0

Catatan dari Blitar

Posted by Unknown on 07.35 in

Tiga hari ini, Rabu s/d Jum’at (16-17 Sept 2014), saya dan teman-teman satu kelas mengadakan rihlah ‘alamiyyah (jelajah alam) atau semacamnya-lah di Kabupaten Blitar, daerah kelahiran Sang Proklamator RI, Ir. Soekarno. Sebuah kegiatan yang sebetulnya sudah tidak lazim untuk usia kami yang sudah bukan lagi anak-anak di tengah kesibukan mencari judul tesis dan sengkarut dunia pekerjaan, mungkin karena diantara kami belum ada yang menikah atau masih lajang, sehingga sempat-sempat saja kami meluangkan waktu untuk bercengkerama bersama.
            Sebagaimana rencana kami, di Blitar kami akan menginap di kediaman salah satu teman kami, Saiful Nggufron Effendi yang juga ketua kelas MPI (Manajemen Pendidikan Islam) A. Sebagian besar teman-teman berangkat hari selasa sore dan hanya sebagian kecil yang berangkat pada hari rabu pagi, termasuk saya sendiri. Kalau di hitung, ada 13 orang yang ikut serta dalam kegiatan ini. Mereka adalah M. Faizul Husnayayn, Vera Mei Ringgawati, Abdul Halim Wicaksono, Dedi Eko Riyadi, Achmad Baihaqi, Ahmad Sa’id, Asni Furoida, Yulia Rukmana, Hatmi Emha, Ja’far Shodiq, Samiyah, tuan rumah Mas Saiful Nggufron Effendi dan tentunya saya sendiri. Perjalaan kami lakukan dengan touring menggunakan sepeda motor, selain menghemat dana, kami juga bisa menghemat waktu dan lebih leluasa dalam perjalanan. Tapi, hal yang paling saya tidak suka, “darah muda yang tak terkontrol”, yang terjadi di jalan adalah saling kebut-kebutan.
Pantai Tambakrejo
            Kami mulai berangkat  ke tempat wisata tujuan kami pada hari rabu siang, kurang lebih pukul 11.00, sembari  menunggu Mas Nggufron selesai mengajar. Sebagaimana rencana pada jauh-jauh hari sebelumnya, kami hanya ingin mencari tempat yang representatif untuk berkumpul dan makan bersama dengan pantai sebagai tujuannya. Akhirnya, tempat utama yang kita kunjungi adalah Pantai “Tambakrejo” – Kabupaten Blitar. Dari rumah Mas Ghufron ke lokasi sangatlah jauh, karena pertama kita harus melewati kota Blitar terlebih dahulu baru kemudian menuju pantai. Dari kota, kita harus melewati daerah perbukitan curam dengan jalan aspal yang sudah rusak dan sempit. Jadi, bagi yang berencana berwisata di sini, lebih baik menggunakan mobil yang kecil saja. Kalau dihitung dari rumas Mas Gufron di Daerah Kesamben ke Pantai Tambakrejo memakan waktu kurang lebih dua jam, kami sampai sekitar pukul 13.00 siang. Rasa lelah dan khawatir dengan medan jalan yang berbahaya ini seakan terobati setelah melihat area pantai yang sangat indah. Sebelum menuju pantai, kita akan disuguhi pemandangan pasar ikan yang di sana menjual berbagai jenis ikan hasil tangkapan nelayan dan banyak sekali warung makan dengan menu khasnya yaitu “ikan bakar”.
Kami sampai sekitar pukul 13.00 di pantai Tambakrejo. Sampai di sana, kami mencari musholla untuk sholat dzuhur—aktifitas yang harus kita dahulukan sebelum pekerjaan yang lainnya, jika tidak ada udzur.  Setelah itu, kami singgah di salah satu warung makan, karena terik panas matahari dan lelahnya perjalanan membuat perut ini minta diisi, tentunya dengan makanan khas pantai ini, “ikan bakar”. Sebelum kami berangkat ke pantai ini, tiap orang dari kami membayar Rp 25.000, sehingga kami tak perlu pusing-pusing lagi memikirkan biaya tambahan. Menu yang kami pesan tentunya adalah ikan bakar, ditemani nasi putih hangat, sambal kecap, sambal terasi dan minuman es teh manis. Ikan yang dihidangkan adalah ikan cakalang yang berukuran lumayan besar dan ikan ayam-ayam (dinamakan seperti itu karena rasa dagingnya persis seperti daging ayam). Dengan segera, seluruh hidangan habis termakan, Alhamdulillah, sungguh pengalaman kuliner yang menyenangkan, rasa ikan yang gurih dan suasana makan yang ramai dengan canda tawa teman-teman.
            Setelah kenyang makan siang, saatnya kami menuju pantai. Dengan berjalan kaki, kami menyusuri bibir pantai yang luas disertai dengan hamparan pasir putih yang indah. Karena pasirnya adalah jenis pasir putih, maka air laut kelihatan sangat jernih. Pantai tambakrejo ini terdiri dari dua sisi pantai. Yang pertama adalah pantai sebelah kanan yang menjadi tempat bersandarnya perahu-perahu nelayan sebelum dan selelah melaut untuk menangkap ikan. Bagian pantai sisi kanan ini sangat sesuai dipakai untuk berenang , berjemur atau bermain pasir, karena ombak air laut juga tidak terlalu besar sehingga tidak berbahaya. Di bagian tengah terdapat bukit yang cukup tinggi dan terjal yang harus kita lalui sebelum sampai ke bagian pantai yang ke dua di sebelah kiri. Kami semua menerjang bukit tersebut dengan sekuat tenaga di tengah-tengah terik matahari yang tepat di atas kepala. Di puncak bukit sebelum kami turun ke pantai yang kedua, kami beristirahat sejenak di sebuah gubuk yang terletak di puncak bukit. Setelah itu perjalanan kami lanjutkan menuju pantai berikutnya. Sebenarnya, kedua pantai ini satu, hanya saya dipisahkan oleh karang besar yang diatasnya menyambung perbukitan yang panjang dan luas. Di pantai yang kedua ini, keadaannya sama, hanya saja ombak yang berhembus lebih besar. Apabila dibanding dengan pantai sebelahnya, ini lebih berbahaya, terlebih untuk anak-anak. Para pengunjung harus berhati-hati ketika ombak besar datang. Kalau kita berada di puncak bukit, kita akan dapat melihat hamparan pantai biru yang sangat indah dan sejauh mata memandang, adalah lautan luas yang tak berujung.
Kami hanya sebentar berada di pantai yang berombak besar itu. Karena Mas Ghufron takut akan terjadi hal yang berbahaya, maka dia menyarankan saya dan teman-teman lainnya untuk pindah berenang di pantai sebelah kanan. Akhirnya, kami kembali menaiki bukit terjal itu kembali dan menuju pantai sebelahnya. Sesampainya di sana kami langsung hanyut dalam suasana pantai, ombak air laut, batu-batu karang, dan pasir putihnya. Tanpa disadari semua pakaian yang melekat di badan ini basah semua oleh air laut. Mula-mula ada beberapa teman yang tidak berkenan berbasah-basahan di pantai, tapi dengan sedikit pemaksaan, akhirnya semua tanpa terkecuali merasakan asinnya air laut dengan pakaian basah kuyub berbalutkan pasir. Ketika bercengkarama dengan air laut dan pasir putih itu, serasa semua beban di hati dan pikiran menjadi hilang dan serasa hasrat yang terpendam dan menggumpal di hati tersalurkan sudah. Suasana pun menjadi sangat santai, tak terasa kami bertingkah laku layaknya anak kecil yang asyik bermain tanpa kenal waktu.
Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 14.15, kamipun bergegas beranjak dari pantai dan membersihkan diri di kamar mandi umum. Anehnya, sebagian besar dari kami tidak membawa pakaian ganti, akhirnya dengan pakaian basah di badan, kamipun sholat Ashar dan bergegas menuju Kota Blitar meninggalkan keindahan pantai Tambakrejo menuju kediaman salah satu teman kami, Vera Mei Ringgawati.  Tak lupa sebelum beranjak, kami membeli beberapa ikan laut untuk kami olah di rumah Mas Gufron nantinya, di Kesamben Blitar dengan menggunakan sisa uang yang ada.
Bakso dan Avanza
            Tepatnya setelah adzan maghrib tiba, kami sampai di rumah Vera, di daerah kota Blitar. Setiba di sana kami membersihkan diri dan menunaikan sholat Maghrib. Teman laki-laki berada di bagasi mobil yang telah dibersihkan, sedangkan teman-teman perempuan di dalam rumah. Setelah menunaikan sholat maghrib, kami disuguhi dengan bakso sapi, lengkap dengan mi bihun, sambal-saus-kecap, gorengan dan lontong. Tanpa pikir panjang, kami melahap semua yang ada, sepuas kami. Baru kali ini, kami bisa makan bakso dengan jumlah bakso sapi yang banyak sekali, sampai perut ini tidak cukup menampungnya. Karena saking banyaknya, sisa bakso yang ada kami bawa pulang ke rumah Mas Ghufron.
            Di rumah Vera ini, kami mengalami sedikit musibah yang hampir saja membuat saya dan teman laki-laki cidera. Pada waktu itu setelah sholat maghrib tepatnya, kami sedang duduk santai di bagasi mobil yang sudah ditata rapi dengan alas tikar di bawahnya. Sambil makan buah semangka dan jeruk, kami bersenda gurau sambil menunggu makan malam. Tepat di belakang kami ada 2 (dua) mobil yang rapi terparkir, sebelah depan Toyota Avanza dan yang belakang Toyota Kijang (kalau tidak salah ingat). Melihat ukuran bagasi yang sangat sempit, dua mobil tersebut akan pas masuk dalam bagasi tanpa ada ruang yang tersisa. Tapi, saat itu kedua mobil diparkir agak  mundur, sehingga di bagian depan mobil ada ruang untuk tempat kami rebahan santai. Ketika itu kami mengamati mobil avanza yang di dekat kami dan sedikit bergurau. Pertama, Mas Ghufron membahas soal harga second mobil ini sambil mengamati keadaan di dalamnya dari luar kaca mobil. Kedua, saya ketika itu tanpa sadar melihat plat nomor kendaraan yang berlambang TNI AL, artinya mobil ini awalnya milik seorang tentara, dan yang paling menggelikan adalah tulisan di plat itu, “Hantu Laut”, tepat sekali seperti kami semua yang barusan bermain-main di laut dan berbasah-basahan. Tiba-tiba ada bunyi klakson mobil terdengar, ternyata Ibu Vera sedang menyalakan mobil yang ke dua (Toyota Kijang) untuk dimundurkan. Tapi, hal diluar dugaan terjadi, mobil Kijang itu menghentak ke depan dan mengenai bagian belakang Avanza, sehingga mobil Avanza hitam itu maju ke depan menghentak kami, sontak kami sangat terkejut, tapi tidak lama setelah itu gerak mobil itu terhenti dan kami pun lega. Selanjutnya, tanpa diduga, mobil itu bergerak lagi dengan hentakan yang ke dua, dan kali ini tidak berhenti sampai menabrak motor yang diparkir dekat dinding bagasi di depannya dengan hentakan yang kencang. Secara spontan kami langsung lari tungang langgang ke sebelah kiri dan kanan. Untung saja, saat itu Mas Said yang sedang berbaring terlentang tepat di depan bemper mobil dapat segera menghindar. Alhamdulillah, kami semua selamat dengan sedikit luka goresan di tangan.  Saya membayangkan, kalau saja kami tidak sempat menghindar, entah apa yang terjadi. Mungkin sebagian orang menganggap ini kecelakaan biasa, tapi menurut saya, sedikit ada hubungannya, antara laut, tindakan kami selama bergurau di pantai dan kami menunda-nunda waktu sholat ashar. Mungkin itu berhubungan dan mungkin tidak, tapi pasca kejadian itu, kami sadar, ini sebuah peringatan atas tindakan-tindakan kami. Rasa gemetar dan merinding sejenak terobati dengan hidangan bakso yang memanjakan lidah. Setelah makan, kami menunaikan sholat Isya’ dan kemudian kembali menempuh perjalanan ke Kesamben, rumah Mas Ghufron.
Makam Bung Karno
            Sesampainya di rumah Mas Ghufron, kami banyak diskusi membahas peristiwa yang barusan kami alami, dan setelah itu kami istirahat sampai pagi. Pada pagi harinya, Kamis 18 September 2014, beberapa teman kembali pulang ke Malang, selain saya, Mas Djakfar, Mas Hatmi dan tuan rumah Mas Ghufron. Pada hari kamis pagi itu, hanya tinggal kami berempat yang tersisa. Di siang harinya, sekitar pukul 16.00 sore kami berempat kembali menempuh perjalanan menuju kota Blitar. Dari perjalanan sekitar se-jam, akhirnya kami sampai di daerah Sentul, Kota Blitar, tepatnya di komplek makam Bung Karno. Pada pukul 17.00 kami masuk ke dalam area makam, sungguh desain bangunan yang apik dan indah tertata rapi. Di bagian depan terdapat monumen patung Bung Karno dengan dilengkapi perpustakaan, tapi sayang sudah tutup, kami tak dapat memasukinya. Kemudian ke belakang, ada gapura besar yang menjadi pintu masuk ke dalam makam Bung Karno. Di dalamnya sebelah kanan, terdapat area istirahat yang di sana terdapat maket komplek makam, lukisan foto Bung Karno bersama Ibu Fatmawati dan  banner panjang bertuliskan semboyan-semboyan Bung Karno. Di sebelah kiri terdapat musholla yang desainnya cukup menarik. Pada bagian tengah terdapat dua pohon beringin kembar berukuran sedang yang membuka jalan menuju bangunan joglo tempat makam. Kemudian kami masuk ke bangunan itu, tepat di tengahnya adalah makam Ir. Soekarno, di dambingi dengan makam orang tuanya di samping kanan dan kiri (menurut keterengan seseorang). Di sisi belakang makam bung karno terdapat prasasti batu besar. Karena hari mulai gelap, kami bergegas duduk rapi bersila menghadap makam dan bertawassul, membaca tahlil dan tak lupa do’a kepada Allah Swt.
            Menapaktilasi perjuangan Bung Karno dengan berziarah ke makam beliau memberikan nilai tersendiri. Menurut saya, Bung Karno bukan sekedar pemimpin bangsa, tapi beliau adalah “Mujtahid Modern” yang berhasil menanamkan nilai-nilai kebangsaan dengan mendirikan sebuah negara bangsa (Nation State). Sebagai produk ijtihad dari para pendiri bangsa, adalah “pancasila” yang menjadi dasar negara. Dimana pancasila mengandung spirit yang sangat esensial tentang ajaran Islam, tanpa melabelkan kata “Islam” di dalamnya. Pancasila adalah hasil ijtihad orisinil yang menjadi fondasi sebuah bangsa majemuk, terdiri atas banyak agama, ras, suku dan golongan.
Makam Syeh Subakir
            Selepas sholat Isya’ di daerah Sentul Kota Blitar (samping komplek makam Bung Karno), kami sejenak menikmati alunan dangdut elektone dan berfoto di depan panggung wayang kulit. Ternyata saat itu akan diadakan pementasan wayang kulit dalam rangka hari bersih desa. Suasana di sana sangat ramai dengan banyaknya orang menggelar makanan dan barang dagangannya.
Meninggalkan semua keramaian itu, kami bergerak lagi untuk menuju daerah Panataran, ke makam Syeh Subakir, salah satu penyebar Islam di daerah ini. Sebelum sampai di sana, kami melewati komplek Candi Panataran yang cukup luas. Sesampainya di komplek makam Syeh Subakir, kami wudhu dan menunaikan sholat Isya’ terlebih dahulu. Kemudian kami masuk ke ruangan di mana tempat Syeh Subakir disemayamkan. Tidak seperti di makam yang lain, di sini kami dapat masuk ke dalam ruangan tertutup dan  langsung berada disamping nisan makam tersebut. Seperti biasa, di sana kami bertawassul, membaca tahlil, membaca surah Yasin dan diakhiri dengan do’a.
Selesai dengan makam, kami beranjak ke ruangan ke dua, yang di dalamnya ada petilasan tempat sujud Syeh Subakir, berbentuk sebuah batu lebar memanjang seukuran alas sujud orang dewasa. Di atasnya terdapat sajadah dan tepat di bawah tempat sujud sajadah itu, terlihat bekas sujud orang seperti ribuan kali sujud. Tak lupa, di sana kami kembali berdo’a kepada Sllah Swt. Beberapa diantara kami melihat seseorang berpakaian hitam sujud di atas batu ini, dan anehnya saya tidak melihatnya.
Selesai melakukan aktifitas tersebut, kami kemudia sebentar berpose mengambil gambar kenangan. Saat itu masjid mulai ramai didatangi oleh jama’ah. Ternyata di sana akan diadakan rutinitas manaqib malam jum’at. Kemudian kami bergegas beranjak kembali meninggalkan area makam  menuju rumah Mas Ghufron di Kesamben, untuk beristirahat, karena rasa capek sudah mulai hinggap di badan.
Keesokan harinya, kami berkemas untuk kembali ke Malang, Kota dingin dengan membawa sedikit pengalaman perjalanan kami. Semoga ini tidak semata hanya perjalanan pengisi waktu luang, akan tetapi untuk kami dan khususnya saya pribadi agar dapat mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang terjadi.
Beberapa Pelajaran
Dari perjalanan di Kabupaten Blitar ini, ada beberapa hikmah yang mungkin dapat dipetik, melalui prespektif saya pribadi. Pertama, sebuah persahabatan itu mahal harganya. Melaui persahabatan yang abadi, menjadikan tali silaturrahim kita sesama manusia akan tetap terjalin. Sillaturahim yang terbangun diantara anak manusia salah satunya akan semakin membawa kelancaran rizki pada kita, seperti pada sabda Nabi.  Melalui kegiatan sederhana ini pula, diharapkan tali persaudaraan sesama anggota kelas ini dapat terjalin dengan erat. Komunikasi yang dulunya kaku karena pernah terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat diharap mencair melalui forum ini. Tapi perlu diingat, jalinan sillaturahim ini tidak bisa terbentuk dengan sendirinya, tapi memerlukan pengorbanan, yaitu waktu, tenaga, dan bahkan uang. Untuk sebuah persahabatan yang tak bisa dinilai dengan uang, pengorbanan ini terlalu sedikit dan remeh untuk tidak kita lakukan. Kedua, dalam bepergian terutama ke tempat yang masih asing bagi kita, jangan sampai lupa untuk kita perbanyak membaca basmalah, shalawat, berdo’a untuk keselamatan dan menjaga tingkah laku kita. Karena bisa jadi, ada mahluk lain yang terusik dan terganggu dengan apa yang kita lakukan.   Ketiga, persahabatan  di kelas MPI A ini bukanlah sekedar forum bersenang-senang, akan tetapi adalah forum untuk saling memberikan manfaat satu sama lain. Seperti sabda Nabi, “sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain dan yang paling baik akhlaknya”. Diharapkan persahabatan ini istiqamah ila yaumil qiyamah, di mana kita akan saling membantu dalam urusan keduniaan menuju sukses di masa depan yang nantinya itu menjadi amal baik kita yang akan berbuah manis di akhirat. Amin Ya Rabbal ‘Alamin….Wallahu A’lam……

0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.