0

Cerita Saya (1)

Posted by Unknown on 06.50 in
Kelahiran di Kampung
Saya dilahirkan di Sebuah Dusun yang kecil, Dusun “Banggel” namanya. Dusun kecil itu berada di Desa Sambonggede Kecamatan Merakurak Kabupaten Tuban, pada tanggal 25 Maret Tahun 1989. Menjadi anak laki-laki pertama, adalah sebuah takdir dari Tuhan untuk saya, dari pernikahan pasangan Ahmad Bahmulya dan Rasmiyati yang kemudian keduanya menjadi orang tua kandung saya sampai kapanpun. Bapak saya -Ahmad Bahmulya- adalah super hero bagi saya. Beliau tumbuh dalam kondisi keluarga yang kekurangan tanpa asuhan Sang Ayah, yaitu kakek saya sendiri, Almarhum Bapak Asnawi yang telah lama meninggal ketika bapak masih kecil. Nenek saya-Almarhumah Hj. Nasifah-mempunyai 7 orang anak yang semuanya adalah laki-laki. Semuanya hidup dengan seadanya dan berjuang sendiri-sendiri memenuhi kebutuhannya masing-masing. Tekanan ekonomi yang keras membuat bapak saya hidup mandiri dalam bertahan hidup. Ini terbukti sampai sekarang, walaupun dengan pendidikan setingkat SD, bapak saya bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya, bahkan sampai perguruan tingi dengan biaya sendiri. Sehari-hari dalam perjuangan bapak mencari nafkah untuk keluarga, beliau didampingi oleh Ibu saya yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yaitu lulusan SMA. Ibu seakan menjadi penasehat bagi bapak yang memang agak emosional dan kurang pertimbangan, tidak jarang karena perbedaan pendapat keduanya berselisih. Saya dan saudara-saudara saya menganggap hal itu adalah hal yang sangat wajar dalam berumah tangga, yang jelas, segala keputusan besar dalam keluarga kami adalah keputusan yang terbaik, karena melalui berbagai perdebatan panjang, bahkan oleh kami sendiri sebagai anak-anak mereka. Di rumah, saya juga ditemtani oleh dua saudara yang sangat lucu dan sangat strategis untuk menjadi sasaran gurauan saya, sebut saja namanya Khumrotun Nadhifah dan Siti Mu’amaroh. Gara-gara mereka, saya dibuat menjadi jengkel dan sering kali juga dibuatnya tertawa, walaupun kini mereka berdua sudah dewasa.
  
Masa Kanak-Kanak yang Biasa Saja
Dua  Tahun lamanya, mulai Tahun 1993 sampai dengan Tahun 1995 saya menghabiskan waktu di RA (Roudhotul Athfal) “Muslimat Salafiyah” Mandirejo-Merakurak. Disana bersama guru-guru yang sabar, saya belajar bernyanyi, berhitung, menulis dan sebagainya. Masa kecil saya terkesan biasa-biasa saja, karena karakter saya memang seperti itu, hanya saja ada beberapa kenangan menarik ketika di sekolah. Saya pernah bertengkar dengan teman sekelas, sampai-sampai anak itu terjatuh di sungai depan sekolah. Selain itu juga tidak jarang saya berak dicelana, sehingga membuat para guru kebingungan. Disana saya banyak bersahabat dengan teman-teman se-daerah, yang dulunya lucu-lucu dan kampungan, sekarang sudah sama-sama dewasa dan berkarir.
Setelah selesai menempuh pendidikan pra-sekolah, saya meneruskan di yayasan yang sama, yaitu Yayasan “Salafiyah” Mandirejo Merakurak. Yayasan ini adalah yayasan keluarga yang didirikan oleh Almarhum K.H. Abdussalam. Yayasan ini terhitung yayasan yang paling besar di Kecamatan Merakurak.  Lembaga pendidikan yang dinaunginya antara lain; RA “Muslimat Salafiyah”, MI “Salafiyah”, MTs. “Salafiyah”, MA. “Salafiyah” dan Pon.Pes. “Nurul Jadid”. Selama kurang lebih 6 Tahun, mulai tahun 1995 sampai dengan Tahun 2001 saya menghabiskan waktu bersekolah di MI Salafiyah yang terletak di depan sekolah TK saya ini. Jadi, masa kecil saya sangat akrab dengan wilayah Desa Mandirejo sebelah selatan ini. Di MI ini, prestasi saya di kelas tidak terlalu buruk, beberapa kali mulai kelas 1 sampai dengan kelas 6 saya sering mendapat peringkat 2, 3 dan sesekali peringkat 1. Kalau boleh saya sebut beberapa nama, ada yang menjadi saingan berat saya di kelas, yaitu Achmad Nahrowi, Dewi Widayanti, Anik Sholikhah dan yang lainnya. Semuanya menjadi pemacu semangat saya untuk terus berjuang hingga dapat menyaingi mereka, walau berat rasanya, karena saya selalu berada di peringkat yang lebih rendah dari mereka.

“Diniyah Darul Ulum”; Pendidikan Agama Tingkat Dasar
            Darul Ulum” awalnya adalah sebuah musholla panggung kecil yang terbuat dari papan kayu, terletak di Dusun Banggel.  Di sana ada Kyai yang sangat kharismatik dan tradisional, nama beliau adalah K.H. Ahmad Jailani. Banyak santri yang belajar di sana setelah keluar menjadi orang yang alim. Kemudian, pada saat saja kelas II MI, beliau wafat. Pembelajaranpun dilanjutkan oleh putra beliau, K. Ahmad Irhamni, yang juga adalah alumni Pon.Pes Sarang Jawa Tengah, sama dengan ayah handanya. Awalnya saya belajar membaca al-Qur’an di sini ketika masih kelas satu madrasah Ibtidaiyah atas bimbingan K.H. Jailani, akan tetapi tidak diajar langsung oleh beliau, melainkan santrinya yang lebih senior. Akan tetapi, karena tidak kunjung dinaikkan ke surat yang lebih tinggi, maka saya merasa agak kurang nyaman, akhirnya saya pinda ke musholla di sebelahnya. Di sini saya belajar bersama teman-teman atas bimbingan Ustad Mulyanto. Beliau adalah murid K.H. Jailani dan yunior dari K. Ahmad Irhamni selama di pesantren, akan tetapi secara keilmuan, beliau juga tidak kalah. Akhirnya, di sini saya belajar membaca al-Qur’an, tajwid, aqidah, fiqh, dan akhlaq. Kitab-kitab yang dikaji sangat  dasar, karena memang untuk pemula, antara lain safinah al-najah, sullam safinah, sullam taufiq, aqidah al-awwam, ta’lim al-muta’allim dan amtsilah al-tashrifiyyah. Semua kitab tersebut dikaji sampai khatam, mulai saya kelas II MI sampai kelas I SMP, selain untuk pelajaran ta’lim al-muta’allim dan tashrifan, karena Ustad Mulyanto harus menikah dan pindah ke rumah isrinya. Akhirnya, saya pindah kembali ngaji ke Darul Ulum yang pada saat itu sudah banyak kemajuan. Karena seiring dengan kemajuan zaman, musholla yang kecil itu telah berubah menjadi lebih megah dan indah serta terbuat dari tembok batu berlantaikan keramik. Selain itu, statusnya juga telah berubah, yang semula hanya mushola tempat mengaji biasa menjadi sebuah lembaga pendidikan resmi, terdiri dari TPQ dan Diniyah. Akhirnya, mulai separo masa SMP saya sampai dengan masa Aliyah selesai, saya menimba ilmu di sini di bawah asuhan K. Ahmad Irhamni dan para guru yang lainya. Sebetulnya banyak sekali kitab yang dikaji, akan tetapi karena belum adanya struktur kurikulum yang memadai, maka banyak kitab tidak dipelajari secara tuntas. Setiap tahun ajaran berakhir, pelajaran pun berganti, padahal beberapa kitab belum tuntas diajarkan. Akan tetapi, pelajaran yang paling berkesan di sini adalah, fiqih dengan kitabnya al-mabadi’ al-fiqhiyyah juz 1-4 dan sullam al-taufiq. Kemudian pelajaran shorof dengan kiabnya al-amtsilah dan al-maqsud, pelajaran nahwu dengan kitabnya matan al-jurumiyyah, al-‘awamil dan tafrihah al-wildan. Meskipun tidak terlalu banyak, tapi itu cukup membuat saya untuk berani melanjutkan kuliah di perguruan tinggi agama dan bersaing dengan teman-teman dari pesantren lainnya, walaupun sangat jauh dari harapan.

Amanah Datang Menjelang Remaja
Pada Tahun 2001, saya lulus dari MI (Madrasah Ibtida’iyah), artinya sekolah pada jenjang yang lebih tinggi dimulai. Agaknya, pada pendidikan tingkat menengah ini, saya disekolahkan di sekolah umum yang berbeda dengan kultur sekolah sebelumnya. Seperti pada umumnya, 3 Tahun saya menempuh pendidikan menengah mulai Tahun 2001-2004, di SMP (Sekolah Menengah Pertama) Negeri 1 Merakurak yang beralamat di Desa Tuwiri Kulon Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Sepertinya, label sekolah negeri menjadi tujuan orang tua saya. Di sekolah ini, prestasi akademik saya lumayan di Tahun pertama. Hal itu dikarenakan belum ada pembagian kelas pararel sesuai dengan peringkat nilai, jadi saingan saya tidak punya banyak saingan. Selama satu tahun itu saya selalu mendapat peringkat yang pertama. Berbeda di kelas berikutnya sampai lulus, peringkat pertama hanya saya dapatkan di semester pertama pada kelas VIII, selebihnya saya tidak pernah mendapat peringkat dua besar, apalagi pada hasil ujian, saya harus puas dengan peringkat ke 9 pararel. Pengalaman akademik saya tidak terlalu sukses di tingkat SMP ini, akan tetapi ada pengalaman yang tidak ternilai berharganya ketika saya belajar disini, yaitu saya terpilih menjadi ketua OSIS SMPN 1 Merakurak Tahun 2002-2003 membawahi sekitar 300-an siswa. Di sini, saya mendapat pengalaman pertama kali berorganisasi dan menjadi pemimpin, walaupun masih dituntun oleh Pembina. Pembina OSIS saya waktu itu adalah Bapak Witono, M.Pd, sesosok orang yang cerdas dan bersahaja. Beliau menuntun saya yang tidak bisa apa-apa mulai dari memimpin rapat, membuat program kerja, belajar berbicara di depan umum, latihan baris-berbaris, membuat laporan dan lain sebagainya. Selain aktif di OSIS, saya ada aktifitas lainnya juga di Pramuka Gugus Depan SMPN 1 Merakurak dengan menjadi Dewan Kerja Galang (DKG). Kedua aktifitas di luar jam pelajaran tersebut tidak jarang menyita waktu saya belajar di kelas dan di rumah. Karena memang kemampuan intelegensi saya yang rendah, kegiatan itu menjadi berpengaruh pada prestasi belajar saya, semua pelajaran menjadi tidak maksimal. Jujur saja, dengan mentalitas yang masih labil, posisi itu menjadikan beban berat bagi saya antara mendapatkan nilai baik dalam pelajaran dan melaksanakan tanggung jawab selama di OSIS atau Pramuka yang menjadi sorotan banyak guru. Tapi itu semua tidak menjadi masalah, karena sekarang baru saya sadari bahwa itu adalah proses menuju kedewasaan diri dan kematangan berpikir.
Rentang Tahun 2004-2007 adalah masa dimana saya menempuh pendidikan di jenjang menengah atas. Sekedar cerita saja, pilihan untuk sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Tuban (MAN Tuban) adalah sebuah pilihan yang tanpa sengaja. Sekolah di SMP mengkonstruk pikiran saya untuk melanjutkan terus di sekolah umum yang bonafid, begitu juga orang tua saya. Tapi takdir berkata lain, setelah kesana-kemari mendaftar ke SMA-SMA terfaforit, ternyata posisi saya selalu tergeser, akhirnnya tidak ke-terima. Pada masa itulah di MAN Tuban masih membuka pendaftaran siswa baru, di saat yang lain sudah menutup masa penerimaan siswa baru. Berat rasanya ditolak di sekolah-sekolah favorit, tapi harus saya terima karena itu sebagai konsekuensi atas prestasi saya yang kurang memadai. Begitulah, hingga saya diterima di MAN Tuban, sekolah umum plus dengan pendidikan agama Islam yang diberikan. Apabila di kalkulasi, beban pelajaran dan belajar disini lebih berat dibandingkan dengan sekolah umum (SMA), disini pelajaran agamanya terbagi ke dalam beberapa bidang studi, antara lain Fiqih, Aqidah Akhlaq, Sejarah Kebudayaaan Islam, Bahasa Arab dan Keterampilan Agama. Sedangkan di SMA hanya diajarkan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang didalamnya terdapat semua sub mata pelajaran tersebut dan itupun sangat kurang.
Hal yang tidak terlupakan adalah terpilihnya saya menjadi ketua OSIS yang ke-dua kalinya setelah meyelesaikan tugas yang sama pula di SMP. Di MAN Tuban ini, jumlah siswa anggota OSIS lebih banyak, yaitu sekitar 800-an siswa, tentu saja masalah yang saya hadapi lebih kompleks. Berbeda dengan SMP, di sini saya benar-benar merasakan bagaimana mengelola organisasi yang sesungguhnya. Peran pembina dan guru-guru yang lain adalah sebatas komunikasi dan koordinasi, sedangkan mulai dari konsep dan teknis sampai evaluasi kegiatan semuanya dilakukan oleh pengurus OSIS. Selain berproses di OSIS, pramuka menjadi wadah tempat saja berdialektika. Dalam tingkat sekolah menengah atas, organisasi kepramukaannya adalah DKA (Dewan Kerja Ambalan) sebagai pengkaderan lanjutan dari DKG (Dewan Kerja Galang) yang ada di tingkat SMP. Berproses di dua organisasi ini memberikan beribu pengalaman yang sangat berharga, khususnya dalam manajemen sebuah organisasi. Di samping itu, banyak kerja sama yang kami lakukan dengan sekolah-sekolah lain dan beberapa instansi. Semua interaksi itu menjadikan relasi yang luas bagi saya baik di internal MAN Tuban ataupun di luar sekolah. Akan tetapi, sebagaimana sunnatullah, ada baik pasti ada buruknya, ada lebih pasti ada kurangnya, ada positif pasti ada negatif. Begitu pula di sini, di samping hal-hal yang saya sebutkan di atas, ada pula dampak negaifnya, terutama dalam prestasi akademik saya. Keterbatasan IQ bukan menjadi alasannya, karena betapapun rendah dan tinggi kecerdasan kita, itu adalah merupakan anugerah dari Tuhan. Kalau kita menyalahkan IQ kita yang terbatas, itu sama halnya dengan kita tidak mensyukuri anugerah Tuhan. Hal yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita adalah bagaimana mengembangkan anugerah Tuhan ini dengan rajin dan tekun belajar, baik secara teoritik dan praktik yang ditunjang dengan al-akhlaq al-karimah dalam menuntut ilmu. Jadi, kemerosotan prestasi saya di kelas XI IPA 1 dahulu adalah karena tidak seimbangnya kesungguhan belajar saya dengan padatnya aktifitas di organisasi. Pada saat itu saya mendapat peringkat ke-40 pararel dari 42 siswa di kelas, berarti nilai saya adalah nomor tiga terbaik dari bawah, hal ini bagaikan pukulan telak bagi saya yang membuat badan serasa jatuh tersungkur. Akan tetapi, ada sebuah motivasi yang masih terniang di telinga saya, yaitu pesan dari Bu Latifatul Auniyah yang juga wali kelas saya, berpesan pada saya: “Rouf, kamu nanti kelas XII (kelas dua belas) sudah tidak menjabat sebagai ketua OSIS, maka harus lebih rajin belajar”, dengan pandangan yang sayup beliau mengatkan hal itu. Artinya, kemunduran prestasi yang saya alami ini sudah sangat parah dan di luar batas. Pada saat itu, saya masih harus menyelesaikan separuh masa jabatan sebagai ketua OSIS, jadi tantangan saya berikutnya adalah bagaimana meningkatkan prestasi belajar dan meyelesaikan masa jabatan saya dengan husn al-khotimah. Setelah melalui perjuangan yang keras, akhirnya buah manis saya dapatkan, pada semester pertama di kelas XII IPA 1, prestasi saya meningkat hingga mendapatkan peringkat ke-8 dari 42 siswa, prestasi yang lumayan bagus untuk sebuah persaingan di kelas unggulan kala itu. Selain itu pada semester ini pula saya menyelesaikan LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) saya di OSIS dengan akhir yang baik, tanpa adanya hujan interupsi. Karena daftar nilai semester pertama ini juga akhirnya menghantarkan saya masuk kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya memalui jalur PMDK (jalur penerimaan mahasiswa dengan prestasi) tanpa tes. 

Setelah Tamat Aliyah
Kuliah di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya bukanlah sesuatu yang telah terencana dengan rapi, akan tetapi walaupun tanpa perencanaan yang matang, kampus itu menjadi tempat dimana seluruh konsepsi pemikiran dan mental saya terbentuk. Berawal dari sebuah brosur yang ditempelkan di papan pengumuman kelas, saya tertarik untuk membacanya, brosur tersebut besar dan di dalamnya terpampang deskripsi semua fakultas. Sebuah kampus yang dimata anak-anak-yang mengaku modern saat ini-dianggap kuno dan tidak marketable. Ya, hal itu betul sekali, bahkan telinga saya sangat sering mendengar bahwa kata orang-orang, lulusan kampus tersebut hanya bisa mencetak kadernya menjadi Modin (pemimpin ritual keagamaan di masyarakat Desa). Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, itulah namanya. Setelah saya menjalani perkuliahan selama kurang lebih 4 Tahun, akhirnya saya sadari bahwa anggapan mereka itu salah. Berikut ini akan saya ceritakan bagaimana perjalanan perkuliahan saya.

Belajar di Kampus Basis-nya Kaum Tradisional
Pada waktu akhir ujian, saya menyiapkan berkas untuk mendaftar PMDK (pendaftaran dengan jalur prestasi tanpa tes)  di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saya mendaftar bersama teman setia saya, yaitu Ahmad Saifuddin-seorang teman selalu menemani setiap perjalanan saya. Dalam penentuan pilihan jurusan, saya berpedoman pada minat dan bakat akademik, serta hasil tes psikologi yang telah diselenggarakan sekolah. Melalui pertimbangan tersebut, maka saya putuskan untuk memilih jurusan bahasa, hal itu dikarenakan hasil tes psikologi menunjukkan bahwa, bakat terbaik saya adalah di bidang bahasa dan menurut prestasi raport saya, di bidang IPA nilai-nilai saya kurang baik. Hal itu sangat kontras, melihat jurusan yang saya ambil di bangku SMA adalah ilmu pasti (IPA), jadi selama 2 Tahun saya mempelajari dan mendalami ilmu pasti, terutama “matematika”. Kebingungan yang lain muncul, yaitu ketika saya harus memilih bahasa apa yang harus saya utamakan. Akan tetapi, kalau di lingkungan IAIN, jurusan bahasa hanya ada 2, yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris. Untuk bahasa Arab, jurusan yang dibuka adalah PBA (Pendidikan Bahasa Arab) di Fakultas Tarbiyah dan BSA (Bahasa dan Sastra Arab) di Fakultas Adab. Sedangkan untuk bahasa Inggris jurusannya adalah PBI (Pendidikan Bahasa Inggris) di fakultas Tarbiyah, dan untuk jurusan Sastra Inggris belum dibuka saat itu. Pilihan saya langsung tertuju pada pada bahasa Arab, karena mengingat pelajaran di Aliyah tidak terlalu rumit dan ruwet seperti “matematika, fisika dan kimia”. Kemudian pilihan saya jatuhkan pada Fakultas Tarbiyah, karena memang sejak kecil ingin menjadi guru, selain itu saya juga bukan alumni pesantren yang mendapatkan materi bahasa Arab yang lengkap dan sistematis, bisa dikatakan bahasa Arab yang saya ketahui adalah bahasa Arab karbitan. Ya, pikiran saya masuk di PBA akan lebih mudah saya jalani dari pada masuk di jurusan BSA.
Waktu terus berjalan dan satu-demi satu mata kuliah saya lalui. Di sana, saya bertemu dengan banyak teman yang mayoritas adalah lulusan dari pondok pesantren bertahun-tahun lamanya, sekelas Gontor, Tebuireng, Madrosatul Qur’an, Tambakberas, Mamba’us Sholihin, Lirboyo, Sidogiri, Langitan, An-Nuqayah, Al-Amin dan lainnya.  Mulai dari Gus, Neng, Ustad, sampai yang sudah bergelar Kyai Muda. Dengan perjuangan yang sangat keras, semester demi semester saya jalani, dengan segala kesulitan yang saya alami, ternyata saya sadar bahwa basic bahasa Arab yang saya miliki sangatlah jauh dari yang diharapkan. Sebagaimana pada ilmu kebahasaan lainnya, ada empat maharah (keterampilan) yang harus dikuasai, yaitu istima’, kalam, qiro’ah dan kitabah. Dalam jurusan PBA kita dituntut untuk dapat menguasai keempat maharah tersebut dan menguasai metode atau cara untuk mengajarkannya kepada para siswa nantinya. Masalahnya adalah, di kampus kita tidak lagi dianggap sebagai santri yang lugu dan belum mengerti apa-apa, akan tetapi kita sudah dianggap mampu dan mahir dalam bahasa Arab sesuai standar lulusan pesantren. Di pesantren pada umumnya, sudah diajarkan sampai khatam kitab al-Maqsud, al-Jurumiyyah, al-‘Imrithi, Alfiyah, Balaghah, Mantiq dan lain sebagainya, selain itu mereka juga sudah lancar sekali dalam bercakap-cakap dengan bahasa Arab. Hal itu semakin menyiutkan nyali saya untuk bersaing dengan mereka. Semua saya jalani dengan sekuat tenaga dan seakan berlari mengejar ketertinggalan. Akan tetapi saya hanya bisa bersyukur, dalam empat Tahun saya bisa menyelesaikan studi ini, walaupun hampir saja saya tidak bisa lulus tepat pada semester 8. Hal itu dikarenakan saya terlambat menyelesaikan skripsi tepat waktu dan harus membayar biaya registrasi semester 9.
Mulai di bangku kuliah inilah pola pikir saya mulai terkonsepsi dengan baik dan seakan memiliki tujuan hidup yang jelas. Semenjak itu, saya mulai memantapkan diri untuk membaktikan diri saya di bidang pendidikan  dan khususnya pada pendidikan bahasa Arab. Oleh karena itu, saya bertekad untuk terus melanjutkan studi di bidang keilmuan pendidikan dan tentunya juga terus memperdalam ilmu bahasa Arab sedalam dan sejauh apa yang saya bisa sampai nafas ini berhenti berhembus. Kemudian hal lain yang saya dapatkan selain di bangku kuliah adalah mulai bersentuhannya kepala ini dengan pemikiran tokoh-tokoh nasional maupun dunia yang menjadi inspirasi bagi saya dalam mengambil langkah kehidupan ini. Hal ini semuanya tidak saya dapatkan di bangku kuliah, akan tetapi saya dapatkan di diskusi-diskusi ringan dan berbagai seminar di luar bangku kuliah. 

Aktifitas di Luar Jam Kuliah
Saya sangat berterima kasih kepada PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), karena disinilah saya pertama kali merasakan dentuman semangat untuk menggali dan mencari kebenaran yang haqiqi, serta belajar beberapa pemikiran modern Islam yang merupakan ramuan dari ilmu-ilmu keIslaman dengan filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Walaupun proses pengkaderan yang saya alami tidak karuan, tapi saya tetap memelihara idealisme yang mulai terbentuk disana, sampai kapanpun. Saya bergabung di PMII mulai dari semester pertama perkuliahan, segala kegiatan saya ikuti dengan lengkap dan rutin. Sebut saja beberapa teman setia yang menemani saya berproses di sini, khususnya angkatan ‘07 “STRESS”, yaitu Arif ‘Asy’ary, Khorul Hidayah, ‘A’yunul Fauziyah, Muhammad Najib, Kendhi Ardiansyah, A. Rifa’i Hamzah, Arqom Hidayat, ‘A’yun Bongki’, Dias, Atik Zuhriyah, Agung dan lain-lain. Merekalah yang selalu memberikan inspirasi bagi saya untuk selalu berpikir dan tidak berhenti untuk bertanya, walaupun tidak jarang mereka berpikir nakal dan berani. Selain itu, yang paling besar pengaruhnya adalah bimbingan para senior, antara lain Cak Iqbal, Cak Umam, Cak Asep, Cak Junaidi, Cak Masyhuri, Cak Suhadi dan lain sebagainya. Di samping di PMII, saya juga banyak menghabiskan waktu di organisasi P3SDM (Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), menjadi pengurus Ormada (Organisasi Mahasiswa Daerah) Tuban IMARO (Ikatan Mahasiswa Ronggolawe di IAIN) dan FKMRT (Forum Komunikasi Mahasiswa Ronggolawe di Surabaya), dan sibuk menjadi pengurus Pondok Pesantren Mahasiswa “Al-Jihad” Surabaya.  Akan tetapi pada dua tahun terakhir menjelang saya lulus, aktifitas itu hampir saya tinggalkan seluruhnya. Karena memang dengan kemampuan bahasa Arab yang pas-pasan, sulit rasanya menyelesaikan skripsi yang kesemuanya ditulis dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, keputusan ini harus saya ambil agar tujuan awal saya belajar di bangku kuliah tidak kandas di tengah jalan, meskipun berbagai hujatan dan teguran miring saya dapatkan.


0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.