2
Islam Nusantara sebagai Kajian Ilmiah
Posted by Unknown
on
00.10
in
Seminar

Saya
tersentak setelah masuk kembali di ruangan seminar untuk mengikuti sesi kedua,
yang mamberikan materi adalah Ulil Abshar Abdalla, menantu dari K.H. Mustofa
Bisri sendiri yang juga adalah koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL). Hal
yang terbesit di benak saya adalah, seliberal apapun Mas Ulil, dia adalah
bagian dari anak muda Nahdhatul Ulama yang juga sebagai menantu dari tokoh
sentral di NU, yaitu Gus Mus. Oleh karena itu, dalam forum-forum seperti ini
analisis Mas Ulil tetap layak diperdengarkan dan dijadikan rekomendasi penting.
Mas Ulil ditemani pemateri kedua, yaitu Prof. Dr. Warsono, M.Si., yang juga
adalah rektor UNESA (Universitas Negeri Surabaya). Ulil lebih banyak
menerangkan tentang dinamika keislaman dan radikalisme yang terjadi di
negara-negara Arab. Kemudian dia juga banyak bercerita tentang masa kecilnya di
pesantren, dan pernak-pernik kuliahnya di Amerika. Di akhir paparannya ia
menyoroti sangat langkanya sarjana muslim yang mengkaji secara obyektif tentang
agama-agama lain, terutama agama samawi (Kristen dan Yahudi). Karena di luar
sana, banyak sarjana dari Kristen dan Yahudi yang begitu mendalami kajian
keislaman dan menghasilkan karya-karya besar. Ini semua adalah dalam rangka dialog
konstruktif untuk membangun kerukunan antar umat beragama. Kemudian dilanjutkan
dengan Prof. Warsono yang lebih banyak menyoroti berbagai konflik horizontal yang
terjadi—terutama di kalangan kelompok umat Islam—adalah kesalahan paradigma
berpikir, yaitu paradigma dikotomik “benar” dan “salah”. Benar dan salah
diasosiasikan dalam dua kutub yang saling bersebarangan, satu kutub benar dan
satu kutub lagi adalah salah. Ketika benar, maka ia harus dijadikan
satu-satunya panutan dan mutlak adanya, sedangkan ketika salah satu kelompok
atau produk pemikiran lain dianggap salah, maka ia harus mutlak disalahkan,
dikucilkan dan lebih parahnya lagi dimusnahkan. Menurutnya, dalam berpikir kita
harus mengedepankan paradigma “alternatif” dan “positif”. Paradigma alternatif
dimaksudkan dengan menjadikan “benar” tidak selalu menjadi lawan dari “salah”,
tetapi benar ataupun salah itu sendiri sangat bervariasi, tidak ada benar dan
salah, yang ada adalah benar dengan benar, dengan tingkatannya
masing-masing. Sedangkan paradigma
positif adalah melihat setiap orang dari sisi baiknya, bukan sisi jeleknya.
Karena hanya dengan cara pandang seperti itu, kita dapat mengambil hal baik
dari orang lain dan selalu mencari dan berinovasi menghasilkan hal baru yang
lebih baik, bahkan dalam masalah keagamaan sekalipun. Tugas sebagai akademisi
adalah bukan hanya “mendekonstruksi”, tapi juga harus “merekonstruksi” bangunan
teori yang sudah ada agar dapat mengembangkan teori, bukannya mendewakan teori
yang sudah ada.

Pada
sesi kedua di hari kamis adalah paparan materi dari Prof. Dr. Nur Syam,
M.Si.—GurBesar Sosiologi UIN Sunan Ampel dan Sekjen Kemenag RI—dan budayawan
Emha Ainun Najib. Akan tetapi karena sesuatu hal, Cak Nun berhalangan untuk
hadir dan sempat mengecewakan para pesarta seminar. Paparan yang sangat
menggebu disampaikan Prof. Nur Syam—sosok panutan yang merintis karirnya
sebagai dosen di Fakultas Dakwah—tentang peran agama sebagai faktor penentu
perubahan. Tekanan yang sangat penting disampaikan adalah imbas dari
modernisasi sekarang ini memunculkan banyak tantangan. Tantangan modernisasi
dirumuskan ada empat hal, pertama adalah munculnya liberalisme, kedua
radikalisme, ketiga kapitalisme dan keempat adalah sosialisme baru. Isme-isme
yang muncul sebagai anak dari modernisasi ini adalah sebuah keniscayaan yang
timbul sebagai sebuah reaksi sosial, dimana dalam menyikapinya haruslah
disiapkan analisis dan gerakan yang matang. Kapitalisme negara-negara besar dan
maju (baca: Barat) ke seluruh penjuru dunia, terutama negara-negara Timur
Tengah sebagai negara penghasil minyak terbesar menyebabkan timbulnya
perlawanan sengit dari kalangan Islamis yang mengusung isu agama, dan pada ujungnya membuahkan radikalisme agama. Di
sisi lain muncul respon yang keras dari para sarjana dari kalangan muslim
sendiri maupun non muslim yang menentang keras aksi radikalisme ini yang telah banyak
melakukan kekerasan atas nama agama. Mereka terlibat dalam suatu gerakan
liberalisasi dengan mengusung pemahaman liberalisme Islam. Dua kutub ini kian
mengeras yang pada akhirnya justru menimbulkan konflik berkepanjangan. Di sisi
yang lainnya lagi muncul gerakan sosialisme baru dari kalangan orang-orang
modern. Prof. Nur Syam mencontohkan adanya pengadilan tribunal di Den Haq, yang
isinya banyak menguntungkan kalangan sosialis atau komunis, dimana hal tersebut
dapat menumbuhkan semangat sosialisme untuk kembali hidup di tanah air kita
Indonesia. Beliau mensinyalir sampai saat ini telah muncul benih-benih
sosialisme baru ini pada para petinggi negara, baik yang duduk di eksekutif
maupun legislatif. Tantangan-tantangan inilah yang perlu mendapat perhatian
serius dari NU yang mengusung paham Islam Nusantara, Islam Indonesia, dan Islam
rahmatan lil ‘alamin.
Materi-materi
di atas sangatlah berisi dan cukub berat untuk dicerna. Topik-topik yang
disajikan sangat orisinal dan baru yang dapat ditindak lanjuti dalam
forum-forum lanjutan. Untuk kemudian dibahas sebuah rumusan gerakan yang massif
di kalangan Nahdhatul Ulama’. Seluruh peserta seminar mendapatkan sertifikat
kegiatan dan sebuah buku terjemahan tebal berjudul Kontroversi Negara Islam;
Radikalisme vs Moderatisme karangan seorang pemikir Mesir—Khalil Abdul
Karim—yang diterjemahkan oleh penulis terkenal dari Yogyakarta, Aguk Irawan MN.
Institute for Nusantara Studies (Innus) ini juga menjalin jejaring di seluruh
Indonesia dengan lembaga-lembaga serupa dalam bentuk dan nama yang berbeda.
Adanya lembaga ini dapat menjadi wadah lanjutan bagi para kader muda NU dan
lainnya untuk melanjutkan tongkat estafet gerakan yang tetap berbasis pada intelektualitas
dan kajian ilmiah serta meneguhkan diri pada Islam Nusantara.
Wallahu
A’lam.