0

Paradoks Sarjana

Posted by Unknown on 02.03 in
Sabtu dan Minggu, 22 dan 23 Oktober 2016 menjadi hari yang bersejarah bagi (mungkin) sebagian orang di Kota Malang, terutama civitas akademika UIN Maliki Malang. Karena di kedua hari itu momen wisuda sarjana yang meluluskan mahasiswa terbanyak di kampus ini dilakukan. Karena jumlah wisudawan yang terlampau banyak, maka prosesi wisuda dibagi mejadi dua gelombang, yaitu hari sabtu dan minggu. Hari sabtu diperuntukkan bagi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Humaniora dan Syari’ah, sedangkan hari minggu khusus untuk Fakultas Saintek, Ekonomi dan Pascasarjana (S2 dan S3). Jalanan sekitar Dinoyo dan Gajayana mapun Sunan Kalijaga ramai padat dipenuhi kendaraan, karena pada hari Sabtu-nya juga dilakukan prosesi wisuda serupa di kampus sebelah—UNISMA (Universitas Islam Malang)—yang merupakan kampus kebanggaan warga NU.

Saya merupakan salah satu orang yang boleh jadi beruntung, karena menjadi salah satu dari 1.900-an mahasiswa yang kuncir toganya dipindahkan dari kiri ke kanan, yang konon katanya itu menunjukkan seseorang sudah purna kuliah dengan melakukan riset akademik sebagai syarat kelulusannya. Akan tetapi kebanggaan saya seketika surut, karena menurut saya tak ada yang patut dibanggakan, sebaliknya momen tersebut merupakan renungan yang menonjok mental saya bertubi-tubi.

Pertama, wisuda yang meluluskan mahasiswa sebanyak itu ibaratnya adalah “cuci gudang” yang merupakan pemberian kesempatan atau semacam amnesty bagi sebagian besar mahasiswa yang telah molor bertahun-tahun—termasuk saya sendiri—untuk dapat lulus dan mengurangi beban moral kampus. Karena untuk mempertahankan atau mendapat akreditasi institusi yang baik, tiada lain harus meminimalisir mahasiswa yang terlalu lama menjadi “macan kampus”, tak terkecuali yang ada di program pascasarjana.

Kedua, saya menyayangkan sistem kampus yang selama ini berlaku, mengapa wisuda kelulusan harus menunggu kuota ribuan calon wisudawan terlebih dahulu, baru kemudian diluluskan. Hal itu ditambah lagi dengan lamanya pencetakan dan penandatanganan ijazah, karena map ijazah yang saya dan kawan-kawan terima adalah “map kosong” yang belum terisi ijazah di dalamnya. Kalaupun memungkinkan, bolehlah kiranya meniru sistem di kampus sebelah—Universitas Brawijaya—yang melakukan prosesi wisuda tiap bulan dengan ijazah yang sudah jadi ketika prosesi wisuda dilakukan. Jadi, tiap tahun dapat dilakukan wisuda puluhan kali. Ibarat orang dagang, mahasiswa UIN Maliki ini mengalami kerugian, karena harus membayar dan melengkapi seabrek persyaratan untuk wisuda—termasuk ujian/munaqosyah—dan lantas setelah itu dilengkapi, mereka masih harus menunggu berbulan-bulan untuk diwisuda, karena setahun hanya dilakukan dua atau tiga kali. Ditambah lagi harus menunggu ijazah siap dicetak dan ditandatangani. Otomatis, hal semacam ini memperlambat mereka yang ingin segera merambah dunia pekerjaan, ditengah-tengah iklim negeri yang terlalu mendewakan ijazah.

Kemudian ketiga, tak seimbangnya komitmen mahasiswa yang melakukan riset akhir (skripsi, tesis, disertasi) dengan dosen pembimbingnya. Ada mahasiswa yang pragmatis pokoknya lulus dan selesai secepatnya, tanpa mementingkan kualitas risetnya. Kesulitan besar akan dialami oleh mahasiswa dengan gelagat semacam ini ketika mendapatkan dosen pembimbing yang idealis. Begitu pula sebaliknya, banyak mahasiswa yang idealis ingin risetnya selesai dengan kualitas yang baik, tapi bertemu dengan dosen pembimbing yang pragmatis, bagaimana yang penting riset itu  selesai, tanpa memberikan bimbingan yang baik kepada mahasiswa bimbingannya. Saya sangat terganggu dengan pernyataan beberapa dosen yang menyatakan “skripsi/tesis/disertasi yang baik adalah yang selesai”. Jargon semacam ini akan ditangkap oleh para mahasiswa yang bermadzhab pragmatis untuk cepat-cepat menyelesaikan risertnya dan bahkan lebih parahnya mengcopy-paste riset orang lain, tanpa sama sekali memiliki idealisme untuk menghasilkan proses dan hasil riset yang berkualitas. Seyogyanya idealisme harus terlahir di kedua belah pihak, yaitu individu mahasiswa beserta dosen pembimbingnya yang dilakukan dengan mempertimbangkan asas efisiensi dan efektifitas. Idealisme yang dimaksud adalah komitmen untuk melakukan dan menyelesaikan riset dengan baik dan berkualitas sesuai dengan pedoman metodologi riset/penelitian yang ada. Efektifitas dan efisiensi adalah riset tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tenggat waktu yang ada. Jangan sampai riset yang dilakukan terlalu membebani mahasiswa sehingga harus molor lama dan mengeluarkan biaya yang terlalu besar.

Selain masalah kualitas lulusan mahasiswa, yang menjadi pekerjaan rumah besar adalah bagaimana lulusan—termasuk saya pribadi—untuk berkarya di bidang yang sesuai dengan kompetensi ijazah. Banyak lulusan sarjana yang bekerja dan berkarya di luar bidang kompetensinya, alasannya sederhana, karena terlalu banyaknya lulusan mahasiswa yang sebidang dengannya. Sehingga pemintaan kouta jumah tenaga kerja yang sedikit, tak dapat memenuhi keseluruhan jumlah lulusan dalam suatu bidang yang overload (terlalu banyak). Akhirnya terpaksa, banyak lulusan perguruan tinggi yang banting setir bekerja di luar bidang kompetensinya. Ini salah satu akibat kurang cermatnya pemetaan baik dari pemerintah atau perguruan tinggi, yaitu antara permintaan dunia kerja (baca: kuota tenaga kerja yang dibutuhkan), dengan jumlah mahasiswa baru yang harus diterima/dibatasi. Sebut contoh saja, kuota penerimaan mahasiswa jurusan PAI (Pendidikan Agama Islam) selalu sangat banyak tiap tahunnya dibanding jurusan lainnya di Fakultas FITK pada hampir seluruh PTAI di Indonesia. Padahal kebutuhan guru PAI di suatu daerah lebih sedikit dari pada jumlah mahasiswa yang diluluskan. Tentunya, hal tersebut juga harus disertai dengan komitmen para lulusan untuk mencintai bidang pekerjaan yang sudah digelutinya selama masa kuliah, dengan tanpa mengesampingkan bakat-bakat lain yang dimilikinya. Belum lagi masalah peran kita, para sarjana lulusan perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan yang tinggi bukanlah hanya sekedar sarana untuk memperoleh kemapanan hidup secara pribadi, akan tetapi juga memiliki dimensi pengabdian sosial di masyarakat. Sebagaimana salah satu tri dharma perguruan tinggi yaitu “fungsi pengabdian masyarakat”. Peran kita masihlah sangat kecil, dan tak bernilai apa-apa, atau bahkan kompetensi kita hanya berimplikasi pada kemapanan diri pribadi kita semata. Oleh karana itu, saya mengajak diri saya dan siapapun yang merasa sebagai sarjana, janganlah terlalu bangga dengan gelar itu, karena banyak sekali  kenyataan yang paradoksal dan memerlukan jawaban segera.

Wallahu A’lam

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.