan moderat. Apabila ada dua calon pemimpin yang sama-sama baik dalam track recordnya,  maka jalan lain kemudian kita lihat apa agamanya. Jika menggunakan agama calon pemimpin sebagai indikator dalam memilih, maka sudah barang tentu pilihan akan jatuh ke Anis-Sandi. Akan tetapi melihat gelombang dukungan dari kelompok muslim kanan yang pro formalisasi syari’at Islam, maka ini juga bertentangan dengan prinsip moderasi yang sudah dipegang. 

Semoga umat Islam Provinsi DKI Jakarta bisa arif dalam memilih. Jika Ahok yang terpilih, semoga ia menjadi pemimpin yang santun, menghargai pluralitas agama dan memimpin dengan demokratis. Namun, jika Anis yang menang, semoga ia tidak terjebak dalam kontrak politik formalisasi syari’at Islam dalam bentuk Perda Syari’ah di DKI Jakarta. Hal yang lebih terpenting lagi adalah semoga tidak ada konflik vertikal maupun horizontal yang terjadi pada masyarakat DKI Jakarta. Pilihan gubernur ini adalah pesta demokrasi yang menjadi perayaan warga negara Indonesia dan harus terselengara sedara jujur, aman dan damai dengan menghormati pilihan masing-masing. 



Wallau A’lam

0

Catatan Harian Soe Hok Gie

Posted by Unknown on 14.45 in
Mengawali tulisan ini, saya ingin terlebih dahulu nyuwun sewu kepada para aktivis—atau kalau bukan mantan aktivis—dalam artian yang sesungguhnya. Para pembaca mungkin menjadi inisiator, konseptor dan eksekutor tiap aksi demonstrasi. Berbeda dengan saya yang kalau boleh saya hitung cuman dua kali ikut-ikutan turun jalan, yaitu sekali di depan Kejati Jatim dan sekali lagi di depan pintu gerbang Polda Jatim. Kemudian seingat saya sekali di dalam kampus, nglurug penyelenggara KKN yang kurang bertanggung jawab kala itu. Sungguh tiada seujung kukunya dengan peran pembaca sekalian di lapangan, ketiga aktif dalam berbagai gerakan mahasiswa, apalagi dengan tokoh yang kita kaji kali ini, Soe Hok Gie.

            Buku yang berjudul “Soe Hok Gie; Catatan Seorang Demonstran” ini terbitan LP3ES, cetakan ke 13. Jumlah cetakan yang fenomenal menunjukkan banyaknya angka eksemplar yang terjual ke pasar. Buku ini berisi xxx + 585 halaman, dengan penyunting yang memang kawakan, yaitu Ismid Haddad, Fuad Hashem, Aswab Mahasin, Ismet Nasir, dan Daniel Dakhidae. Pengantar diberikan oleh Prof. Harsja W. Backtiar yang merupakan Dekan Fakultas Sastra UI, tempat Gie belajar, Kakak Gie Sendiri—Arief Budiman—yang menjadi Dosen di Universitas Melbourne Australia, Mira Lesmana dan Riri Riza yang merupakan pasangan sutradara-produser yang memiliki ide memfilmkan buku catatan harian Gie ini. Buku ini terdiri dari 8 bagian, yaitu bagian I berisi ulasan panjang analitis yang ditulis oleh Daniel Dakhidae bertajuk “Soe Hok Gie; Sang Demonstran”. Isinya menguliti sosok Gie menurut kacamatanya sendiri yang sedikit banyak ia bandingkan dengan catatan serupa milik Ahmad Wahib. Bagian II berisi catatan Gie di masa kecil sekolah, bagian II meliputi kegiatannya diambang remaja, bagian III tulisannya diambang remaja, bagian IV bertajuk lahirnya seorang aktifis, bagian V berisi tulisannya semaca aktif menjadi demonstran, bagian VI bertajuk perjalanan ke Amerika, bagian VII bertajuk Politik, Pesta dan Penguasa dan kemudian bagian VIII (terakhir) bertajuk mencari makna.

            Namun sebatas pengamatan dan keterbatasan saya, saya hanya akan mengupasnya dalam tiga bagian. Pertama  adalah bahwa semenjak kecil Soe Hok Gie adalah anak yang kutu buku, intim dengan teman, idealis, dan berani melawan ketidak-adilan. Ia lebih banyak menghabiskan waktu membaca dan membaca buku. Terutama bacaan sastra dan politik. Ia melahap hampir semua buku sastra baik novel, maupun kumpulan puisi. Ia banyak mengetahuinya bahkan melebihi gurunya sendiri apalagi teman-temannya. Intim dengan teman, ia adalah tipe orang yang setia kawan. Dalam catatannya pada bagian awal, hampir semuanya berisikan kehidupannya dibangku sekolah, tentang teman-temannya lengkap dengan namanya masing-masing. Tentang nilai pelajarannya yang sangat rigid ia tulis angka-angkanya dan diperbandingkan dengan nilai teman-temannya. Ini menunjukkan kesungguhan dan totalitasnya dalam belajar menguasai seluruh mata pelajaran. Idealis dan berani melawan, ini dapat kita ketahui ketika ia berdebat dengan gurunya mengenai macam-macam karangan. Dimana ia protes pada gurunya bahwa karya terjemahan dari Chairil Anwar tidaklah dapat dianggap karangan Chairil Anwar, yang berjudul “Pulanglah Ia Si Anak Hilang”. Ia menentangnya habis-habisan, karena dia menilai gurunya ini telah lupa macam-macam karangan. Pertentangan dengan gurunya yang lain berujung pada tidak dinaikkannya ia ke kelas selanjutnya sewaktu SMA. Akibatnya ia menentang tetap tak mau tinggal kelas, karena ia merasa nilainya/prestasinya sangat baik. Akhirnya ia memaksa orang tuanya untuk memindahkan dirinya ke sekolah lain. Selanjutnya ia pun pindah, demi mempertahankan harga diri dan idealismenya. Ia tak mau tunduk pada keputusan yang tidak berkeadilan. Keputusan tidak menaikkan kelas dirinya itu merupakan bentuk ketidak-adilan atas dirinya yang harus ditentang sampai titik darah penghabisan. Slogannya yang terkenal, “guru tidak selalu benar dan murid bukanlah kerbau”.

            Kedua, Ia adalah sosok pemikir muda yang anti tendensi politik. Itu dapat kita lihat dalam aktifitanya mendirikan MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam). Ia pun mengirimkan delegasi dari MAPALA untuk mengikuti pemilu raya kampus. Dan wakilnya berhasil menang menjadi Ketua Senat Universitas Indonesia. Ia membawa gerbong baru mahasiswa, gerbong mahasiswa yang suka mendaki gunung dengan berbagai aktifitas pecinta alam dan diskusi pemutaran film. Dari sini dapat kita pahami bahwa mahasiswa harus bebas menyalurkan minat dan bakatnya semaksimal mungkin. Kemudian pada sisi lain ia menancapkan sebuah independensi dalam berpikir. Mahasiswa harus bebas mengeluarkan pikiran-pikirannya terkait persoalan bangsa sebebas-bebasnya dengan independen. Ia tak boleh terpengaruh dengan baju politis berbagai gerakan mahasiswa yang memasung kebebasan (saat itu), karena semuanya seakan menuhankan ideologinya masing-masing dan berjuang hanya demi kepentingan organisasinya, bukan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.

          Terakhir, ia adalah termasuk penyumbang terhadap robohnya orde lama dibawah kepemimpinan Soekarno. Soekarno dikritiknya habis-habisan. Terutama yang bisa saya tangkap adalah ide demokrasi terpimpinnya yang menurut Gie adalah demokrasi yang palsu belaka. Demokrasi hanya menjadi bungkus, yang didalamnya adalah tetap bercokolnya otoritarianisme. Kedua adalah tentang kebiasaan gaya hidup Soekarno yang berlagak bagai raja Jawa yang suka gonta-ganti istri. Baginya wanita tak lebih hanyalah alat eksploitasi hawa nafsu. Dalam bahasa yang lugas, ia mengatakan istana saat itu tak ubahnya seperti tempat pelacuran.

`Gie meninggal di usia muda, saat mendaki gunung Semeru, gara-gara menghirup sara beracun. Seandainya ia bisa lebih lama lagi hidup, mungkin akan lebih banyak lagi tulisannya yang bisa kita nikmati hingga sekarang. Namun, mungkin arwah Gie justru bersyukur, karena memang ia tak ingin mati tua. Ia takut kalau-kalau pada masa tuanya ia akan mengalami inkonsistensi dalam membela idealismenya. Seperti kaum-kaum tua yang selalu ia kritik dengan lantang dalam tulisan-tulisannya.



Wallau A’lam. 

0

Melihat dengan Kearifan; Tanggapan atas Tulisan Sahabat KPMRT Jogja

Posted by Unknown on 15.01 in
Campus Festival 2017, demikianlah tajuk sebuah kegiatan yang dikemas dalam pameran perguruan tinggi yang diikuti oleh tigapuluhan kampus. Peserta dari kegiatan ini adalah mahasiswa asal Tuban yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia mewakili kampusnya masing-masing. Tujuan mereka sederhana, dimana agar adik-adik yang sedang menimba ilmu di bangku SMA-MA-SMK tidak kebingungan, tatkala mempersiapkan diri melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.

Kegiatan ini telah rampung dilaksanakan, pada tanggal 21 s/d 23 Januari 2017 yang dirangkai dengan kegiatan bhakti sosial oleh segenap panitianya. Kegiatan tahun ini terbilang sukses, karena kampus yang mengikuti pameran meningkat jumlahnya—hingga 37 perguruan tinggi—yang meliputi perguruan tinggi negeri dan swasta yang tersebar di Surabaya, Madura, Malang, Bali, Semarang, Solo, Yogyakarta, Jakarta dan sebagainya, yang tak kalah pentingnya adalah seluruh perguruan tinggi di Kota/Kabupaten Tuban sendiri ikut meramaikan. Campus Festival kali ini adalah estafet dari kegiatan serupa yang diadakan tahun lalu oleh komunitas mahasiswa Tuban yang berada di Malang dan dari tahun-tahun sebelumnya lagi, dimana kali ini dilaksanakan oleh para mahasiswa Tuban yang belajar di Surabaya dan Madura yang membentuk kepanitiaan dengan nama “Suramadu”.  

Tulisan ini bukan saya tujukan untuk lebih jauh mengupas proses berjalannya kegiatan, namun sekedar tanggapan terhadap sebuah tulisan sahabat KPMRT (Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Tuban) di Yogyakarta yang beberapa hari lalu dirilis di websitenya. Apa yang ditulis oleh sahabat tersebut kurang lebih berkisar pada dua isu besar. Pertama, adalah kesan yang terlihat dan terasa oleh ketika menjadi peserta Campus Festival. Dia merasa bahwa sebagian besar mahasiswa yang mengikuti pameran ini sedang terjebak dalam euforia egoisitas kampus. Mereka terlalu membangga-banggakan kampus tempat mereka belajar dan bersifat eksklusif terhadap kampus-kampus yang lainnya, dengan menonjolkan ke-”aku”-annya dan seakan tak pernah terlintas di benaknya untuk mengekspresikan ke-“kita”-annya sebagai warga Tuban. Ini terlihat dalam seragam yang dikenakan masing-masing kampus, hampir semuanya mengenakan pakaian seragam sebagai identitas Orda (Organisasi Daerah) di tiap kampusnya dan berbangga diri dengan hal itu. Ini sangat berbeda dengan kostum yang dikenakan oleh para sahabat KPMRT yang bergabung satu stand saja (padahal di dalamnya terdiri dari beberapa kampus di Yogya) dengan pakaian bebas tanpa seragam, sesuka hati mereka. Betapa teman-teman yang lain tersebut telah terkooptasi dengan indahnya bungkus, tanpa sama sekali mementingkan isi atau esensi yang ada di dalamnya.

Kedua, adalah ikon “Tuban Bumi Wali” yang ditanggapi nyinyir oleh sahabat kita ini. Dia menyatakan entah ada kaitannya atau tidak antara tempat kegiatan yang diadakan di Budaya Loka yang itu berdekatan dengan ikon “Tuban Bumi Wali” itu di sebelah timurnya, sehingga mahasiswa yang seharusnya lebih mementingkan isi malah tertipu oleh silaunya seragam dan kebanggaan kampusnya, tanpa mengetahui lebih mendalam kondisi real Kabupaten Tuban dengan seabrek permasalahannya. Begitu halnya slogan “Tuban Bumi Wali” yang sangat besar terpampang di bundaran timur gedung Budaya loka itu dan satu lagi yang baru-baru ini dipasang di depan kantor DPRD Tuban. Dengan bahasa lain saya perjelas, menurutnya, slogan ini adalah slogan bungkus yang mengaburkan esensi kondisi real seperti apa Tuban itu. Slogan ini menjadikan warga Tuban besar kepala, karena mensiratkan seluruh warganya itu dekat dengan Tuhan atau dekat dengan surga. Atau malah ikon ini sengaja dibuat untuk pajangan agar indah sebagai background foto adik-adik SMA yang sedang lewat. Ia ingin memahamkan bahwa masyarakat telah sebegitu jauhnya ternina bobokkan oleh bungkus-bungkus yang memang sengaja dibuat oleh Si pemegang kekuasaan agar lupa dengan isi, lupa dengan kondisi real yang mereka alami akibat kebijakan-kebijakan penguasa.

Dua entri point ini tak ingin saya counter atau saya kritisi, karena sedikit banyak saya sangat setuju dengan isinya. Bahwa kita tetap harus mementingkan isi atau esensi dari pada bungkus. Akan tetapi hal yang perlu saya jabarkan adalah perlunya kita memandang fenomena Orda Tuban ini dengan kearifan. Kearifan yang saya maksudkan adalah kita tak bisa menyamaratakan konteks semua kampus dan daerah dimana kampus itu berada. Konteks kampus adalah tipikal masing-masing kampus, dimana ada macam-macam kampus, seperti kampus Negeri dan Swasta, kampus di bawah Diknas dan Depag, kampus elit dan tidak elit, kampus swasta mahal dan kampus swasta kecil yang sepi peminat. Sedangkan konteks daerah adalah kondisi geografis daerah dan iklim akademik di tiap daerah tidaklah sama, dimana sedikit banyak antara kondisi geografis dan iklim akademik tersebut dapat terkorelasi. Semisal Surabaya yang panas dan persaingan kerja yang teramat ketat, membuat pola pikir mahasiswa terkonstruk menjadi pragmatis, bagaimana mereka bisa dapat nilai bagus dan cepat lulus kuliah kemudian bekerja. Malang misalnya, kondisi geografis yang dingin dengan menjamurnya tempat wisata, baik yang alami atau buatan, menjadikan mahasiswa lebih suka berpetualang mendaki gunung atau menjelajah tempat wisata di waktu luangnya. Berbeda halnya (mungkin) dengan Yogyakarta yang sudah masyhur di mana-mana sebagai kawah candradimukanya kaum intelektual, gudangnya para seniman dan tempat bersemainya multikulturalisme. Kegiatan pergerakan mahasiswa tumbuh subur, diskusi-diskusi berjalan, idealisme benar-benar dipupuk dan dikembangkan, hal ini menciptakan iklim akademik yang sangat baik dalam rangka pengembangan kapasitas intelektual.

Konteks inilah yang harus kita perhatikan. Perbedaan-perbedaan tipe kampus dan daerah dimana kampus berada, turut memberi andil dalam mengkonstruk paradigma berpikir, gaya hidup dan bahkan sampai cara bicara mereka. Artinya, konteks ini jangan kita abaikan, tatkala ingin mempersatukan semua mahasiswa Tuban. Hal semacam ini sudah sejak lama dibicarakan sahabat-sahabat mahasiswa Tuban angkatan ‘07-‘08 semenjak enam tahun yang lalu di warung-warung kopi. Penyatuan dalam wadah yang lebih luas adalah ibarat payung yang bisa menjadi tempat berteduh bagi semua orda Tuban yang bertebaran. Payung ini dapat menjadi wadah bergerak secara bersama-sama dan menanggalkan egoisitas-eksklusifitas masing-masing kampus. Bergerak bersama-sama dalam artian mengadakan kegiatan dalam skala besar dan dengan satu nama, “mahasiswa Tuban”, tak peduli dari Desa mana dan dari kampus apa ia berasal. Tetapi kita jangan berharap intensitas kegiatan dan intensitas berkumpul mereka, buatlah agenda tahunan tiga atau ampat buah saja. Karena jarak yang sangat jauh, lintas kabupaten, lintas propinsi dan bahkan lintas pulau.

Kesepakatan lain pula yang sudah selesai dibahas kala itu adalah, adanya payung besar ini sebagai stimulis terbentuknya orda-orda Tuban di kampus-kampus yang belum terbentuk. Biarlah orda-orda Tuban di tiap kampus terbentuk, dengan apapun namanya, dengan se-intensif apapun kegiatannya. Karena di internal kampuslah mereka dapat intensif bertemu dan berkegiatan, sedangkan di luar kampusnya mereka akan memiliki jaringan orda yang lebih luas dengan payung mahasiswa Tuban itu tadi. Adanya penyatuan tadi, bukan dalam maksud peleburan semua orda yang sudah ada dengan namanya masing-masing untuk berubah menjadi satu nama, akan tetapi justru sebagai penyemai terbentuknya masing-masing orda di internal kampus yang belum ada. Sedangkan dalam konteks antar kampus, kita memiliki payung yang lebih luas, se-Indonesia (kalau bisa).

Terakhir satu hal lagi yang terpenting, adalah keterlibatan semua kampus di dalam Kota dan Kabupaten Tuban sendiri. Saya sebut Kabupaten karena di wilayah Tuban selatan juga mulai berdiri kampus-kampus kecil yang juga harus diperhitungkan. Orda-orda Tuban di luar Tuban boleh berbangga dengan kebesaran kampusnya, tetapi mereka harus kulo nuwun dan sendhika dhawuh dengan mahasiswa di dalam wilayah Tuban sendiri—yang terepresentasikan oleh Pengurus BEM—di tiap kampus. Merekalah yang paling mengerti dengan kondisi riil Tuban, dari implementasi kebijakan Pemkab Tuban sampai keadaan sebenar-benarnya masyarakat Tuban sampai di pelosok-pelosok. Oleh sebab itu, dalam proses ini, mereka wajib dilibatkan dan diajak untuk bicara.

Apabila kita bisa arif dalam melihat, maka kita akan bijak dalam bersikap, tak terkecuali dalam merajut simpul-simpul mahasiswa Tuban yang masih terserak. Jangan khawatir, Anda tidak sendirian, kaum-kaum yang sudah purna kuliah dengan beragam profesinya selalu mengawasi, melihat dari jauh dan memberikan back up penuh, karena sedari awal niat ini berangkat dari ketulusan hati semata-mata untuk Tuban tercinta.



Wallahu A’lam. 

0

Paradoks Sarjana

Posted by Unknown on 02.03 in
Sabtu dan Minggu, 22 dan 23 Oktober 2016 menjadi hari yang bersejarah bagi (mungkin) sebagian orang di Kota Malang, terutama civitas akademika UIN Maliki Malang. Karena di kedua hari itu momen wisuda sarjana yang meluluskan mahasiswa terbanyak di kampus ini dilakukan. Karena jumlah wisudawan yang terlampau banyak, maka prosesi wisuda dibagi mejadi dua gelombang, yaitu hari sabtu dan minggu. Hari sabtu diperuntukkan bagi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Humaniora dan Syari’ah, sedangkan hari minggu khusus untuk Fakultas Saintek, Ekonomi dan Pascasarjana (S2 dan S3). Jalanan sekitar Dinoyo dan Gajayana mapun Sunan Kalijaga ramai padat dipenuhi kendaraan, karena pada hari Sabtu-nya juga dilakukan prosesi wisuda serupa di kampus sebelah—UNISMA (Universitas Islam Malang)—yang merupakan kampus kebanggaan warga NU.

Saya merupakan salah satu orang yang boleh jadi beruntung, karena menjadi salah satu dari 1.900-an mahasiswa yang kuncir toganya dipindahkan dari kiri ke kanan, yang konon katanya itu menunjukkan seseorang sudah purna kuliah dengan melakukan riset akademik sebagai syarat kelulusannya. Akan tetapi kebanggaan saya seketika surut, karena menurut saya tak ada yang patut dibanggakan, sebaliknya momen tersebut merupakan renungan yang menonjok mental saya bertubi-tubi.

Pertama, wisuda yang meluluskan mahasiswa sebanyak itu ibaratnya adalah “cuci gudang” yang merupakan pemberian kesempatan atau semacam amnesty bagi sebagian besar mahasiswa yang telah molor bertahun-tahun—termasuk saya sendiri—untuk dapat lulus dan mengurangi beban moral kampus. Karena untuk mempertahankan atau mendapat akreditasi institusi yang baik, tiada lain harus meminimalisir mahasiswa yang terlalu lama menjadi “macan kampus”, tak terkecuali yang ada di program pascasarjana.

Kedua, saya menyayangkan sistem kampus yang selama ini berlaku, mengapa wisuda kelulusan harus menunggu kuota ribuan calon wisudawan terlebih dahulu, baru kemudian diluluskan. Hal itu ditambah lagi dengan lamanya pencetakan dan penandatanganan ijazah, karena map ijazah yang saya dan kawan-kawan terima adalah “map kosong” yang belum terisi ijazah di dalamnya. Kalaupun memungkinkan, bolehlah kiranya meniru sistem di kampus sebelah—Universitas Brawijaya—yang melakukan prosesi wisuda tiap bulan dengan ijazah yang sudah jadi ketika prosesi wisuda dilakukan. Jadi, tiap tahun dapat dilakukan wisuda puluhan kali. Ibarat orang dagang, mahasiswa UIN Maliki ini mengalami kerugian, karena harus membayar dan melengkapi seabrek persyaratan untuk wisuda—termasuk ujian/munaqosyah—dan lantas setelah itu dilengkapi, mereka masih harus menunggu berbulan-bulan untuk diwisuda, karena setahun hanya dilakukan dua atau tiga kali. Ditambah lagi harus menunggu ijazah siap dicetak dan ditandatangani. Otomatis, hal semacam ini memperlambat mereka yang ingin segera merambah dunia pekerjaan, ditengah-tengah iklim negeri yang terlalu mendewakan ijazah.

Kemudian ketiga, tak seimbangnya komitmen mahasiswa yang melakukan riset akhir (skripsi, tesis, disertasi) dengan dosen pembimbingnya. Ada mahasiswa yang pragmatis pokoknya lulus dan selesai secepatnya, tanpa mementingkan kualitas risetnya. Kesulitan besar akan dialami oleh mahasiswa dengan gelagat semacam ini ketika mendapatkan dosen pembimbing yang idealis. Begitu pula sebaliknya, banyak mahasiswa yang idealis ingin risetnya selesai dengan kualitas yang baik, tapi bertemu dengan dosen pembimbing yang pragmatis, bagaimana yang penting riset itu  selesai, tanpa memberikan bimbingan yang baik kepada mahasiswa bimbingannya. Saya sangat terganggu dengan pernyataan beberapa dosen yang menyatakan “skripsi/tesis/disertasi yang baik adalah yang selesai”. Jargon semacam ini akan ditangkap oleh para mahasiswa yang bermadzhab pragmatis untuk cepat-cepat menyelesaikan risertnya dan bahkan lebih parahnya mengcopy-paste riset orang lain, tanpa sama sekali memiliki idealisme untuk menghasilkan proses dan hasil riset yang berkualitas. Seyogyanya idealisme harus terlahir di kedua belah pihak, yaitu individu mahasiswa beserta dosen pembimbingnya yang dilakukan dengan mempertimbangkan asas efisiensi dan efektifitas. Idealisme yang dimaksud adalah komitmen untuk melakukan dan menyelesaikan riset dengan baik dan berkualitas sesuai dengan pedoman metodologi riset/penelitian yang ada. Efektifitas dan efisiensi adalah riset tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tenggat waktu yang ada. Jangan sampai riset yang dilakukan terlalu membebani mahasiswa sehingga harus molor lama dan mengeluarkan biaya yang terlalu besar.

Selain masalah kualitas lulusan mahasiswa, yang menjadi pekerjaan rumah besar adalah bagaimana lulusan—termasuk saya pribadi—untuk berkarya di bidang yang sesuai dengan kompetensi ijazah. Banyak lulusan sarjana yang bekerja dan berkarya di luar bidang kompetensinya, alasannya sederhana, karena terlalu banyaknya lulusan mahasiswa yang sebidang dengannya. Sehingga pemintaan kouta jumah tenaga kerja yang sedikit, tak dapat memenuhi keseluruhan jumlah lulusan dalam suatu bidang yang overload (terlalu banyak). Akhirnya terpaksa, banyak lulusan perguruan tinggi yang banting setir bekerja di luar bidang kompetensinya. Ini salah satu akibat kurang cermatnya pemetaan baik dari pemerintah atau perguruan tinggi, yaitu antara permintaan dunia kerja (baca: kuota tenaga kerja yang dibutuhkan), dengan jumlah mahasiswa baru yang harus diterima/dibatasi. Sebut contoh saja, kuota penerimaan mahasiswa jurusan PAI (Pendidikan Agama Islam) selalu sangat banyak tiap tahunnya dibanding jurusan lainnya di Fakultas FITK pada hampir seluruh PTAI di Indonesia. Padahal kebutuhan guru PAI di suatu daerah lebih sedikit dari pada jumlah mahasiswa yang diluluskan. Tentunya, hal tersebut juga harus disertai dengan komitmen para lulusan untuk mencintai bidang pekerjaan yang sudah digelutinya selama masa kuliah, dengan tanpa mengesampingkan bakat-bakat lain yang dimilikinya. Belum lagi masalah peran kita, para sarjana lulusan perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan yang tinggi bukanlah hanya sekedar sarana untuk memperoleh kemapanan hidup secara pribadi, akan tetapi juga memiliki dimensi pengabdian sosial di masyarakat. Sebagaimana salah satu tri dharma perguruan tinggi yaitu “fungsi pengabdian masyarakat”. Peran kita masihlah sangat kecil, dan tak bernilai apa-apa, atau bahkan kompetensi kita hanya berimplikasi pada kemapanan diri pribadi kita semata. Oleh karana itu, saya mengajak diri saya dan siapapun yang merasa sebagai sarjana, janganlah terlalu bangga dengan gelar itu, karena banyak sekali  kenyataan yang paradoksal dan memerlukan jawaban segera.

Wallahu A’lam

1

Pendidikan yang Memiskinkan; Membaca Kembali Kritik Pendidikan “menohok” ala Darmaningtyas

Posted by Unknown on 21.47 in
Ketika mendengar nama Darmaningtyas, telinga kita tentu sudah tak asing lagi. Beliau adalah orang yang bisa dikatakan nomor wahid yang secara lantang dan berani melontarkan kritikan-kritikan tajam terhadap aktualisasi pendidikan di negeri ini, dan beberapa kritikannya yang lain adalah mengenai transportasi di Indonesia. Dalam tulisan singkat ini akan secara spesifik saya uraikan pandangan-pandangan Darmaningtyas yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan yang Memiskinkan”, terbitan Galang Press Yogyakarta. Buku ini bukan buku yang secara kronologis membahas satu tema atau masalah secara spesifik dan metodologis semacam buku hasil riset tesis atau disertasi, melainkan adalah buku hasil kumpulan artikel-artikelnya yang berserakan di berbagai media massa. Akan tetapi kita tak perlu bingung memahami dan membacanya, karena secara garis besar, editor telah menyusunnya secara sistematis sesuai dengan tema-tema khusus yang mudah dapat kita cermati. Secara garis besar, kumpulan artikel dalam buku ini berisi kritik-kritik mengenai praktek pendidikan di tanah air selama pemerintahan Orde Baru (baca: pemerintahan Presiden Soeharto) yang meliputi segala lini masalah pendidikan, mulai dari makna pendidikan, kebijakan menteri pendidikan, kurikulum, profesi guru, buku ajar pendidikan, wajib belajar, sekolah unggulan, komersialisasi pendidikan, dan permasalahan di perguruan tinggi. Semua tersaji dalam 10 bab yang tertata secara sistematis.

Pendidikan pada Era Orde Baru
            Darmaningtyas merekam hampir seluruh fenomena yang terjadi di dunia pendidikan semenjak masa ia sekolah, itu dapat kita temui dalam beberapa kalimat dalam tulisannya yang banyak merefleksi kasus penidikan yang dia alami dahulu di bangku sekolah, kemudian ia bandingkan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi saat tulisan itu di buat, yaitu selama masa pemerintahan orde baru, sekitar tahun 1982-1990, atau sebelum era reformasi. Yaitu era di mana rakyat Indonesia sedang terninabobokkan kalau tidak boleh disebut “ketakutan” dengan rezim yang repressif dan otoriter saat itu. Tulisan-tulisannya sangat cermat dan teliti menyoroti kasus demi kasus yang sifatnya sangat kontekstual. Orang yang baru lahir atau baru dewasa di era reformasi mungkin akan menemukan fakta-fakta baru yang belum pernah ditemuinya. Kurang lebih (lebih banyak kurangnya) kritik Darmaningtyas terhadap fenomena pendidikan pada masa rezim orde baru dapat dikelompokkan dalam tiga hal, antara lain: pendidikan menjadi wahana indoktrinasi ideologi, pendidikan menjadi sapi perah industri tekstil dan pariwisata, dan pendidikan menjadi aktifitas yang menyengsarakan masyarakat.

Pendidikan sebagai Wahana Indoktrinasi Ideologi
            Di masa orde baru, pemerintah menjadikan pendidikan sebagai alat “pemaksaan” penanaman ideologi yang cukup massif, dimana tentunya ditujukan untuk melanggengkan status quo saat itu. Pertama, yang dilakukan adalah penggantian mata pelajaran Kewarganegaraan (civic education) menjadi PMP (Pendidikan Moral Pancasila) sejak tahun 1976. Pelajaran kewarganegaraan mengajarkan para siswa untuk mengetahui hak-hak dan kewajibannya sebagai warga Negara, begitupun sebaliknya Negara sebagai sebuah institusi kepada rakyatnya. Implikasinya adalah nantinya akan dihasilkan anak-anak yang kritis terhadap segala kebijakan pemerintah dengan mengetahui akan apa saja yang menjadi haknya. Akan tetapi pelajaran PMP tekanannya lebih diarahkan pada menjadikan siswa menjadi oang-orang yang patuh dan taat pada ideologi negara saja, tapi tak pernah diajarkan tentang apa saja yang menjadi hak-haknya. Produknya adalah orang-orang yang taat, patuh, pengecut, tidak kritis serta tidak pernah memiliki prinsip sendiri. Kedua, adalah pemberian materi penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang harus diikuti semua murid mulai TK sampai Perguruan Tinggi dan juga para gurunya. Sejak tahun 1983-1997, penataran P4 menjadi kewajiban yang harus diikuti oleh setiap murid baru. Ketiga, pemberian materi pada pelajaran sejarah yang terlalu menekankan pada peristiwa 1965-1966 yang menampilkan penguasa orde baru sebagai pahlawan dalam memberantas PKI (Partai Komunis Indonesia), eksploitasi berlebihan kekejaman PKI dan heroiknya angkatan darat dalam menyelamatkan pancasila. Keempat, pada masa Pelita III diadakan peraturan seragam wajib merah-putih untuk SD, biru-putih untuk SMP, dan abu-abu-putih untuk SMA (SMTA). Dimana sebelumnya seragam sekolah itu dibebaskan memakai pakaian seperti apa yang dikehendaki oleh masing-masing sekolah. Kelima, adanya penambahan mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), yang tumpang tindih dengan materi sejarah, dimana muatannya  dimaksudkan untuk menyenangkan kekuatan politik yang dominan, yaitu ABRI, terutama Angkatan Darat. Kemudian keenam adalah dibentuknya PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang menjadi alat kontrol penguasa terhadap suara-suara yang kritis dari para guru. Dimana PGRI saat itu adalah organisasi profesi yang menjadi basis pendukung partai Golkar (Golongan Karya) pada saat itu.

Pendidikan Menjadi Sapi Perah Industri Tekstil dan Pariwisata
            Pada era 1970an, pemerintah juga sedang meggalakkan pertumbuhan industri tekstil dan pariwisata. Pendidikan menjadi pangsa pasar (sapi perah) dua industri tersebut. Industri tekstil mendapatkan peningkatan pendapatan yang signifikan setelah diberlakukannya peraturan wajib menggunakan seragam, pada masa menteri Daoed Joesoef. Sedangkan Industri pariwisata mendapat momentumnya ketita hampir semua sekolah mewajibkan program study tour bagi setiap angakatannya tiap tahun. Dua kewajiban yang sengaja dibentuk itu sudah barang tentu akan meningkatkan produktifitas dua macam industri tersebut dan lagi-lagi dunia pendidikan, siswa dan rakyat kecil yang manjadi korban, karena harus mengeluarkan biaya lagi.

Pendidikan Menyengsarakan Masyarakat
            Segala jenis pembiayaan dalam pendidikan, yang sarat dengan kepentingan penguasa dan pemodal tersebut semakin menyengsarakan masyarakat. Setiap awal tahun dan akhir tahun rakyat harus menyediakan banyak uang untuk kegiatan pendidikan anaknya. Banyak masyarakat yang berbondong-bondong menggadaikan barang-barangnya untuk ditukar dengan uang sebagai biaya tetek bengek sekolah anaknya. Hal tersebut diperparah dengan orientasi lulusan sekolah yang diarahkan untuk menjadi orang-orang urban sebagai pegawai negeri atau kayawan yang lupa dengan kampung halamannya. Pendidikan justru menjadikan anak-anak  lupa dengan status keluarganya yang pedagang, petani, nelayan dan sebagainya. Dimana justru hal tersebut lebih memperbanyak pengangguran, dari pada pekerja yang siap untuk bertahan hidup di kampung halamannya sendiri sesuai dengan latar belakang budayanya. Alih-alih menjadi manusia urban, anak-anak lulusan sekolah malah kehilangan identitas daerah dan budayanya dan yang lebih parahnya lagi, mereka tak dapat memiliki pekerjaan.

Refleksi
            Tulisan-tulisan Darmaningtyas dalam buku ini tajam menukik dan disertai dengan data-data yang akurat. Tajam menukik dalam artian kritik-kritik yang dilontarkan tanpa basa-basi menggunakan bahasa yang lugas, namun jelas. Kejelasan tersebut juga disertai dengan data-data yang lengkap dibalut argumen hasil refleksi kritisnya terhadap konteks keadaan yang terjadi saat itu (zaman orde baru). Kritik-kritiknya mendekonstruksi  segala kebijakan dan bahkan tatanan yang sudah berjalan di dunia pendidikan, dengan paradigma yang berani, yaitu “melawan arus”. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena beliau bukan dari background sarjana pendidikan, akan tetapi sarjana filsafat, mungkin itu yang menyebabkan segala kritiknya bebas meluncur kepada siapapun yang disasar. Akan tetapi sedikit sisi dari beberapa tulisan tersebut terasa kurang lengkap, karena dekonstruksi yang dilontarkan tidak disertai dengan solusi-solusi rekonstruktif atas segala masalah yang terjadi. Sepertinya dia tidak terlalu merisaukan hal itu, dan sengaja membiarkan pemegang kebijakan maupun praksiti dan pakar pendidikan untuk berpikir keras dalam merumuskan solusi jitu sebagai penyelesaiannya. Buku ini wajib dibaca oleh segenap pembuat kebijakan pendidikan, akademisi pendidikan dan para praktisi di dunia pendidikan.



Wallahu A’lam

0

Purna Siswa MAN Tuban 2016; Runtuhnya Stigma Sekolah Alternatif

Posted by Unknown on 08.03 in
Tepat pada hari selasa, 3 Mei 2016, jalan raya HOS. Cokroaminoto Tuban, di depan kompleks bangunan nomor 4, dipenuhi deretan mobil berbagai merk rapi berderet dari barat ke timur. Ditambah lagi puluhan motor terparkir sesak di halaman TK (Taman Kanak-Kanak) “Ath-Thur”  Tuban. Pada hari itu di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Tuban sedang diselenggaraan kegiatan purna studi siswa kelas XII tahun pelajaran 2015-2016. Tepat di tengah lapangan upacara yang sekaligus menjadi lapangan futsal dan basket itu, kegiatan tersebut dilaksanakan. Barisan kursi tertata rapi dengan tiga panggung di depannya, dimana panggung utamanya berada di tengah, menambah kemegahan acara itu. Penyelenggaraan purna siswa yang dilakukan di dalam lingkungan madrasah ini—walau hawa panas terasa di dalamnya—tetap menjadikan kenangan tersendiri, karena secara langsung baik siswa, guru, staf madrasah dan segenap undangan yang hadir dapat melihat dan menyaksikan lingkungan madrasah yang menjadi kawah candradimuka seluruh civitas akademika dalam berjibaku mengembangkan potensi kognitif, afektif dan psikomotornya. Kemudian untuk mengetahui segudang prestasi akademik maupun non akademik para siswa dan produk nyata predikat sukses para alumninya myang tersebar di segala sektor.
Purna siswa tahun 2016 ini menjadi menarik, karena kepala MAN Tuban—Bapak Saifuddin Yulianto, S.Ag., M.Pd.I.—membuat sebuah gebrakan kreatif dengan menyelipkan tiga macam kegiatan unik. Pertama, beliau mengundang puluhan alumni MAN Tuban lintas angkatan, kedua adanya peluncuran buku pertama karya para siswa MAN Tuban dan ketiga peresmian “MAN Tuban in the Corner” oleh Ka.Kanwil Kementerian Agama Jawa Timur. Hal tersebut membuat purna siswa yang diselenggarakan di dalam lingkunagan madrasah ini terasa lebih istimewa dari sebelumnya.

Puluhan alumni sengaja didatangkan dari berbagai daerah tempat kerjanya untuk menghadiri acara purna siswa ini. Kepala madrasah secara langsung mengontak satu persatu alumninya untuk datang pada hari itu. Dengan rasa senang dan bangga, para alumninya pun rela mengorbankan waktu kerjanya pada hari itu untuk menghadiri acara yang sakral tersebut. Yang menjadi istimewa lagi adalah  kehadiran para alumni MAN Tuban angkatan pertama (81, 82 dan 83). Beberapa dapat saya sebutkan adalah Bapak Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., Bapak Drs. Mahfud Shodar, M.Pd.I., Bapak Drs. Pardi, M.Pd. serta novelis muda Sifah Nur. Profesor Qomar adalah guru besar pemikiran modern dalam Islam dan mantan ketua di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Tulungangung yang prolific, karena telah menghasilkan belasan buku ilmiah akademik berkualitas yang berhasil diterbitkan oleh penerbit berskala nasional. Kebanyakan buku beliau bertemakan pemikiran Islam alternatif dan pendidikan Islam yang banyak dijadikan rujukan primer para mahasiswa di lingkungan IAIN/UIN. Beliau terkenal dengan konsep “kesadaran pendidikan” yang menurutnya menjadi solusi atas sengkarutnya kualitas pendidikan di Indonesia dewasa ini. Selanjutnya adalah Drs. Mahfud Shodar, M.Pd.I., dan Drs. Pardi, M.Pd., yang masing-masing adalah Kepala Kantor Wilayah dan Kasi Kesiswaan Pendidikan Madrasah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Kepiawaian keduanya dalam memimpin di lingkungan kementerian agama menjadikan mereka berdua berhasil menduduki jabatan prestigious yang membawahi seluruh kantor kementerian agama di wilayah Jawa Timur. Para tokoh tadi merupakan teladan kepada alumni yang lain dan siswa-siswi MAN Tuban, akan arti pentingnya capaian intelektual serta profesionalisme dalam memimpin telah berhasil mengantarkan ketiganya ke gerbang kesuksesan. Kita beranjak ke alumni berikutnya, Sifah Nur. Dia adalah alumnus yang relatif masih belia, lulusan tahun 2013 dan mahasiswa aktif semester empat di Universitas Brawijaya Malang. Yang menjadi istimewa adalah keberhasilannya menerbitkan beberapa karya novelnya di penerbit nasional. Dia pantas disebut sebagai novelis muda berbakat yang boleh jadi di masanya nanti, ia akan sejajar dengan novelis sekelas Andrea Hirata, Habiburrahman El-Shirazi dan bahkan Pramudia Ananta Toer. Keempat alumnus beda generasi tersebut memberikan testimoni dan orasinya satu persatu, sehingga membakar semangat semua undangan yang hadir pada waktu itu.
Dalam momen purna siswa 2016 ini juga diadakan peresmian “MAN Tuban in The Corner” oleh Ka.Kanwil Kemenag. Jatim yang beliau juga adalah alumnus MAN Tuban angkatan 81. MAN Tuban in The Corner adalah pojok baca di lobi MAN Tuban yang merupakan area baca berisi puluhan buku karya guru, alumni dan para siswa MAN Tuban. Buku-buku tersebut terdiri dari buku-buku ilmiah akademik, hasil penelitian, bunga rampai kumpulan artkel, novel dan buku-buku sastra lainnya. Beraneka ragamnya bentuk tulisan pada buku-buku tersebut menandakan dari MAN Tuban telah lahir para penulis dengan skill menulisnya masing-masing. MAN Tuban telah meneguhkan diri dan serius mengembangkan bakat kepenulisan para siswanya. Ini terbukti dengan diadakannya pelatihan kepenulisan oleh MAN Tuban yang bekerja sama dengan lembaga Nizamia Learning Center (NLC). Para peserta dibekali keahlian menulis dan secara langsung dipraktekkan dengan produk pelatihan berupa tulisan yang benar-benar diterbitkan dalam bentuk buku.
Hasil dari pelatihan menulis tersebut dibuat dalam bentuk buku kumpulan tulisan, cerpen dan puisi dari siswa dan siswi MAN Tuban. Tulisan siswa-siswi MAN Tuban tersebut dituangkan dalam sebuah buku berjudul “Untaian Cita-Cita Hati; Kumpulan Karya Siswa-Siswi MAN Tuban” yang diterbitkan ratusan eksemplar. Buku tersebut diberi pengantar oleh kepala MAN Tuban, Bapak Saifuddin Yulianto, S.Ag., M.Pd.I., dan Bapak Dr. M. Musfiqon, M.Pd. (alumnus MAN Tuban 96 dan tutor latihan kepenulisan tersebut). Doktor Musfiqon adalah salah satu alumnus yang berprestasi pula, ia berprofesi sebagai dosen yang menduduki jabatan Dekan Fakultas Tarbiyah di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Peluncuran buku ini menjadi pemicu semangat dan antusiasme para alumnus, guru dan para siswa MAN Tuban untuk menghasilkan karya-karya serupa yang lebih banyak dan lebih berkualitas lagi.
Alumni angkatan awal yang kerkarir sebagai akademisi dan birokrat tersebut hanya sebagian kecil dari seluruh alumni MAN Tuban yang telah sukses di bidangnya, dimana karena keterbatasan kemampuan tidak bisa menampung seluruh alumni untuk hadir. Pada sektor yang lainnya masih banyak alumni yang sukses dalam karirnya, antara lain sebagai pengusaha, wiraswasta, pegawai negeri sipil, pendakwah, TNI, POLRI, petani, pedagang, seniman dan lain sebagainya. Heterogenitas profesi para alumni MAN Tuban ini menunjukkan beragamnya keahlian lulusan MAN Tuban yang sebagian besar berhasil diwadahi dan dikembangkan selama di madrasah dan dilanjutkan setelah para siswa itu lulus dari madrasah. Pandangan miring sebagian orang yang menganggap kualitas sebuah lembaga pendidikan hanya dari bagus atau tidaknya input calon siswanya pelu diubah dengan juga melihat kualitas produk para alumninya. Apabila suatu lembaga pendidikan dengan input siswa berkualitas SDM rendah tetapi berhasil menghasilkan produk alumni yang berhasil secara monumental dalam karirnya, maka itu menandakan sekolah/madrasah tersebut telah berhasil mendidik para siswanya dan dapat dikatakan itu adalah lembaga pendidikan yang berkualitas.
MAN Tuban dengan empat program unggulannya, yaitu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), Bahasa dan Program Keagamaan kiranya dapat disebut sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas. Ciri khas MAN Tuban sebagai “MAN Keterampilan” (otomotif, las dan tata busana) dan predikat Sekolah/Madrasah Adiwyata terbaik se-Kabupaten Tuban yang ditambah lagi dengan keberhasilan capaian alumninya di atas, kiranya dapat meruntuhkan stigma bahwa madrasah hanyalah sekolah alternatif, tetapi sebaliknya madrasah dapat dijadikan referensi utama pendidikan menengah atas bagi anak dengan program pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan internalisasi ajaran agama Islam dalam kegiatan pendidikannya sehari-hari.
Wallahu A’lam



0

Perginya Sang Ikon Keilmuan; Liputan Peluncuran Buku Terakhir Alm. Prof. Muhaimin

Posted by Unknown on 12.51 in
Pada hari Sabtu, 2 April 2016 di auditorium Gedung Prof. Susilo Bambang Yudhoyono Kompleks Pascasarjana UIN Maliki Malang dilaksanakan acara peluncuran buku karya terakhir almarhum Prof. Dr. Muhaimin, MA—direktur pascasarjana dan Guru Besar Pendidikan Islam di UIN Maliki Malang—sekaligus reuni alumni mahasiswa Program Pascasarjana. Acara tersebut penuh sesak dengan peserta, meski pendaftaran sudah dilakukan jauh-jauh hari secara online melalui website pascasarjana. Dalam bedah buku ini panitia mengundang dua orang pembicara, yaitu pertama Prof. Dr. Imam Suprayogo dan kedua Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag. (guru besar Pemikiran Islam di IAIN Tulungagung) dengan dimoderatori oleh Dr. Ahmad Khudori Soleh, M. Ag. Para undangan yang hadir meliputi rektor UIN Maliki Malang, Prof. Dr. Mudjia Raharjo, M.Si., direktur Pascasarjana, Prof. Dr. Baharuddin, M.Pd.I., para dosen, para alumni dan mahasiswa S2 dan S3 aktif Pascasarjana UIN Maliki Malang.
Dalam sambutannya, Rektor UIN Maliki Malang, Prof. Dr. Mudjia Rahardjo, M.Si., banyak bercerita tentang capaian UIN Maliki Malang selama ini. Salah satunya adalah keberhasilan pendirian Fakultas Kedokteran yang baru saja SK-nya ditetapkan oleh Menristekdikti, dengan spesifikasi kedokteran khusus haji dan umroh. Pendirian fakultas kedokteran ini sudah menjadi planning jangka panjang yang dilakukan oleh rektor sebelumnya, Prof. Imam Suprayogo. Prof. Mudji menambahkan pengembangkan fakultas dan prodi-prodi baru ini dalam rangka menjawab tantangan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) yang sekarang sudah berjalan dan MEAP (Masyarakat Ekonomi Asean Asia Pasifik) yang menyusul akan diberlakukan. Jika Bangsa Indonesia tidak mampu menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki keahlian di berbagai bidang dan siap bersaing, maka Indonesia akan menjadi negara yang tertinggal. Di samping itu, rektor juga menjelaskan perencaan pembangunan kampus 3 UIN Maliki Malang di tanah seluas 100 hektar yang telah selesai dibebaskan sebelumnya. Dengan perencanaan bangunan yang mewah dan modern, dan dilengkapi dengan gedung Islamic Centre, maka kampus 3 ini diharapkan akan menjadi ikon pengkajian peradaban Islam. Hal penting terakhir yang disampaikan rektor adalah keinginannya merubah status UIN Maliki Malang ini yang sekarang masih BLU (Badan Layanan Umum) menjadi BH (Badan Hukum). Apabila status kampus sudah menjadi Badan Hukum, maka ia memiliki otoritas yang besar dalam mengembangkan program pendidikannya, termasuk badan usahanya, seperti membuka atau mendirikan program studi baru. Universitas lain yang sudah berstatus Badan Hukum antara lain adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelum rektor menutup sambutannya, ia mengharap kepada semua yang hadir untuk meneladani almarhum Prof. Muhaimin, dalam segala hal, terutama dalam menghidupkan budaya menulis dan meneliti di kalangan civitas akademika.
Setelah semua sambutan selesai, maka dilanjutkan dengan sesi diskusi. Pamaparan pertama disampaikan oleh Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., dan dilanjutkan dengan paparan dari Prof. Dr. Imam Suprayogo. Dalam paparannya Prof. Qomar banyak sekali mengapresiasi gagasan dan pemikiran Prof. Muhaimin dalam bukunya tersebut, akan tetapi juga dilengkapi dengan kritik-kritik konstruktif terhadap kekurangan buku tersebut. Prof. Qomar menyebut beliau (Prof. Muhaimin) sebagai “ikon keilmuan” di UIN Maliki Malang. Ikon keilmuan yang dimaksud adalah seorang yang mampu mendobrak tradisi atau budaya stagnan yang telah berlangsung lama. Beliau merumuskan beberapa karakteristik ikon keilmuan yang semuanya terdapat dalam pribadi almarhum. Diantaranya adalah semangat keilmuan yang tinggi, peduli dalam memberikan pemecahan masalah keilmuan, memiliki tradisi penelitian, naluri mengembangkan ilmu pengetahuan,  tradisi menulis secara continue, dan memiliki obsesi yang tinggi dalam menawarkan konstruksi konseptual teoritis dalam ranah ilmu pengetahuan.[1]
Buku karya terakhir almarhum Prof. Muhaimin itu bertajuk “Model Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran dalam Pendidikan Islam Kontemporer di Sekolah/Madrasah dan Perguruan Tinggi”. Di dalamnya terdapat tujuh pembahasan, antara lain pertama membahas perbincangan perubahan kurikulum sekolah/madrasah di Indonesia; kedua, reaktualisasi pendidikan agama Islam pada Sekolah/Madrasah dalam Implementasi Kurikulum 2013; ketiga, pemgembangan metodologi pembelajaran PAI; keempat, pengembangan kurikulum dan rencana pembelajaran pada perguruan tinggi Islam (PTI); kelima,  pengembangan desain kurikulum program magister PAI berbasis KKNI; keenam, pengembangan desain kurikulum pendidikan kader ulama dan ketujuh, model pendidikan berbasis Ulum Albab.[2] Dalam telaah Prof. Qomar terhadap buku ini, beliau mengapresiasi pembahasan di dalamnya dalam beberapa aspek. Menurutnya, dalam buku ini Prof. Muhaimin menunjukkan beberapa keunggulan, antara lain: a) ketidakterpisahan antara kurikulum dan pembelajaran, karena keberadaan kurikulum tanpa adanya metode pembelajaran akan menjadi tidak berarti, dan  begitupun sebaliknya, b) gambaran tentang bagaimana me-manage institusi pendidikan, termasuk proses pendidikan dan pembelajaran yang berbasis nilai-nilai Ulul Albab yang dibangun dari nilai-nilai wahyu Ilahi, c) analisis integrasi antara agama dan sains dalam kurikulum 2013 bukan hanya dalam tataran pelaku, tetapi substansi pengetahuan dan keterampilan atau keahliannya, d) dalam pengembangan kurikulum PAI yang berwawasan inklusif, perlu dikambangkan teologi inklusif agar terwujud sikap beragama yang inklusif pula, e) dalam membangun sumber daya peserta didik, secara psikologis dibutuhkan upaya pengembangan IQ (Intellligent Quotient), EQ (Emotional Quotient), CQ (Creativity Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient), f) arah desain kurikulum PAI ditekankan pada kemampuan PAI merespons kebutuhan-kebutuhan publik dalam masyarakat modern, dengan modal akhlaq mulia yang dijiwai oleh wahyu Ilahi yang menghiasi sikap responsif PAI menghadapi berbagai perkembangan kontemporer, dan g) pada tataran pembelajaran, proses pembelajaran PAI bukan sekedar melalui eksplorasi, eaborasi dan konfirmasi, tetapi juga dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan dan mencipta. Pikiran-pikiran inilah yang terdapat dalam buku tersebut dan merupakan kontribusi positif alm. Prof. Muhaimin terhadap kurikulum PAI di Indonesia.[3]
Selain dari pada itu, terdapat pula kritikan-kritikan konstruktif yang disampaikan oleh Prof. Qomar yang ika itu di dalami dengan serius, dapat dijadikan acuan oleh para dosen/peneliti dalam menulis karya serupa di masa yang akan datang. Hal-hal yang menjadi sorotan antara lain; a) menurut Prof. Muhaimin,, kurikulum merupakan inti atau jantungnya pendidikan, sebab kurikulum merupakan penjabaran dari idealisme, alternatif pendidikan, fungsi pendidikan dan penentu hasil pendidikan. Sedangkan dalam pandangan Qomar, kurikulum bukanlah penentu keberhasilan pendidikan, melainkan “kesadaran pendidikan”, b) harapan bahwa kurikulum S2 PAI dapat berkontribusi menghapuskan terorisme, radikalisalisme, fundamentalisme, isu NII, rendahnya daya saing, sikap intoleran dan lain-lain sepertinya terlalu melebii kapasitas program S2 PAI, c) tawaran struktur krikulum program S2 PAI yang diberikan Prof. Muhaimin mengacu pada Surat Edaran Dikti Nomor 526/E.E3/MI/2004, sedangkan surat ini tidak lolos dalam uji publik, sehingga telah dianulir dan diganti dengan peraturan Menristek Dikti Nomor 44 Tahun 2015. Demikianlah apresiasi dan kritik konstruktif yang disampaikan Prof. Qomar terhadap buku karya terakhir Prof. Muhaimin ini.[4]
Paparan Prof. Qomar di awal ini sepertinya kurang begitu disepakati oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo dalam paparan yang berikutnya. Berbeda dengan paparan pertama, paparan kedua lebih bersifat oral tanpa makalah, yang merupakan ciri khas dari beliau, yang piawai dalam beretorika dan membuat peserta yang hadir tertawa terpingkal-pingkal. Menurutnya, “apa yang telah disampaikan Prof. Qomar sebelumnya ini tidak konsisten, di bagian awal ia banyak mengapresiasi Prof. Muhaimin sebagai ikon keilmuan, mengapresiasi isi bukunya ini, akan tetapi di bagian belakang justru banyak sekali kritikan yang dikeluarkan terhadap buku ini”, ungkapnya. Akan tetapi, selebihnya Prof. Imam sepakat dengan apa yang menjadi pemikiran Prof. Qomar, yaitu bahwa kurikulum  pendidikan itu memang penting, akan tetapi yang lebih penting adalah kesungguhan atau kesadaran menuntut ilmu yang tinggi dalam dunia pendidikan ini, terutama para dosen, guru, kyai, profesor sangat penting keberadaannya. Kampus atau lembaga pendidikan yang hebat itu dapat dilihat pada kepakaran para pendidiknya pada bidang keilmuan masing-masing. Seperti yang dilakukan oleh para ulama’ hadits, fiqih, tafsir dan sebagainya, mereka belajar dengan berkelana mencari guru/syaikh yang pakar di bidangnya masing-masing dari satu guru ke guru yang lain dengan metode yang sederhana. Artinya, kurikulum yang diterapkan pun sangat sederhana pula, namun kesungguhan dan kesadaran dalam belajar itulah kunci keberhasilan mereka. Di bagian akhir, Prof. Imam menyampaikan bahwa almarhum Prof. Muhaimin ini adalah orang yang baik, dia mengabdikan dirinya untuk ilmu pengetahuan dan tentunya nanti akan mendapat tempat yang istimewa di sisi Allah Swt.
Diskusi diakhiri tanpa sesi tanya jawab, karena waktu yang sudah siang ditambah lagi pembicara sudah menyampaikan kalau sudah lelah. Sebelum di akhiri seluruh peserta satu buah buku karya almarhum Prof. Muhaimin terbitan UIN Maliki Press dan sekeping VCD berisi file digital book disertai video profil dan kiprah almarhum selama hidupnya, mulai awal karir sampai dengan posisi akhir beliau sebagai Direktur Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Seluruh civitas akademika UIN Maliki Malang beduka, namun perginya almarhum Prof. Muhaimin haruslah dapat dijadikan pelajaran bagi semua, agar  dapat meneladani sikap hidup dan konsistensi beliau dalam menulis dan berkarya untuk diskursus pengembangan ilmu pengetahuan.
Wallahu A’lam.





[1] Mujamil Qomar, Mengenang Sosok Konseptor Kurikulum Pendidikan Islam Indonesia dan Ikon Keilmuan UIN Maliki Malang, Makalah dalam Seminar Nasional dan Launching buku karya terakhir (alm.) Prof.  Dr. Muhaimin, MA., 2 April 2016, hlm. 1-2.
[2] Muhaimin, Model Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran dalam Pendidikan Islam Kontemporer di Sekolah/Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Malang: UIN Maliki Press, 2016), hlm. xvii-xix.
[3] Lihat dalam Mujamil Qomar, Mengenang…………hlm. 2-4.
[4] Lihat dalam Mujamil Qomar, Mengenang…………hlm. 4-6.

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.