Tampilkan postingan dengan label Corat-Coret. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Corat-Coret. Tampilkan semua postingan
0

Kurang dan Lebihnya FDS

Posted by Unknown on 18.47 in
Sekolah Full Day, bagus sebagai alternatif model pendidikan di Indonesia. Karena tidak bs disangkal, kaum menengah ke atas kota yang super sibuk, tidak bs mengawasi anak-nya secara intens. Dg adanya FDS, mereka sangat terbantu.

Akan tetapi, jika itu dinasionalisasi dalam bentuk permendiknas, artinya akan berlaku nasional di seluruh Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke.

Ini tidak akan menguntungkan, terutama bagi masyarakat grass root yg mayoritas ada di negeri ini. Mereka bekerja tak jauh dari rumah, sore dan mlm hari pun ada di rumah. Mereka bisa secara intens mendidik anaknya scr langsung. Karena di samping sekolah, ada keluarga dan masy. sbg labiratorium nyata pembentukan kepribadian anak.

Belum lagi, bicara soal lemb. Pendidikan agama non formal semacam tpq, diniyah dsb. Mereka terancam gulung tikar, jika kebijakan ini dinasionalisasi.

Al Hasil, FDS bagus ada nya sbg alternatif model pendidikan di Indonesia yg dikelola scra swasta. Tapi jika itu dijadikan kebijakan nasional, akan merugikan masyarakat menengah ke bawah di pedesaan dan lemb. pendidikan agama non formal. Karena mereka jumlahnya mayoritas menyebar dari Sabang sampai Merauke.


Wallahu A'lam.

0

Paradoks Sarjana

Posted by Unknown on 02.03 in
Sabtu dan Minggu, 22 dan 23 Oktober 2016 menjadi hari yang bersejarah bagi (mungkin) sebagian orang di Kota Malang, terutama civitas akademika UIN Maliki Malang. Karena di kedua hari itu momen wisuda sarjana yang meluluskan mahasiswa terbanyak di kampus ini dilakukan. Karena jumlah wisudawan yang terlampau banyak, maka prosesi wisuda dibagi mejadi dua gelombang, yaitu hari sabtu dan minggu. Hari sabtu diperuntukkan bagi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Humaniora dan Syari’ah, sedangkan hari minggu khusus untuk Fakultas Saintek, Ekonomi dan Pascasarjana (S2 dan S3). Jalanan sekitar Dinoyo dan Gajayana mapun Sunan Kalijaga ramai padat dipenuhi kendaraan, karena pada hari Sabtu-nya juga dilakukan prosesi wisuda serupa di kampus sebelah—UNISMA (Universitas Islam Malang)—yang merupakan kampus kebanggaan warga NU.

Saya merupakan salah satu orang yang boleh jadi beruntung, karena menjadi salah satu dari 1.900-an mahasiswa yang kuncir toganya dipindahkan dari kiri ke kanan, yang konon katanya itu menunjukkan seseorang sudah purna kuliah dengan melakukan riset akademik sebagai syarat kelulusannya. Akan tetapi kebanggaan saya seketika surut, karena menurut saya tak ada yang patut dibanggakan, sebaliknya momen tersebut merupakan renungan yang menonjok mental saya bertubi-tubi.

Pertama, wisuda yang meluluskan mahasiswa sebanyak itu ibaratnya adalah “cuci gudang” yang merupakan pemberian kesempatan atau semacam amnesty bagi sebagian besar mahasiswa yang telah molor bertahun-tahun—termasuk saya sendiri—untuk dapat lulus dan mengurangi beban moral kampus. Karena untuk mempertahankan atau mendapat akreditasi institusi yang baik, tiada lain harus meminimalisir mahasiswa yang terlalu lama menjadi “macan kampus”, tak terkecuali yang ada di program pascasarjana.

Kedua, saya menyayangkan sistem kampus yang selama ini berlaku, mengapa wisuda kelulusan harus menunggu kuota ribuan calon wisudawan terlebih dahulu, baru kemudian diluluskan. Hal itu ditambah lagi dengan lamanya pencetakan dan penandatanganan ijazah, karena map ijazah yang saya dan kawan-kawan terima adalah “map kosong” yang belum terisi ijazah di dalamnya. Kalaupun memungkinkan, bolehlah kiranya meniru sistem di kampus sebelah—Universitas Brawijaya—yang melakukan prosesi wisuda tiap bulan dengan ijazah yang sudah jadi ketika prosesi wisuda dilakukan. Jadi, tiap tahun dapat dilakukan wisuda puluhan kali. Ibarat orang dagang, mahasiswa UIN Maliki ini mengalami kerugian, karena harus membayar dan melengkapi seabrek persyaratan untuk wisuda—termasuk ujian/munaqosyah—dan lantas setelah itu dilengkapi, mereka masih harus menunggu berbulan-bulan untuk diwisuda, karena setahun hanya dilakukan dua atau tiga kali. Ditambah lagi harus menunggu ijazah siap dicetak dan ditandatangani. Otomatis, hal semacam ini memperlambat mereka yang ingin segera merambah dunia pekerjaan, ditengah-tengah iklim negeri yang terlalu mendewakan ijazah.

Kemudian ketiga, tak seimbangnya komitmen mahasiswa yang melakukan riset akhir (skripsi, tesis, disertasi) dengan dosen pembimbingnya. Ada mahasiswa yang pragmatis pokoknya lulus dan selesai secepatnya, tanpa mementingkan kualitas risetnya. Kesulitan besar akan dialami oleh mahasiswa dengan gelagat semacam ini ketika mendapatkan dosen pembimbing yang idealis. Begitu pula sebaliknya, banyak mahasiswa yang idealis ingin risetnya selesai dengan kualitas yang baik, tapi bertemu dengan dosen pembimbing yang pragmatis, bagaimana yang penting riset itu  selesai, tanpa memberikan bimbingan yang baik kepada mahasiswa bimbingannya. Saya sangat terganggu dengan pernyataan beberapa dosen yang menyatakan “skripsi/tesis/disertasi yang baik adalah yang selesai”. Jargon semacam ini akan ditangkap oleh para mahasiswa yang bermadzhab pragmatis untuk cepat-cepat menyelesaikan risertnya dan bahkan lebih parahnya mengcopy-paste riset orang lain, tanpa sama sekali memiliki idealisme untuk menghasilkan proses dan hasil riset yang berkualitas. Seyogyanya idealisme harus terlahir di kedua belah pihak, yaitu individu mahasiswa beserta dosen pembimbingnya yang dilakukan dengan mempertimbangkan asas efisiensi dan efektifitas. Idealisme yang dimaksud adalah komitmen untuk melakukan dan menyelesaikan riset dengan baik dan berkualitas sesuai dengan pedoman metodologi riset/penelitian yang ada. Efektifitas dan efisiensi adalah riset tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tenggat waktu yang ada. Jangan sampai riset yang dilakukan terlalu membebani mahasiswa sehingga harus molor lama dan mengeluarkan biaya yang terlalu besar.

Selain masalah kualitas lulusan mahasiswa, yang menjadi pekerjaan rumah besar adalah bagaimana lulusan—termasuk saya pribadi—untuk berkarya di bidang yang sesuai dengan kompetensi ijazah. Banyak lulusan sarjana yang bekerja dan berkarya di luar bidang kompetensinya, alasannya sederhana, karena terlalu banyaknya lulusan mahasiswa yang sebidang dengannya. Sehingga pemintaan kouta jumah tenaga kerja yang sedikit, tak dapat memenuhi keseluruhan jumlah lulusan dalam suatu bidang yang overload (terlalu banyak). Akhirnya terpaksa, banyak lulusan perguruan tinggi yang banting setir bekerja di luar bidang kompetensinya. Ini salah satu akibat kurang cermatnya pemetaan baik dari pemerintah atau perguruan tinggi, yaitu antara permintaan dunia kerja (baca: kuota tenaga kerja yang dibutuhkan), dengan jumlah mahasiswa baru yang harus diterima/dibatasi. Sebut contoh saja, kuota penerimaan mahasiswa jurusan PAI (Pendidikan Agama Islam) selalu sangat banyak tiap tahunnya dibanding jurusan lainnya di Fakultas FITK pada hampir seluruh PTAI di Indonesia. Padahal kebutuhan guru PAI di suatu daerah lebih sedikit dari pada jumlah mahasiswa yang diluluskan. Tentunya, hal tersebut juga harus disertai dengan komitmen para lulusan untuk mencintai bidang pekerjaan yang sudah digelutinya selama masa kuliah, dengan tanpa mengesampingkan bakat-bakat lain yang dimilikinya. Belum lagi masalah peran kita, para sarjana lulusan perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan yang tinggi bukanlah hanya sekedar sarana untuk memperoleh kemapanan hidup secara pribadi, akan tetapi juga memiliki dimensi pengabdian sosial di masyarakat. Sebagaimana salah satu tri dharma perguruan tinggi yaitu “fungsi pengabdian masyarakat”. Peran kita masihlah sangat kecil, dan tak bernilai apa-apa, atau bahkan kompetensi kita hanya berimplikasi pada kemapanan diri pribadi kita semata. Oleh karana itu, saya mengajak diri saya dan siapapun yang merasa sebagai sarjana, janganlah terlalu bangga dengan gelar itu, karena banyak sekali  kenyataan yang paradoksal dan memerlukan jawaban segera.

Wallahu A’lam

0

Purna Siswa MAN Tuban 2016; Runtuhnya Stigma Sekolah Alternatif

Posted by Unknown on 08.03 in
Tepat pada hari selasa, 3 Mei 2016, jalan raya HOS. Cokroaminoto Tuban, di depan kompleks bangunan nomor 4, dipenuhi deretan mobil berbagai merk rapi berderet dari barat ke timur. Ditambah lagi puluhan motor terparkir sesak di halaman TK (Taman Kanak-Kanak) “Ath-Thur”  Tuban. Pada hari itu di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Tuban sedang diselenggaraan kegiatan purna studi siswa kelas XII tahun pelajaran 2015-2016. Tepat di tengah lapangan upacara yang sekaligus menjadi lapangan futsal dan basket itu, kegiatan tersebut dilaksanakan. Barisan kursi tertata rapi dengan tiga panggung di depannya, dimana panggung utamanya berada di tengah, menambah kemegahan acara itu. Penyelenggaraan purna siswa yang dilakukan di dalam lingkungan madrasah ini—walau hawa panas terasa di dalamnya—tetap menjadikan kenangan tersendiri, karena secara langsung baik siswa, guru, staf madrasah dan segenap undangan yang hadir dapat melihat dan menyaksikan lingkungan madrasah yang menjadi kawah candradimuka seluruh civitas akademika dalam berjibaku mengembangkan potensi kognitif, afektif dan psikomotornya. Kemudian untuk mengetahui segudang prestasi akademik maupun non akademik para siswa dan produk nyata predikat sukses para alumninya myang tersebar di segala sektor.
Purna siswa tahun 2016 ini menjadi menarik, karena kepala MAN Tuban—Bapak Saifuddin Yulianto, S.Ag., M.Pd.I.—membuat sebuah gebrakan kreatif dengan menyelipkan tiga macam kegiatan unik. Pertama, beliau mengundang puluhan alumni MAN Tuban lintas angkatan, kedua adanya peluncuran buku pertama karya para siswa MAN Tuban dan ketiga peresmian “MAN Tuban in the Corner” oleh Ka.Kanwil Kementerian Agama Jawa Timur. Hal tersebut membuat purna siswa yang diselenggarakan di dalam lingkunagan madrasah ini terasa lebih istimewa dari sebelumnya.

Puluhan alumni sengaja didatangkan dari berbagai daerah tempat kerjanya untuk menghadiri acara purna siswa ini. Kepala madrasah secara langsung mengontak satu persatu alumninya untuk datang pada hari itu. Dengan rasa senang dan bangga, para alumninya pun rela mengorbankan waktu kerjanya pada hari itu untuk menghadiri acara yang sakral tersebut. Yang menjadi istimewa lagi adalah  kehadiran para alumni MAN Tuban angkatan pertama (81, 82 dan 83). Beberapa dapat saya sebutkan adalah Bapak Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., Bapak Drs. Mahfud Shodar, M.Pd.I., Bapak Drs. Pardi, M.Pd. serta novelis muda Sifah Nur. Profesor Qomar adalah guru besar pemikiran modern dalam Islam dan mantan ketua di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Tulungangung yang prolific, karena telah menghasilkan belasan buku ilmiah akademik berkualitas yang berhasil diterbitkan oleh penerbit berskala nasional. Kebanyakan buku beliau bertemakan pemikiran Islam alternatif dan pendidikan Islam yang banyak dijadikan rujukan primer para mahasiswa di lingkungan IAIN/UIN. Beliau terkenal dengan konsep “kesadaran pendidikan” yang menurutnya menjadi solusi atas sengkarutnya kualitas pendidikan di Indonesia dewasa ini. Selanjutnya adalah Drs. Mahfud Shodar, M.Pd.I., dan Drs. Pardi, M.Pd., yang masing-masing adalah Kepala Kantor Wilayah dan Kasi Kesiswaan Pendidikan Madrasah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Kepiawaian keduanya dalam memimpin di lingkungan kementerian agama menjadikan mereka berdua berhasil menduduki jabatan prestigious yang membawahi seluruh kantor kementerian agama di wilayah Jawa Timur. Para tokoh tadi merupakan teladan kepada alumni yang lain dan siswa-siswi MAN Tuban, akan arti pentingnya capaian intelektual serta profesionalisme dalam memimpin telah berhasil mengantarkan ketiganya ke gerbang kesuksesan. Kita beranjak ke alumni berikutnya, Sifah Nur. Dia adalah alumnus yang relatif masih belia, lulusan tahun 2013 dan mahasiswa aktif semester empat di Universitas Brawijaya Malang. Yang menjadi istimewa adalah keberhasilannya menerbitkan beberapa karya novelnya di penerbit nasional. Dia pantas disebut sebagai novelis muda berbakat yang boleh jadi di masanya nanti, ia akan sejajar dengan novelis sekelas Andrea Hirata, Habiburrahman El-Shirazi dan bahkan Pramudia Ananta Toer. Keempat alumnus beda generasi tersebut memberikan testimoni dan orasinya satu persatu, sehingga membakar semangat semua undangan yang hadir pada waktu itu.
Dalam momen purna siswa 2016 ini juga diadakan peresmian “MAN Tuban in The Corner” oleh Ka.Kanwil Kemenag. Jatim yang beliau juga adalah alumnus MAN Tuban angkatan 81. MAN Tuban in The Corner adalah pojok baca di lobi MAN Tuban yang merupakan area baca berisi puluhan buku karya guru, alumni dan para siswa MAN Tuban. Buku-buku tersebut terdiri dari buku-buku ilmiah akademik, hasil penelitian, bunga rampai kumpulan artkel, novel dan buku-buku sastra lainnya. Beraneka ragamnya bentuk tulisan pada buku-buku tersebut menandakan dari MAN Tuban telah lahir para penulis dengan skill menulisnya masing-masing. MAN Tuban telah meneguhkan diri dan serius mengembangkan bakat kepenulisan para siswanya. Ini terbukti dengan diadakannya pelatihan kepenulisan oleh MAN Tuban yang bekerja sama dengan lembaga Nizamia Learning Center (NLC). Para peserta dibekali keahlian menulis dan secara langsung dipraktekkan dengan produk pelatihan berupa tulisan yang benar-benar diterbitkan dalam bentuk buku.
Hasil dari pelatihan menulis tersebut dibuat dalam bentuk buku kumpulan tulisan, cerpen dan puisi dari siswa dan siswi MAN Tuban. Tulisan siswa-siswi MAN Tuban tersebut dituangkan dalam sebuah buku berjudul “Untaian Cita-Cita Hati; Kumpulan Karya Siswa-Siswi MAN Tuban” yang diterbitkan ratusan eksemplar. Buku tersebut diberi pengantar oleh kepala MAN Tuban, Bapak Saifuddin Yulianto, S.Ag., M.Pd.I., dan Bapak Dr. M. Musfiqon, M.Pd. (alumnus MAN Tuban 96 dan tutor latihan kepenulisan tersebut). Doktor Musfiqon adalah salah satu alumnus yang berprestasi pula, ia berprofesi sebagai dosen yang menduduki jabatan Dekan Fakultas Tarbiyah di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Peluncuran buku ini menjadi pemicu semangat dan antusiasme para alumnus, guru dan para siswa MAN Tuban untuk menghasilkan karya-karya serupa yang lebih banyak dan lebih berkualitas lagi.
Alumni angkatan awal yang kerkarir sebagai akademisi dan birokrat tersebut hanya sebagian kecil dari seluruh alumni MAN Tuban yang telah sukses di bidangnya, dimana karena keterbatasan kemampuan tidak bisa menampung seluruh alumni untuk hadir. Pada sektor yang lainnya masih banyak alumni yang sukses dalam karirnya, antara lain sebagai pengusaha, wiraswasta, pegawai negeri sipil, pendakwah, TNI, POLRI, petani, pedagang, seniman dan lain sebagainya. Heterogenitas profesi para alumni MAN Tuban ini menunjukkan beragamnya keahlian lulusan MAN Tuban yang sebagian besar berhasil diwadahi dan dikembangkan selama di madrasah dan dilanjutkan setelah para siswa itu lulus dari madrasah. Pandangan miring sebagian orang yang menganggap kualitas sebuah lembaga pendidikan hanya dari bagus atau tidaknya input calon siswanya pelu diubah dengan juga melihat kualitas produk para alumninya. Apabila suatu lembaga pendidikan dengan input siswa berkualitas SDM rendah tetapi berhasil menghasilkan produk alumni yang berhasil secara monumental dalam karirnya, maka itu menandakan sekolah/madrasah tersebut telah berhasil mendidik para siswanya dan dapat dikatakan itu adalah lembaga pendidikan yang berkualitas.
MAN Tuban dengan empat program unggulannya, yaitu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), Bahasa dan Program Keagamaan kiranya dapat disebut sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas. Ciri khas MAN Tuban sebagai “MAN Keterampilan” (otomotif, las dan tata busana) dan predikat Sekolah/Madrasah Adiwyata terbaik se-Kabupaten Tuban yang ditambah lagi dengan keberhasilan capaian alumninya di atas, kiranya dapat meruntuhkan stigma bahwa madrasah hanyalah sekolah alternatif, tetapi sebaliknya madrasah dapat dijadikan referensi utama pendidikan menengah atas bagi anak dengan program pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan internalisasi ajaran agama Islam dalam kegiatan pendidikannya sehari-hari.
Wallahu A’lam



0

Keutamaan Ulama’ dan Ilmuwan

Posted by Unknown on 01.22 in
Hari ini, mungkin manandakan ketidakkonsistenan saya dalam menuliskan hikmah-hikmah harian yang rencananya akan saya tulis setiap hari. Akan tetapi satu tahun yang lalu rencana itu tehenti, dan sekarang gejolak menulis itu muncul kembali. Saya tersentak kembali menulis, setelah membaca satu paragraf tulisan dari Prof. Nadirsyah Hosen, seorang intelektual muda NU yang belakangan ini saya amati biografi intelektualnya. Suatu hari saya berniat membeli sebuah buku di Toga Mas Malang, akan tetapi saya tidak mendapatkan buku yang saya cari itu, malah saya mendapatkan satu buku yang sebelumnya pernah saya amati di media sosial, judulnya adalah “Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal hingga Memilih Madzhab yang Cocok”, sebuah perjalanan hidup Gus Nadir yang di abadikan dalam bentuk tanya jawab agama, dengan mengambil konteks kehidupan muslim di Australia. 

Saya terkesan dengan tulisannya yang menceritakan pada suatu ketika ia bertanya kepada guru spiritualnya, Haji Yunus. Gus Nadir yang memakai nama samaran “Ujang”, menanyakan, “Mengapa sekian banyak hadits yang menjelaskan krutamaan orang yang berilmu ketimbang orang yang ahli ibadah? Maksudnya itu bagaimana Wak Haji?”. Haji Yunus pun menjawab, “Sebagai ahli ibadah, ia dapat pahala saat lagi beribadah. Tetapi kalau ulama’ dan ilmuan, saat mereka sedang tidur saja, pahala mengalir terus!”.  Si Ujang keheranan dan bertanya lagi kepada Haji Yunus, mengapa enak sekali para ulama’ dan ilmuan bisa seperti itu. Dengan bijaksana Haji Yunus menerangkan argumennya, “Bayangkan saja, saat mereka lagi asyik tidur, nun jauh di sana para profesor sedang membaca artikel karya ulama’ atau ilmuan dengan serius, atau para pelajar sedang asyik menelaah isi buku yang mereka tulis. Padahal, pengarangnya lagi molor”.[1] Seketika Ujang terkagum-kagum dengan jawaban Haji Yunus itu. 

Tanpa disengaja, saya menemukan argumen teologis yang selama ini saya jalani dan tekuni. Begitupun pula mungkin bagi kawan-kawan yang memutuskan mengambil jalan berkecimpung di dunia akademik dalam berbagai disiplin ilmu, atau mereka yang berada di luar jalur akademisi dengan memperdalam keilmuan agama di berbagai pesantren selama hidupnya. Satu hal yang ingin saya tekankan, mantaplah dengan pilihan yang kita jalani ini, karena Rasul pun mengakui banyak keutamaan yang akan di dapatkan, sebagaimana rasionalisasi Haji Yunus di atas.   
Wallahu ‘A’lam..


[1] Nadirsyah Hosen, Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal hingga Memilih Madzhab yang Cocok,  Cet. 1, (Jakarta: Mizania, 2015), hlm. xxxi-xxxii.

0

Sok Tahu tentang Cinta

Posted by Unknown on 16.36 in


Cinta itu air, bukan api
Cinta itu rasa, bukan rasio
Cinta itu tulus, bukan pamrih
Cinta itu orisinal, bukan plagiat
Cinta itu suci, bukan barang najis
Cinta itu kerelaan, bukan paksaan
Cinta itu memberi, bukan menerima
Cinta itu kebenaran, bukan kesalahan
Cinta itu kejujuran, bukan kebohongan
Cinta itu kemenangan, bukan kekalahan
Cinta itu perjuangan, bukan kepasrahan
Cinta itu kertas putih, bukan tinta hitam
Cinta itu jinak, bukan liar dan tak terkendali
Cinta itu anugerah Tuhan, bukan bisikan syaitan
Cinta itu bergerak maju, bukan berjalan mundur
Cinta itu sesuatu yang indah, bukan suatu entitas yang buruk
Cinta itu tumbuh secara alami, bukan sesuatu yang dibuat-buat
Cinta itu datang dari hati yang jernih, bukan rekayasa hawa nafsu
Cinta itu membuat orang bahagia, bukan menjadikan orang merana
Kalau kita tahu, bahwa cinta itu seperti yang demikian, mengapa harus ada orang yang mati karena putus cinta, atau karena bingung dan linglung tidak punya pasangan. Dalam banyak kasus, mereka bunuh diri dengan minum racun, menyayat urat nadinya, melompat dari menara, dan lain sebagainya. Ada pula orang yang meraih cintanya dengan paksaan, menggunakan segala tipu muslihat, menggunakan kekuasaan, memakai silaunya harta kekayaan dan tingginya status sosial untuk mendapatkannya. Mereka memahami cinta itu dalam makna barisan kata sisi sebelah kanan, bukan sisi sebelah kiri, pada bait di atas. Jika kita masih memahami cinta semacam itu, maka sebenarnya kita masih belum mengerti akan apa makna cinta itu. Cinta memang harus diperjuangkan, tapi kita tak usah berharap kompensasi atau balas jasa dari cinta itu. Cinta itu bermacam-macam, dan dia berbanding lurus antara satu sama lain, bukan berbanding terbalik. Cinta yang benar, akan berbanding lurus, entah itu cinta kepada alam, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada pasangan, cinta kepada kedua orang tua, cinta kepada Rasulullah Saw. dan tingkatan cinta yang tertinggi, adalah cinta dengan Sang Maha Cinta, Allah Swt., Sang pembuat cinta itu sendiri. Jikalau semua cinta itu tumbuh dalam diri kita dan ada benturan serta perbandingan terbalik diantara mereka, maka kita belumlah sampai pada tingkatan “cinta” yang sesungguhnya. Maka, marilah kita gapai maqam cinta itu sampai pada makna yang positif , seperti barisan kata sebelah kiri, pada bait di atas. Karena cinta, adalah cinta itu sendiri.

Rf





0

BELAJAR DARI AGUS MUSTOFA

Posted by Unknown on 03.26 in

         Pada hari Sabtu, 1 Nopember 2014, saya ditakdirkan Allah untuk menghadi acara yang sangat bermanfaat bagi diri saya pribadi, yaitu peluncuran dan bedah buku “Segalanya Satu”, serial diskusi tasawuf yang ke-40 karangan Agus Mustofa. Bertempat di Perpustakaan Kota Malang pada pukul 10.00 sampai dengan pukul 13.00 WIB, acara tersebut berlangsung dengan santai, walau harus banyak peserta diskusi yang berdiri karena sempitnya ruangan dan kurangnya kursi duduk.

Sosok Agus Mustofa
            Baru pertama kali ini saya bertatap muka secara langsung dengan Agus Mustofa, penulis produktif yang telah menulis lebih dari 50 buku selama belasan tahun belakangan. Sebelumnya saya tahu sosok Agus Mustofa ini dari teman, koran dan buku, terutama karena kontroversialnya dirinya saat menulis buku “Ternyata Akhirat tidak Kekal”. Agus Mustofa lahir di Malang dari keluarga religius, tepatnya ia adalah anak dari seorang mursyid tarekat yang bernama Djapri Karim yang hidup sezaman dengan Bung Karno. Jadi, sejak kecil Agus Mustofa sudah kental dengan diskusi-diskusi tasawuf dengan ayahnya. Akan tetapi yang berbeda dari kebanyakan anak kiai adalah ia tidak melanjutkan pendidikannya di pesantren atau madrasah, tapi di sekolah umum, yaitu SMP dan SMA di Malang kemudian melanjutkan ke S1 jurusan Teknik Nuklir di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Selesai kuliah S1 ia tidak melanjutkan kuliah lagi atau bekerja di bidang keahliannya, karena menurutnya pemerintah kurang mengakomodir industri nuklir di tanah air, sehingga karirnya ke depan di sana tidak akan menjanjikan. Karena itulah ia memutuskan untuk berkarir sebagai wartawan di Jawa Pos, asuhan Dahlan Iskan. Agus Mustofa banyak belajar menjadi jurnalis yang baik darinya. Setelah bertahun-tahun di Jawa Pos, bahkan sampai pada jabatan kepala bagian, ia merasa bukan di sini panggilan jiwanya, karena banyak kegelisahannya mengenai keterpurukan umat Islam yang belum terjawab dan ingin dicari jalan keluarnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dari Jawa Pos sebagai jurnalis. Akan tetapi, ia belajar banyak dalam dunia tulis-menulis dan manajemen penerbitan selama menjadi wartawan. Ia sampai pada keputusan menggabungkan semua keahlian yang dimilikinya sejak kecil, kemampuan tasawuf, ilmu sains yang diperoleh di bangku kuliah dan kemampuan tulis-menulisnya dari Jawa Pos. Ia memutuskan untuk menjadi penulis diskusi agama dengan prespektif ilmu sains, untuk memberikan tawaran solusi dan merubah mindset tradisional umat Islam pada umumnya dalam memahami agama. Kemudian ia mendirikan perusahaan penerbitan “PADMA Press” dimana ia menerbitkan sendiri semua tulisannya yang semuanya berjumlah sekitar 50-an buku, di mana 1 s/d 40 adalah serial diskusi tasawuf yang ia susun di mana kebanyakan  bertema tentang tauhid.
Belajar dari Agus Mustofa
            Dari perjalanan hidup Agus Mustofa yang penuh lika-liku ini kiranya banyak hal yang bisa diambil hikmahnya. Pertama, melalui salah satu karangannya yang ke-40 ini yang berjudul “Segalanya Satu” dapat kita ketahui bahwa ia telah dapat melakukan “integrasi ilmu”. Ia mengintegrasikan pemahaman dan penghayatan tauhid Islam melalui prespektif ilmu sains yang diantaranya adalah ilmu biologi, fisika, kimia dan astronomi. Dimana dari ayat-ayat Al-Qur’an tentang Keesa’an Allah (Tauhid), ia dapat melogikakannya secara ilmiah melalui analisis ilmu sains. Kedua, yang sulit ditiru adalah keuletannya dalam menulis. Dia mengatakan, setiap tiga bulan  sekali paling tidak ada satu buku yang ia selesaikan. Berarti dalam satu Tahun ia dapat menghasilkan empat buah buku. Ia mengatakan, untuk bisa menulis kita harus selalu merasa gelisah terhadap fenomena yang terjadi. Berbekal kegelisahan itu, inspirasi tentang tema permasalahan akan muncul dan menjadi banyak sekali tulisan. Ketiga, adalah keberaniannya mengungkapkan interpretasi atas ayat-ayat Al-Qur’an yang ia bahas. Berbekal ilmu sains, ia memberikan pemahaman makna tauhid yang hanya dapat diyakini sebagai doktrin, menjadi rasional dan logis untuk dijadikan sebuah keyakinan. Ia selalu menjelaskan, bahwa orang yang berilmu pengetahuan luas akan lebih dapat menghayati keimananya secara lebih mendalam, karena semakin mutakhir ilmu pengetahuan maka semakin dekat pula pembuktian bahwa Allah itu Tunggal. Walaupun begitu, ada pula kekurangan dalam buku-buku Agus Mustofa. Antara lain adalah ia tidak mencantumkan footnote atau innote terhadap sajian data yang ia paparkan, baik berupa redaksi tulisan maupun gambar skema. Kemudian di bagian belakang juga tidak terdapat daftar rujukan atau daftar pustaka yang bisa dilacak oleh pembaca. Hal ini menjadikan buku-buku Agus Mustofa belum sempurna untuk dijadikan sebagai literatur akademik. Padahal, uraian analisis Agus Mustofa sangat tajam dan dalam. Seandainya penyajian data itu lengkap dengan daftar rujukan, maka akan menjadikan buku Agus Mustofa lebih sempurna. Di balik semua itu, Agus Mustofa adalah orang Jawa Timur yang menjadi aset bangsa Indonesia, khususnya umat Islam di negeri ini. Dia adalah seorang yang paham ilmu agama dan paham akan perkembangan sains modern, kemudian memadukan keduanya dalam memantapkan tauhid umat Islam. Ini juga bisa menjadi model pengembangan integrasi ilmu yang hari ini sedang hangat dikembangkan di Universitas Islam Negeri (UIN) se-Indonesia.
          

0

Rihlah Batu-Malang Cosma PBA Angkatan ‘07

Posted by Unknown on 08.17 in

            Hari sabtu, 16 Januari 2010 pada  pagi hari sekitar pukul 07.00, ihwan dan ahwat PBA sudah pada berkumpul di Blok M, tempat kebanggaannya anak IAIN. Sambil menunngu yang lainnya, teman-teman duduk-duduk sambil menghabiskan camilan yang ada. Mereka semua bersemangat sekali ber-rihlah untuk yang ketiga kalinya. Kali ini, rihlah dilaksanakan di Kota Batu Malang dengan beberapa tempat wisata tujuan, antara lain; Air Terjun Coban Rondo, Pemandian Songgoriti dan Batu Night Spektacular (BNS).
            Keputusan tempat tujuan rihlah ini tercetus melalui proses yang panjang. Pada awalnya bermula dari jajak pendapat yang dilakukan di kelas, sebelum UAS dimulai. Akan tetapi keputusan masih nihil, karena teman-teman sangat sulit dikondisikan. Akhirnya, Syeh Abdillah (ketua angkatan ‘07) beinisiatif mengadakan rapat khusus beberapa orang saja untuk membahas rencana ini. Akhirnya, dengan jumlah hanya 13 orang diputuskan bahwa rihlah kali ini positif dilaksanakan di Batu-Malang dengan tempat tujuan sebagaimana di atas, dengan Ahmad Syahirul Alim sebagai ketuanya.
            Sabtu pagi sekitar pukul 07.30, semua peserta rihlah telah lengkap, tinggal menunggu Rizal yang masih sibuk beli baterai kamera. Setelah dia tiba, tanpa pikir panjang Pak Sopir langsung menekan pedal gasnya. Akhirnya perjalanan menuju ke kota dingin dimulai. Sorak gembira teman-teman PBA mengiringi jalannya bus kecil yang penuh sesak dengan penumpang ini. Sekilas tentang bus ini ya, panitia mendapatkan bus mini ini atas kerja keras Mas Ajay alias Lutfi yang dengan gigihnya mencari persewaan bus kesana kemari. Dia mendapatkannya dengan biaya sewa lumayan murah, Rp 900.000,-. Jadi, peserta tidak perlu menambah uang iuran lagi deh...Bagi yang bawa banyak bekal diharap keikhlasannya yaa..karena tiap ada yang mengeluarkana snack, apapun itu, pasti akan habis dalam waktu yang singkat. Maklum saja, di dalam bus itu ada 30 mulut yang selalu siap melahap apapun yang ada, “Mumpung ada yang bisa dimakan....”, begitu kata teman-teman. Canda tawa mengiringi laju bus mini, hingga pada akhirnya kami sampai pada penghujung perjalanan.
            Sekitar pukul 09.00 pagi, kami sudah tiba di tempat wisata air terjun “ Coban Rondo”. Sempat ada yang trauma, Indah Mar’ati namanya. Dia teringat akan kecelakaan yang pernah dialaminya, karena jalan yang dilewati mirip sekali dengan saat kecelakaan itu, jalannya berbelok-belok dan di sekelilingnya banyak tebing yang curam. Tapi itu tidak jadi masalah, kita semua tetap enjoy saja. Setelah bus diparkir, kami berjalan menuju gazebo tempat istirahat, sembari melemaskan otot-otot yang kaku selama di bus. Huh...dingin banget!!! Dua kali dinginnya Pacet-Mojokerto. Di gazebo itu, kami berkumpul, makan siang bareng dan tak lupa foto-foto bareng. Sebelumnya ada pengarahan dari Pak Ketupat (ketua panitia) yang memberi deadline waktu sampai dzuhur. Disana, teman-teman menghabiskan waktu untuk berfoto bersama dan merasakan dinginnya air terjun Coban Rondo. Bunyi derasnya air terjun terdengar keras sekali menyentuh bebatuan. Kami terus berjalan mendekati air terjun yang tingginya hampir 10 meter itu, tapi sayang, pengunjung dilarang berada di pusat air terjun, karena memang sangat berbahaya di sana. Setelah puas di sana, kami berkeliling dan turun ke sungai yang bersumber dari aliran air terjun tadi. Serasa masuk ke dalam air es...dinginnya sampai menusuk ke tulang. Tidak disangka, waktu dzuhur tiba, kami segera bergegas menuju ke musholla untuk menunaikan sholat dzuhur. Dalam musholla yang kecil itu, ternyata  penuh sesak dengan pengunjung yang hendak melaksanakan sholat dzuhur, jadi kita ngantri deh.... Setelah semua selesai melaksanakan sholat, kami langsung berjalan bersama keluar dari area air terjun. Di sana banyak sekali toko makanan dan toko cindera mata. Ada beberapa teman yang tergabung dalam Thariqoh Qohwaniyyah lagi asyik ber-ngopi ria di salah satu warung. Setelah puas jalan-jalan dan marung, kami langsung menuju bus untuk melanjutkan perjalanan. Setelah semua kembali ke bus, perjalanan dilanjutkan kembali menuju tempat lain yang tidak jauh dari Coban Rondo, yaitu Songgoriti.
            Kurang lebih setengah jam perjalanan membawa kami, para mahasiswa cosma PBA tiba di wisata pemandian Songgoriti. Guyuran hujan menambah dinginnya udara di sana. Tujuan utama kami ke sana adalah tempat pemandiannya. Untuk masuk ke area pemandian, tiap orang diharuskan membayar Rp 9.000,-. Setelah bernegosiasi dengan petugasnya, akhirnya biaya dapat diperingan menjadi Rp 6.000,- perorang, tentunya harus dalam rombongan yang minimal jumlahnnya 30 orang. Akan tetapi, lagi-lagi teman-teman sulit dikondisikan, mereka pergi sendiri-sendiri berpisah dari rombongan. Akhirnya, kami tidak jadi mandi deh....yang tetap masuk ke dalam adalah Alim, Abdillah dan Siddiqi Amin, sedangkan yang lainnya ada yang makan-makan, belanja suvenir, beli buah-buahan, atau sekedar jalan-jalan aja. Selain pemandian tadi, di sana juga terdapat pasar yang menjual buah-buahan, cindera mata, rempah-rempah, pakaian, camilan dan sebagainya, lengkap banget. Oleh-oleh yang menjadi andalan teman-teman adalah buah apel khas Malang. Kurang lebih dua jam sudah kami jalan-jalan di sana, setelah itu kami segera mencari kamar mandi untuk buang air (maklum hujan-hujan gini.....) dan musholla untuk menunaikan sholat ashar. Ada cerita menarik, dua orang teman kami, Fahruddin dan Syaifullah. Ketika mereka melihat-lihat toko bunga, sungguh tak disangka, mereka bertemu anjing yang duduk dan menggongong persis di tengah jalan. Akhirnya mereka berdua lari ketakutan dan berbalik arah kembali, takut dikejar. Setelah mandi dan sholat, kami segera berkumpul kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya.
            BNS (Batu Night Spektacular), adalah tempat yang menjadi tujuan kami berikutnya. Sekitar pukul 17.00 sore kami tiba di sana. Hari itu bertepatan dengan akhir pekan, jadi tempat itu penuh dengan pengunjung. Kami turun dari bus dan berniat masuk serta menikmati berbagai wahana di dalamnya, tapi entar dulu, untuk masuknya kita harus membayar Rp 10.000,- perorang untuk mendapatkan tiket masuk, itu belum termasuk biaya permainan berbagai wahana di dalamnya. Sebelumnya teman-teman berpikir, masuk kesana apa tidak yaaa???...tapi akhirnya semua sepakat masuk ke dalam kecuali tiga orang, yaitu Afan, Fahruddin dan tentunya Syaifullah. Kata mereka sih, malas masuk, pengen di dalam bus aja (males ngeluarin duit kali...). Huh, seru banget di dalam, ada bermacam-macam wahana permainan yang bebas untuk dipilih, tentunya masing-masing punya tarif yang bebeda. Antara lain; petualangan rumah hantu, jet coster pelan, balapan mobil, permainan sulap, kafe, komedi putar, toko pakaian dan masih banyak lagi yang lainnya. Semakin malam pengunjungnya semakin banyak dan suasana ramai sekali ( maklum, malam minggu), padahal BNS saat itu basah kuyup diguyur hujan. Tak terasa sholat maghrib tiba, kami segera mencari musholla tempat sholat. Setelah lama mencari, akhirnya ketemu juga, mushollanya berada di pojok selatan melewati tempat belanja dan restoran. Huh, semakin malam cuaca semakin dingin. Setelah sholat maghrib kami langsung melanjutkan petualangan dengan mengelilingi semua wahana yang ada, walaupun hanya melihat-lihat saja. Ada cerita menarik, salah seorang teman yang bernama Warda, jatuh pingsan. Hal itu membuat semua yang ada saat itu menjadi panik. Tetapi, setelah mendengar ceritanya dari teman-teman yang bersamanya, sangat menggelikan. Si Warda pingsan karena kaget ketika melihat hantu bohongan di rumah hantu (kalau penakut, gak usah main......). Hehe......lucu banget. Akhirnya, waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 malam, waktu main-main telah habis. Kami harus kembali ke dalam bus. Waduh, gawat, Pak Sopir marah-marah, karena kami terlambat masuk ke dalam bus. Masalah itu ditambah lagi dengan adanya salah satu teman kami yang tersesat, tidak tahu jalan kembali. Akhirnya, Syeh Abdillah turun dari bus dan mencarinya. Setelah sekian lama mencari, dia ketemu juga. Si Alfi namanya, biasa...., anak itu emang suka buat sensasi. Setelah semua lengkap, kami melanjutkan perjalanan kembali pulang ke Kota tim Persebaya, Surabaya tercinta. Dalam perjalanan, kami tertidur pulas, kecucali Si Rouf, yang nggak kebagian kursi......
            Demikian tadi perjalanan rihlahnya cosma PBA di Kota Batu Malang yang penuh kenangan dan cerita lucu. Wallahu A’lam bis-Showab.

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.