2

Islam Nusantara sebagai Kajian Ilmiah

Posted by Unknown on 00.10 in

Alhamdulillah, rasa syukur itulah yang saya rasakan kala saat itu—tepatnya tanggal 18 dan 19 Novemver 2015—karena saya dapat menghadiri seminar sekaligus launching sebuah lembaga kajian dan riset yang berdiri di Surabaya. Lembaga tersebut bernama Institute for Nusantara Studies (Innus), sebuah lembaga yang concern pada kajian keislaman dan kenusantaraan atau keIndonesiaan. Lembaga ini diinisiasi oleh beberapa dosen UIN Sunan Ampel Surabaya yang diketuai oleh Dr. Abdul Halim, MA. dan erat kaitannya dengan Ormas Nahdhatul Ulama’ (NU). Mungkin saja ini adalah salah satu respon dari perhelatan besar muktamar NU di Jombang beberapa waktu lalu yang mengusung tema besar “Islam Nusantara”, tidak cukup hanya kampanye secara struktural dalam tubuh NU, akan tetapi perlu diperdalam dan diperluas dengan membentuk lembaga yang independen di luar struktur NU sendiri. Dengan menekankan pada kajian keislaman dan kenusantaraan, diharapkan lembaga ini dapat membumikan Islam Nusantara ala NU melalui kajian-kajian ilmiah yang rasional dan empirik. Jika para kyai NU mendakwahkan Islam Nusantara secara kultural dengan ceramah-ceramah di masyarakat, maka Innus mendakwahkan Islam Nusantara dalam forum-forum akademik, karena tidak bisa dipungkiri, banyak pula kritikan dari beberapa kalangan akademisi tentang kekaburan dari konsep Islam Nusantara ini.
Seminar berlangsung dua hari, pertama pada hari rabu dan diakhiri dengan hari kamis (18-19 November 2015). Satu harinya terdiri dari dua esi seminar, jadi selama dua hari ada empat sesi seminar. Pada sesi pertama seminar dibuka oleh Rais Syuriah PBNU, K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) yang cukup banyak memberikan pencerahan dan wawasan mengenai pesantren, kyai dan kenusantaraan. Ketiga komponen tersebut menjadi ramuan yang secara canggih menghasilkan model Islam ramah sebagaimana telah di bawa oleh para penyebar Islam, yaitu para wali sanga. Dimana secara formal, model Islam ala wali sanga ini dijaga dan diabadikan oleh Nahdhatul Ulama’. Islam ramah yang mengakui keberagaman dan menghargai budaya lokal inilah yang hendak ditawarkan sebagai alternatif bagi Islam di dunia, sebagai pendekatan solutif atas konflik yang tak kunjung reda, terutama di negara-negara Timur Tengah. Hal yang saya rasa penting dari paparan Gus Mus ketika menjawab pertanyaan tentang bahaya Syiah di Indonesia, beliau menjawab bahwa adanya wacana permusuhan dan ancaman-ancaman dari Syiah di Indonesia terhadap kaum Sunni adalah wacana yang dibentuk oleh Saudi Arabia yang notabene pemerintahnya bermadzhab Wahhabi. Sebenarnya konflik aliran agama di sana telah ditunggangi dengan muatan politik, di mana Saudi Arabia berebut pengaruh politik dengan Negara Iran. Arab Saudi menganggap Iran adalah sainganya dalam konstalasi politik di Timur Tengah, oleh sebab itu isu Syiah digelindinkan, termasuk di Indonesia. Menurut Gus Mus, kita harus paham terhadap pergolakan politik di Timur Tengah dan jangan mudah ikut arus wacana yang berkembang di Masyarakat tanpa data yang valid dan jelas. Jawaban Gus Mus tersebut membuka lebar-lebar mata saya akan liciknya akal para politisi di sana yang demi ambisi politiknya memakai isu sensitif agama dalam melancarkan misi-misinya.
Saya tersentak setelah masuk kembali di ruangan seminar untuk mengikuti sesi kedua, yang mamberikan materi adalah Ulil Abshar Abdalla, menantu dari K.H. Mustofa Bisri sendiri yang juga adalah koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL). Hal yang terbesit di benak saya adalah, seliberal apapun Mas Ulil, dia adalah bagian dari anak muda Nahdhatul Ulama yang juga sebagai menantu dari tokoh sentral di NU, yaitu Gus Mus. Oleh karena itu, dalam forum-forum seperti ini analisis Mas Ulil tetap layak diperdengarkan dan dijadikan rekomendasi penting. Mas Ulil ditemani pemateri kedua, yaitu Prof. Dr. Warsono, M.Si., yang juga adalah rektor UNESA (Universitas Negeri Surabaya). Ulil lebih banyak menerangkan tentang dinamika keislaman dan radikalisme yang terjadi di negara-negara Arab. Kemudian dia juga banyak bercerita tentang masa kecilnya di pesantren, dan pernak-pernik kuliahnya di Amerika. Di akhir paparannya ia menyoroti sangat langkanya sarjana muslim yang mengkaji secara obyektif tentang agama-agama lain, terutama agama samawi (Kristen dan Yahudi). Karena di luar sana, banyak sarjana dari Kristen dan Yahudi yang begitu mendalami kajian keislaman dan menghasilkan karya-karya besar. Ini semua adalah dalam rangka dialog konstruktif untuk membangun kerukunan antar umat beragama. Kemudian dilanjutkan dengan Prof. Warsono yang lebih banyak menyoroti berbagai konflik horizontal yang terjadi—terutama di kalangan kelompok umat Islam—adalah kesalahan paradigma berpikir, yaitu paradigma dikotomik “benar” dan “salah”. Benar dan salah diasosiasikan dalam dua kutub yang saling bersebarangan, satu kutub benar dan satu kutub lagi adalah salah. Ketika benar, maka ia harus dijadikan satu-satunya panutan dan mutlak adanya, sedangkan ketika salah satu kelompok atau produk pemikiran lain dianggap salah, maka ia harus mutlak disalahkan, dikucilkan dan lebih parahnya lagi dimusnahkan. Menurutnya, dalam berpikir kita harus mengedepankan paradigma “alternatif” dan “positif”. Paradigma alternatif dimaksudkan dengan menjadikan “benar” tidak selalu menjadi lawan dari “salah”, tetapi benar ataupun salah itu sendiri sangat bervariasi, tidak ada benar dan salah, yang ada adalah benar dengan benar, dengan tingkatannya masing-masing.  Sedangkan paradigma positif adalah melihat setiap orang dari sisi baiknya, bukan sisi jeleknya. Karena hanya dengan cara pandang seperti itu, kita dapat mengambil hal baik dari orang lain dan selalu mencari dan berinovasi menghasilkan hal baru yang lebih baik, bahkan dalam masalah keagamaan sekalipun. Tugas sebagai akademisi adalah bukan hanya “mendekonstruksi”, tapi juga harus “merekonstruksi” bangunan teori yang sudah ada agar dapat mengembangkan teori, bukannya mendewakan teori yang sudah ada.
Pada hari kedua, kamis 19 November 2015, ada dua sesi materi juga. Sesi yang pertama diisi oleh Dr. K.H. As’ad Said Ali (PBNU) dan Prof. Dr. Yusuf Wiranto (Guru Besar Manajemen SDM Universitas Airlangga). Dr. K.H. As’ad Said Ali menyampaikan tentang kiprah beliau di PBNU yang antara lain adalah kunjungan dan pengiriman delegasi dari NU ke negara Afganistan, untuk mendakwahkan Islam Nusantara di sana. Hasilnya adalah di Afganistan berhasil dibentuk organisasi Nahdhatul Ulama’, bukan dalam bentuk PCI (Pengurus Cabang Istimewa) yang anggotanya dari orang Islam Indonesia sendiri, akan tetapi orang-orang Islam Afganistan yang mulai melirik Islam ramah ala NU, setelah sekian lama mereka menjadi fundamentalis Islam. NU mulai sadar, ia tidak hanya harus eksis di dalam Indonesia saja, akan tetapi juga harus menjawab tantangan kelompok-kelompok Islam radikal transnasional, dengan melebarkan sayap menyebarkan Islam damai dan toleran ke seluruh penjuru dunia. Selain hal tersebut, K.H. As’ad juga menekankan agar gerakan NU harus diperkuat dengan peningkatan profesionalisme SDM (Sumber Daya Manusia) warga NU, khususnya dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang mumpuni dan pengembangan entrepreneurship di kalangan NU dengan memberdayakan masyarakat NU yang kebanyakan adalah sebagai petani di pedesaan. Kemudian dilanjutkan dengan paparan Prof. Dr Yusuf Wiranto yang banyak membahas tentang pengembangan sumber daya manusia dan demografi warga NU. Beliau menjelaskan bahwa bonus demografi Indonesia sampai dengan tahun 2.035 adalah banyaknya penduduk “usia muda” dari pada yang lainnya. Bonus demografi ini dapat menjadi peluang apabila dimanfaatkan dengan baik. Sebaliknya, apabila tidak dimanfaatkan dengan baik akan justru menimbulkan bencana. Hal yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan yang benar dalam melakukan pengembangan sumber daya manusia, yang dalam hal ini adalah pemuda. Dimana ia menjelaskan ada 3 pendekatan dalam human resources, yaitu pendekatan intervensi, pendekatan internal personal manusia dan pendekatan genetika serta lingkungan. Jadi, dalam mengembangkan SDM pada pemuda harus dilakukan dengan adanya intervensi (sistem yang memaksa mereka berkembang), penanaman semangat mengembangkan diri sendiri, dan membentuk lingkungan yang dapat mendukung para pemuda untuk berkembang. Prof Yusuf menggaris bawahi, sesuai hasil penelitian, bahwa pengetahuan dan skill yang diperoleh seseorang dari pendidikan/perkuliahan (hard skill) hanya berperan 20 % terhadap kesuksesan, sedangkan sisanya yang 80 % adalah keahlian tambahan (soft skill) yang dikembangkan di luar bangku sekolah/kuliah. Penyampaian Prof. Yusuf yang disajikan dengan bahasa oral Surabaya menjadikan ruangan seminar dipenuhi gelak tawa para peserta yang saat itu masih terfokus dengan materi-materi berat dari para narasumber sebelumnya.
Pada sesi kedua di hari kamis adalah paparan materi dari Prof. Dr. Nur Syam, M.Si.—GurBesar Sosiologi UIN Sunan Ampel dan Sekjen Kemenag RI—dan budayawan Emha Ainun Najib. Akan tetapi karena sesuatu hal, Cak Nun berhalangan untuk hadir dan sempat mengecewakan para pesarta seminar. Paparan yang sangat menggebu disampaikan Prof. Nur Syam—sosok panutan yang merintis karirnya sebagai dosen di Fakultas Dakwah—tentang peran agama sebagai faktor penentu perubahan. Tekanan yang sangat penting disampaikan adalah imbas dari modernisasi sekarang ini memunculkan banyak tantangan. Tantangan modernisasi dirumuskan ada empat hal, pertama adalah munculnya liberalisme, kedua radikalisme, ketiga kapitalisme dan keempat adalah sosialisme baru. Isme-isme yang muncul sebagai anak dari modernisasi ini adalah sebuah keniscayaan yang timbul sebagai sebuah reaksi sosial, dimana dalam menyikapinya haruslah disiapkan analisis dan gerakan yang matang. Kapitalisme negara-negara besar dan maju (baca: Barat) ke seluruh penjuru dunia, terutama negara-negara Timur Tengah sebagai negara penghasil minyak terbesar menyebabkan timbulnya perlawanan sengit dari kalangan Islamis yang mengusung isu agama, dan  pada ujungnya membuahkan radikalisme agama. Di sisi lain muncul respon yang keras dari para sarjana dari kalangan muslim sendiri maupun non muslim yang menentang keras aksi radikalisme ini yang telah banyak melakukan kekerasan atas nama agama. Mereka terlibat dalam suatu gerakan liberalisasi dengan mengusung pemahaman liberalisme Islam. Dua kutub ini kian mengeras yang pada akhirnya justru menimbulkan konflik berkepanjangan. Di sisi yang lainnya lagi muncul gerakan sosialisme baru dari kalangan orang-orang modern. Prof. Nur Syam mencontohkan adanya pengadilan tribunal di Den Haq, yang isinya banyak menguntungkan kalangan sosialis atau komunis, dimana hal tersebut dapat menumbuhkan semangat sosialisme untuk kembali hidup di tanah air kita Indonesia. Beliau mensinyalir sampai saat ini telah muncul benih-benih sosialisme baru ini pada para petinggi negara, baik yang duduk di eksekutif maupun legislatif. Tantangan-tantangan inilah yang perlu mendapat perhatian serius dari NU yang mengusung paham Islam Nusantara, Islam Indonesia, dan Islam rahmatan lil ‘alamin.
Materi-materi di atas sangatlah berisi dan cukub berat untuk dicerna. Topik-topik yang disajikan sangat orisinal dan baru yang dapat ditindak lanjuti dalam forum-forum lanjutan. Untuk kemudian dibahas sebuah rumusan gerakan yang massif di kalangan Nahdhatul Ulama’. Seluruh peserta seminar mendapatkan sertifikat kegiatan dan sebuah buku terjemahan tebal berjudul Kontroversi Negara Islam; Radikalisme vs Moderatisme karangan seorang pemikir Mesir—Khalil Abdul Karim—yang diterjemahkan oleh penulis terkenal dari Yogyakarta, Aguk Irawan MN. Institute for Nusantara Studies (Innus) ini juga menjalin jejaring di seluruh Indonesia dengan lembaga-lembaga serupa dalam bentuk dan nama yang berbeda. Adanya lembaga ini dapat menjadi wadah lanjutan bagi para kader muda NU dan lainnya untuk melanjutkan tongkat estafet gerakan yang tetap berbasis pada intelektualitas dan kajian ilmiah serta meneguhkan diri pada Islam Nusantara.
Wallahu A’lam.

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.