1

TAFSIR BI AL-MA'TSUR

Posted by Unknown on 00.10 in


PENDAHULUAN
Latar Belakang Penulisan
Ketika al-Qur’an diturunkan, kemudian Rasulullah Saw, memberikan penjelasan kepada para sahabat tentang arti dan kandungannya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau ayat yang samar-samar artinya. Hal ini berlangsung sampai wafatnya Rasullah Saw.
Setelah wafat Rasulullah, para sahabat, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas'ud. Sementara sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah. Kususnya sejarah Nabi atau kisah-kisah yang tercantum kedalam al-Qur’an, kepada tokoh-tokoh ahlul kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti ‘Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Isra’Iliyyat.
Disamping itu para tokoh tafsir, dari golongan sahabat yang disebutkan, mempunyai murid-murid dari para tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersbut. Gabungan dari tiga sumber diatas, yaitu penafsiran Rasullah Saw, penafsiran sahabat-sahabat serta penafsiran tabi’in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bil-Ma’tsur.
Mengingat pada zaman modern ini perkembangan IPTEK semakin pesat dan globalisasi tidak dapat dihindarkan, maka sangat perlu adanya berbagai macam metode penafsiran yang bisa dijadikan alternatif untuk memahami al-Qur’an secara kontekstual. Oleh karena itulah, sangat perlu kiranya dipahami salah satu corak penafsiran yang bersandar pada riwayat dengan nama Tafsir bi al-Ma’tsur ini.

Rumusan Masalah
1.  Apakah pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur?
2.  Bagaimana Pandangan Ulama Klasik tentang Tafsir bi al-Ma’tsur?
3.  Bagaimana Pandangan Ulama Kontemporer tentang Tafsir bi al-Ma’tsur?
4.  Bagaimana Kelebihan dan Kekurangan Tafsir bi al-Ma’tsur?

Tujuan Penulisan
1.  Untuk Mengetahui konsep Tafsir bi al-Ma’tsur
2.  Untuk Mengetahui Pandangan Ulama Klasik tentang Tafsir bi al-Ma’tsur
3.  Untuk Mengetahui Pandangan Ulama Kontemporer tentang Tafsir bi al-Ma’tsur
4.  Untuk Mengetahui Kelebihan dan Kekurangan Tafsir bi al-Ma’tsur

PEMBAHASAN
Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur biasa disebut juga tafsir riwayat.  Dalam hal ini, Prof. Dr. M. Ali Ash-Shabhunniy memberikan pengertian, bahwa tafsir riwayat (ma’tsur) adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an, Sunnah atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan Sunnah Nabawiyyah. Dengan kata lain, maka tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan as-Sunnah atau penafsiran al-Qur’an menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat.[1] Definisi yang lain diberikan oleh Syeikh Manna Khalil al-Khattan, beliau mendefinisikan Tafsir bi al-Ma’tsur adalah Tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih menurut urutan yang telah disebutkan dalam syarat-syarat mufassir. Yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan sunnah, karena dia menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena mereka yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh para tokoh besar tabi’in, karena pada umumnya mereka menerimanya dari sahabat.[2] Dari sini dapat difahami bahwa tafsir bi al-Ma’tsur merupakan salah satu cara penafsiran ayat al-Qur’an dengan menggunakan sumber-sumber lain yang telah dipercayai urutan hirarkis kebenarannya, yaitu al-Qur’an sendiri, as-Sunnah, atsar sahabat dan perkataan para tabi’in.
Adapun macam-macam tafsir bi al-Ma’tsur dan contoh penafsirannya antara lain;
a)     Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an[3]
1.       Firman Allah: (QS. AT-Tahariq:1).
Ïä!$uK¡¡9$#ur É-Í$©Ü9$#ur ÇÊÈ 
Artinya: “Demi langit dan yang datang pada malam hari”. Kata “Ath-Thariq” dijelaskan dengan firman-Nya lebih lanjut pada surat itu pula, yaitu (QS. Ath-Thariq : 3):

ãNôf¨Y9$# Ü=Ï%$¨W9$# ÇÌÈ  
Artinya: “(Yaitu) binatang yang cahayanya menembus”
2.       Firman Allah: (QS. Al-Maidah: 1)
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$#
žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ uŽöxî Ìj?ÏtèC ÏøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ߃̍ムÇÊÈ  
Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang ternak…….”. Ayat ini diperjelas oleh ayat selanjutnya dalam (QS. Al-Maidah: 3):
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$ ÇÌÈ  
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging, babi, dan sebagainya.”
3.       Firman Allah: (QS. Al-Baqarah: 37)
#¤)n=tGsù ãPyŠ#uä `ÏB ¾ÏmÎn/§ ;M»yJÎ=x. z>$tGsù Ïmøn=tã 4 ¼çm¯RÎ) uqèd Ü>#§q­G9$# ãLìÏm§9$# ÇÌÐÈ  
Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhanya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi Maha Penyayang.” Kalimat yang diterima Adam ditafsirkan dengan ayat:
Ÿw$s% $uZ­/u !$oY÷Hs>sß $uZ|¡àÿRr& bÎ)ur óO©9 öÏÿøós? $uZs9 $oYôJymös?ur ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»yø9$# ÇËÌÈ  
Artinya: “Keduanya berkata (Adam dan Hawa), ”Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami, andai kata Kau tidak memaafkan dan mengasihi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al-A’raf: 23)
b)   Tafsir al-Qur’an dengan as-Sunnah[4]
1.     Rasulullah menafsirkan shalat wustha dalam firman Allah:
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# ………… ÇËÌÑÈ  
Artinya: “Peliharalah segala shalat (peliharalah) shalat wustha.” (QS. Al-Baqarah: 238), Rasulullah manafsirkannya dengan shalat “Ashar”.
2.     Rasulullah menafsirkan lafadz dalam surat (QS. al-Fatihah: 7)
ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ  
Dengan makna “Yahudi dan Nasrani”
3.     Penjelasan Nabi Muhammad tentang “quwwah” dengan panah dalam firman Allah (QS. Al- Anfal: 60):
(#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B OçF÷èsÜtGó$# ÇÏÉÈ  
Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggup.i”
c)      Tafsir Sahabat
Sahabat Umar ibn al-Khattab pernah bertaya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah (QS. An-Nahl: 47)
÷rr& óOèdxäzù'tƒ 4n?tã 7$qsƒrB ¨bÎ*sù öNä3­/u Ô$râäts9 íOÏm§ ÇÍÐÈ  

 kepada seorang Arab dari Kabilah Huzail, dia menjelaskan bahwa artinya adalah “pengurangan”. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka mamahami al-Qur’an.[5]
Sahabat yang terkemuka dalam bidang tafsir adalah: Abu Bakar As-Shiddiq, Umar al-Faruq, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-‘Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.[6] 
d)     Tafsir Tabi’in
Sebagai bahan rujukan dalam dalam penulisan Alquran, penjelasan tabi’in tetap diperhitungkan untuk dapat menafsirkan Alquran. Sekalipun mereka bukan generasi sahabat yang langsung mendapat penafsiran dari Nabi, tetapi mereka memperoleh penjelasan dari para sahabat. Sebagai contoh diantara Tabi’in ada yang mengambil seluruh tafsir dari sahabat. Mujahid menceritakan, “Saya membacakan mushaf kepada Ibn Abbas sebanyak tiga kali, dari pembukaan (Fatihah) sampai dengan penutupan. Saya berhenti pada setiap ayat untuk menanyakan kepadanya hal-hal yang berkaitan dengannya.”[7]
Tabi’in yang termasyhur adalah murid-murid Ibnu Abbas dan murid-murid Ibnu Mas’ud. Yang meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas antara lain: Mujahid Ibnu Jabir, ‘Atha’ bin Rabah dan Ikrimah Maula ibnu Abbas. Sedangkan dari golongan murid Ibnu Mas’ud adalah ‘Alqamah an-Nakh’y, Masyruq ibn al-Ajda’, Al-Hamadany, Ubaidah ibn Amr as-Silmany dan al-Aswad ibn Yazid an-Nakha’y.[8] Adapun kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsur antara lain:[9]
1.     Tafsir Jami’ul Bayan (Ibnu Jarir Ath- Thabary)
2.     Tafsir al-Bustan (Abul Laits as-Samaraqandy)
3.     Tafsir Baqy Makhlad
4.     Tafsir Mu’allimat Tanzil (al-Baghawy)
5.     Tafsir al-Qur’anul ‘Adhim (Ibnu Katsir)
6.     Tafsir Asbabun Nuzul (al-Wahidy)
7.     Tafsir al-Nasikh wa al-Mansukh (Abu Ja’far an-Nahhas)
8.     Tafsir Durrul Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur (As-Sayuthy)
Pandangan Ulama Klasik
Para ulama’ klasik berbeda pendapat tentang pengggunan tafsir bi al-Ma’tsur ini. Di bawah ini akan disebutkan beberapa pandangan dari para tokoh, antara lain:
a)      Imam Ahmad. Beliau menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar (yang kokoh).[10]  Ini menandakan bahwa Imam Ahmad tidak mengapresiasi penuh terhadap tafsir ini, terutama pada Tafsir Tabi’in, karena dianggap sangat minim kebenarannya.
b)      Ibnu Jarir At-Thabari. Menurutnya bahwa diantara kandungan al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali dengan penjelasan Rasulullah. Misalnya ayat yang terkait dengan macam-macam perintah (wajib, anjuran, dan himbauan), larangan, fungsi-fungsi hak hokum-hukum, batas kewajiban dan hokum lain di al-Qur’an yang tidak diketahui kecuali dengan penjelasan Rasulullah kepada umatnya. Hal ini tidak boleh secara sembarangan menafsirkannya tanpa penjelasan resmi dari Rasulullah.[11]
c) Syaikh Abdul Azim az-Zarqani. Ketika membahas Tafsir bi al-Ma’tsur, ia menyebutkan bahwa Tafsir bil Matsur adalah Tafsir yang datang dari al-Quran, sunnah atau perkataan Sahabat yang menjelaskan maksud Allah swt dalam kitab-Nya. Selanjutnya ia mengatakan tentang tafsir Tabi’in masih terjadi perselisihan antara ulama; di antara mereka ada yang menilainya termasuk tafsir yang ma’tsur, karena mayoritas mereka belajar langsung kepada para Sahabat, dan diantara mereka ada yang memasukkannya ke dalam tafsir bir Rayi.[12]
d)  Muhammad Husein Adz-Dzahaby mengkategorikan penjelasan para tabi’in terhadap Al-qur’an sebagai Tafsir bil-ma’tsur, karena Ibnu Jarir Al-Thabary dalam Tafsirnya Jami’ul Bayan fi Tafsir al- Al-Qur’an memasukkan katagori tersebut ke dalam Tafsir bil-ma’tsur, walaupaun ada yang memperselisisihkannya.[13]
Pandangan Ulama Kontemporer
a)   Muhammad Ali Ash-Shabhunniy: Muhammad Ali Ash-Shabhunniy mendukung penggunaan Tafsir bi al-Ma’tsur, khususnya pada tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, tafsir al-Qur’an dengan as-Sunnah dan tafsir sahabat, tetapi untuk tafsir Tabi’in beliau menyangsikannya. Menurutnya, Kedua cara penafsiran tersebut, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan sunnah merupakan jenis tafsir yang panjang, luhur dan tidak ragu lagi untuk diterima. Bentuk penafsiran yang pertama (al-Qur’an dan al-Qur’an) karena Allah Ta’ala lebih mengetahui maksudnya daripada yanglainnya. Kitab Allah Swt. adalah suatu berita yang paling benar dan tidak terdapat pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan bentuk tafsir kedua (al-Qur’an dengan sunnah Rasul), karena al-Qur’an itu sendiri menegaskan bahwa Rasul adalah berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an. Oleh karenanya segala sesuatu yang disampaikan Rasul yang sanadnya shahih patuh untuk dijadikan pegangan. Untuk tafsir para sahabat, menurut beliau tafsir ini termasuk dalam tasir yang muktamad (dapat dijadikan pegangan), karena para sahabat ini pernah bertemu dan berkumpul secara langsung dengan Nabi Saw., mengambil dari sumbernya yang asli, menyaksikan turunnya wahyu, serta mengetahui Asbab al-Nuzul. Sedangkan pada tafsir tabi’in, beliau lebih memilih berhati-hati.[14]
b)      M. Quraish Shihab. Menurutnya, penafsiran ini hanya sesuai dipakai pada zaman klasik. Karena mereke mengandalkan kekuatan rasa bahasa  yang dapat membuktikan kemukjizatan al-Qur’an. Tetapi tidak sesuai jika dipakai pada zaman modern ini, karena orang Arab pun sekarang sudah mulai kehilangan rasa bahasanya, apalagi kita yang di Indonesia ini. Metode riwayat ini istimewa jika ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektifitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada yang menyampaikan riwayat–riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat.  Kadang sebagian ditemui tanpa sanad, Yang ditemui, sanadnya pun membutuhkan penelitian yang cukup panjang untuk menunjukkan kelemahan dan keshahihannya.[15]
Kelebihan dan Kekurangan
Pandangan para ulama’ bermacam-macam terhadap tafsir bi al-Ma’tsur ini. Itu terjadi tiada lain karena di dalamnya memang banyak sekali terdapat kelebihan dan kekurangan. Antara lain;
a)     Kelebihan Tafsir bi al-Ma’tsur
1.       Dalam mengetengahkan penafsiran, para sahabat Nabi dan kaum tabi’inselalu disertai dengan Isnad (sumber-sumber riwayatnya) dan diperbandingkan untuk memperoleh penafsiran yang paling kuat dan tepat.
2.       Terdapat kesimpulan-kesimpulan tentang hokum dan diterangkan juga bentuk-bentuk i’rab (kedudukan kata-kata di dalam rangkaian kalimat) yang menambah kejelasan makna dari ayat-ayat al-Qur’an.
3.       Memaparkan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh serta menjelaskan riwayat yang shahih dan yang dha’if.[16]
b)     Kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur
1.       Banyak ditemukan riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2.       Banyak ditemukan usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah.
3.       Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah
4.       Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.[17]

PENUTUP
Kesimpulan
Tafsir bi al-Ma’tsur ini sangat relevan digunakan sebagai alternatif dalam penafsiran al-Qur’an. Akan tetapi riwayat yang digunakan haruslah kuat dan bisa diakui kebenarannya. Dalam hal ini penulis menerima semua jenis penafsiran bi al-Ma’tsur, antara lain penafsiran melalui al-Qur’an, melalui sunnah Rasullah Saw dan melalui para sahabat. Untuk penafsiran tabi’in bisa dipakai, akan tetapi harus mereka yang secara kualitas keilmuan mumpuni dan track record kehidupannya baik.
Rekomendasi
1.       Penggunaan riwayat dalam penafsiran al-Qur’an harus diutamakan dari pada penggunaan akal (ra’yu).
2.   Penggunaan riwayat sebagai metode tafsir haruslah dilakukan dengan obyektif dan netral, tidak karena ada tendensi tertentu.
3.       Harus diutamakan tafsir Qur’an dengan Qur’an terlebih dahulu sebelum pada tafsir di bawahnya, karena jelas, jika sudah dapat dipahami dari Qur’an, maka yang lain tidak diperlukan lagi.



[1] Muhammad Ali Ash-Shabunniy,Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hal. 248.
[2] Manna Khalil al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013, hal. 482.
[3] Muhammad Ali Ash-Shabunniy,Studi Ilmu al-Qur’an,………………………………hal.248-250.

[4] Ibid, hal. 251-254.
[5] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,Bandung: Mizan, 1999, hal. 83.
[6] Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir,Jakarta: Bulan Bintang: 1977, hal. 227.
[7] Manna Khalil al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir……….op.cit, hal. 484.
[8] Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir,……op.cit, hal. 232.
[9] Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir,……op.cit, hal. 252-253.
[10] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Percetakan al-Manar, 1367 H, dalam M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,Bandung: Mizan, 1999, hal. 85.
[11] Manna Khalil al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir……….op.cit, hal. 487.
[12] Contohnya adalah Manahil Irfan karangan az-Zarqani: 2/1213
[13] Muhammad Husein al-Dzahaby, Al-Tafsir wal-mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000, jil. 1, hal. 112.
[14] Muhammad Ali Ash-Shabunniy,Studi Ilmu al-Qur’an,……………………. op.cit., hal. 255-256.
[15] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,……………………………………..op.cit, hal. 84-85.

[16] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,1990, hal. 385.
[17] Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972, hal. 220.


Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.