0
Dilema Muslim Moderat dalam Pilgub DKI
Posted by Unknown
on
06.36
in
Artikel
Pilgub DKI
putaran kedua akan dihelat besok, tanggal 19 April 2017 ini, tinggal esok hari.
Lantas bagaimana kaum muslim—khususnya muslim moderat—dalam menyikapi hal
tersebut, mengingat ada dua pasangan calon yang sama-sama kuat dan dilematis. Calon
petahana yang memiliki basis massa dan kebetulan seorang non muslim, melawan
calon penantang yang beragama Islam. Dimana dalam konteks ini, isu agama
menjadi barang dagangan yang boleh jadi sangat laris dalam meraih dukungan
massa.
Pertama, Basuki
Cahaya Purnama (Ahok). Sebagai petahana, ia tahu persis segudang permasalahan
yang ada di DKI Jakarta. Dalam berbagai debat Cagub, ia tampil memukau dengan
paparan jelas dan sangat teknis mengenai sumber permasalahan dan tawaran solusi
yang sedang ataupun yang akan dilakukan. Akan tetapi yang menjadi dilematis, adalah
posisi Ahok yang juga seorang Kristiani berkebangsaan Tionghoa. “Etnis Tionghoa”
mungkin faktor yang tidak terlalu sensitif bagi banyak orang, karena pasca
reformasi dan adanya kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid, kaum Tionghoa
mendapat tempat yang sejajar di mata hukum dengan warga pribumi. Warga
pribumipun tak ada masalah untuk hidup berdampingan dengan masyarakat Tionghoa.
Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Satu hal
yang menjadi permasalahan adalah bahwa ia adalah seorang Kristiani, yang bagi
seorang muslim—dimana dari segi jumlah ia mayoritas—merupakan hal yang masih
sangat tabu. Dari banyak literatur klasik yang mana itu masih diamini dan ditaqlidi
oleh sebagian besar ulama’, menganggap bahwa “memilih pemimpin kafir itu
hukumnya haram”. Sontak pencalonan Ahok sebagai Cagub (walau cawagubnya seorang
muslim) membuat sebagian muslim di DKI Jakarta menjadi geram. Hal tersebut
diperparah dengan blunder video pidato Ahok di Kepulauan Seribu tentang tafsir
surat Al-Maidah ayat 51. Buah dari tindakannya tersebut berujung pada demo
besar-besaran yang dihelat oleh kelompok umat Islam yang anti kepada pemimpin
non muslim. Aksi yang reaksioner ini mayoritas diikuti oleh kelompok-kelompok
muslim yang pro terhadap penegakan syari’at Islam sebagai hukum positif di
Indonesia. Ahok yang non muslim, kemudian komentarnya terkait Surat Al-Maidah
ayat 51 dan gaya keemimpinannya yang kasar, menjadi senjata ampuh bagi mereka
untuk menggulingkannya dari kursi pencalonan Cagub DKI. Mewakili umat Islam
Indonesia yang mayoritas berada pada tataran grass roots, maka akan
sangat mudah untuk terpancing mengikuti demo anti Ahok tersebut, dengan misi
mulia yaitu melengserkan calon pemimpin non muslim dan menjatuhkan pilihan
kepada calon gubernur yang beragama Islam. Gelombang aksi penolakan yang
dilakukan oleh beberapa gabungan ormas Islam tersebut, berujung pada aksi
besar-besaran yang dilakukan beberapa kali. Akan tetapi, usaha mereka sepertinya
sia-sia, karena Ahok masih tetap bebas melenggang maju terus ke kursi Cagub
DKI.
Calon kedua
adalah Anis Baswedan. Ia menjadi populer dengan “Gerakan Indonesia
Mengajar”-nya yang sukses menarik perhatian anak-anak muda berprestasi dan
memiliki semangat tinggi untuk menjadi role model guru terbaik di daerah-daerah
tertinggal. Setelah itu ia kembali tenar setelah mengikuti konvensi Partai
Demokrat yang akan menentukan calon presiden 2014-2019 dari parpol ini. Ia pun
mendapat basis dukungan dari anak-anak muda yang mengkonsolidasikan diri ke
dalam gerakan “turun tangan”. Menurut Anis, kita tidak boleh urun angan saja
terhadap Republik ini, tetapi juga harus turun tangan langsung dan bersama-sama
memperbaikinya. Masih menurut Anis, salah satu gerakan turun tangan ini adalah
terjun di dalam tataran praktis menjadi calon pemimpin. Namun, setelah gagal di
konvensi Partai Demokrat, ia mengalihkan basis pendukungnya—yang sebagian besar
anak-anak muda itu—untuk geser mendukung pasangan Djokowi-JK dan menjadi tim
pemenangannya. Satu hal yang menarik, kali ini ia benar-benar menjalankan dukungan
politik nya ini untuk mendapatkan posisi dalam Kabinet Jokowi. Hal itu terbayar
dengan dijadikannya ia sebagai bagian tim transisi yang menyusun komposisi kabinet
“Kerja” kala itu. Ia pun mendapatkan posisi menggiurkan, yaitu menteri
Pendidikan Dasar dan Menengah. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama, setelah
ia terkena ressufle Kabinet Kerja yang memaksanya hengkang dari jabatan
menteri. Karena tidak memiliki gerbong partai politik, ia pun mengakhiri
kebersamaannya dengan Jokowi dan kembali menjadi akademisi yang setia
mendampingi keluarga di rumah. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama setelah
masa pencalonan Pilgub DKI tiba, ia dipinang oleh Parpol yang dulu sangat
lantang ia kritik saat mendukung Jokowi, yaitu Partai Gerindra. Tanpa pikir
panjang, iapun menerima pinangan dari Prabowo Subianto untuk menjadi calon
gubernur bersama Sandiaga Uno. Pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi berhasil
lolos pada putaran kedua setelah berhasil mengalahkan pasangan Agus-Silvi yang
diusung oleh Partai Demokrat. Dukungan masyarakat DKI Jakarta—terutama umat
Islam—terus mengalir kepada paslon Anies-Sandi ini. Hal yang menarik adalah
banyaknya kelompok Islam pro-syari’ah atau kelompok Islamis memberikan
dukungannya kepada Anies-Sandi. Sebut saja FPI (Front Pembela Islam), FUI (Forum
Umat Islam) dan bahkan yang anti Demokrasi—HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)—yang ketiganya
memantapkan dukungan kepada Anies-Sandi untuk mengganjal menangnya Ahok (yang
non muslim) dalam perhelatan ini. Sungguh sangat dilematis, khususnya bagi
muslim kebanyakan yang moderat, karena dukungan kelompok-kelompok Islam garis
kanan ini mengindikasikan adanya kontrak politik berbau formalisasi syari’at
Islam. Tanpa perlu bukti fisik pun—FPI, FUI dan HTI—ketiganya adalah agen-agen
formalisasi syari’at Islam dalam Undang-Undang dalam segala aksi dan
forum-forum kegiatannya.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa, kaum muslim moderat adalah mereka yang ingin menjalankan
ajaran agama Islam dengan damai, santun, ikhlas tanpa paksaan. Mereka adalah
penjaga gawang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan kesadaran penuh
bahwa Negara Indonesia ini terbentuk oleh adanya kesepakatan bersama.
Kesepakatan untuk menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945, prinsip kebhinekaan,
dan menjaga keutuhan NKRI. Muslim moderat sadar, bahwa tidak perlu payung
formal syari’at Islam yang melembaga, untuk menjalankan ajaran agama Islam. Karena
Umat Islam sudah dengan leluasa dapat menjalankan ajaran agamanya tanpa
intervensi siapapun. Di sisi lain, Indonesia adalah negara yang multi etnis,
multi budaya, multi bahasa dan multi agama. Jika doktrin salah satu agama
dijadikan sebagai peraturan hukum positif yang di-Undangkan, maka yang akan
terjadi adalah konflik agama dan bahkan disintegrasi bangsa. Muslim moderat
adalah mereka yang berhasil mensintesiskan antara kecintaan kepada agama Islam
dan kecintaan terhadap tanah air Indonesia.
Dua paslon
dalam putaran terakhir di Pilgub DKI tahun 2017 ini menyisakan dilema berat
bagi kaum muslim yang berhaluan moderat. Apabila ada dua calon pemimpin yang
sama-sama baik dalam track recordnya, maka jalan lain kemudian kita lihat apa
agamanya. Jika menggunakan agama calon pemimpin sebagai indikator dalam memilih,
maka sudah barang tentu pilihan akan jatuh ke Anis-Sandi. Akan tetapi melihat
gelombang dukungan dari kelompok muslim kanan yang pro formalisasi syari’at
Islam, maka ini juga bertentangan dengan prinsip moderasi yang sudah dipegang.
Semoga umat
Islam Provinsi DKI Jakarta bisa arif dalam memilih. Jika Ahok yang terpilih,
semoga ia menjadi pemimpin yang santun, menghargai pluralitas agama dan memimpin
dengan demokratis. Namun, jika Anis yang menang, semoga ia tidak terjebak dalam
kontrak politik formalisasi syari’at Islam dalam bentuk Perda Syari’ah di DKI Jakarta.
Hal yang lebih terpenting lagi adalah semoga tidak ada konflik vertikal maupun
horizontal yang terjadi pada masyarakat DKI Jakarta. Pilihan gubernur ini adalah
pesta demokrasi yang menjadi perayaan warga negara Indonesia dan harus
terselengara sedara jujur, aman dan damai dengan menghormati pilihan
masing-masing.
Wallau A’lam