0

Cerita Saya (2)

Posted by Unknown on 07.03 in

Pesantren al-Jihad yang Tradisonal dan Moderat
            Mungkin agak berbeda dengan teman-teman yang getol sekali sebagai aktifis, saya lebih memilih tinggal di pesantren dari pada di kos atau di sekretariat organisasi. Padahal dengan tidak terikat dengan pesantren, itu bisa membuat saya lebih bebas dalam berekspresi dan mengembangkan diri. Memang hal itulah yang menjadi pilihan saya, dengan mengikat diri dengan pesantren, saya lebih bisa mengatur  jadwal aktifitas sehari-hari. Tahun pertama sampai dengan tahun ketiga saya menjadi santri Pon.Pes Mahasiswa “Al-Jihad” Jemursari Surabaya atas bimbingan Drs. K.H. M. Imam Hambali. Saya memilih pesantren ini karena suasananya yang rapi dan bersih, selain itu kegiatan ubudiyah-nya juga terjaga dengan baik.  Ada pelajaran berharga yang saya dapatkan selama berada di sini, yaitu teladan yang diberikan oleh Sang Pengasuh, tentang pentingnya arti istiqomah dalam melakukan ubudiyah, pentingnya sebuah profesionalisme dalam bekerja dan pentingnya disiplin waktu dalam segala aktifitas kehidupan kita. Secara garis besar, ada tiga poin tersebut yang bisa saya simpulkan. Banyak sekali aktifitas yang diwajibkan di pesantren ini, sedikit bisa saya sebutkan adalah diharuskannya mengikuti semua ubudiyah di pondok, mulai dari Sholat Maktubah, Sholat Tahajjud, Yasinan, Amalan Asma’ al-Husna, pengajian “Rahmatan lil ‘Alamin” setiap bulan, Milad Pondok tiap tahunnya dan lain sebagainya. Selain itu, juga ada kegiatan ta’lim harian yang harus kami ikuti, antara lain; intensif bahasa Arab dan Inggris, intensif Al-Qur’an di waktu malam dan ta’lim beberapa kitab kuning di waktu pagi setelah shubuh. Adapun kitab-kitab yang dikaji antara lain; Tafsir al-Ibriz yang diasuh sendiri pengasuh, Nasha’ih al-Ibaad, Minhaj al-‘Abidin, Qurrah al-‘Uyuun, Fiqh al-Manhaji dan Tuhfath al-Thullab. Kalau dilihat dari macam kitabnya dangat banyak, akan tetapi sayangnya semua tidak sampai selesai, karena kurangnya intensitas waktu mengaji dan kurang adanya perencanaan yang matang tentang target yang diharapkan. Kalau bisa dikatakan, satu kitab pun tidak akan khatam sampai setahun ditambah lagi saya pindah dari pondok satu tahun sebelum lulus. Akan tetapi, walaupun begitu, rentang waktu tiga tahun tersebut memberikan pengalaman spiritual yang sangat berharga bagi saya pribadi. Kultur tradisional sangat kental disini, artinya tidak jauh beda dengan di tempat kelahiran saya, disini juga dilaksanakan kegiatan rutinan sholawat, seperti Shalawat Burdah, Maulid Diba’i, Maulid Barzanji, Istighosah, Tahlil dan tidak ketinggalan adalah do’a Qunut di sholat shubuh. Anehnya, kepengurusan yayasan ini dipegang oleh orang-orang yang berbeda kultur dalam beribadah, tetapi semuanya rukun dan tidak pernah ada perdebatan yang berarti. Mungkin hal ini yang menyebabkan jumlah rakaat tarawih di sini cuma delapan rakaat, berbeda dengan masjid-masjid kebanyakan yang memegang teguh dua puluh rakaat. Kebersamaan saya dengan teman-teman di sini harus berakhir, karena saya mengambil keputusan untuk pindah ke tempat lain sebelum lulus kuliah. Di sini pula saya juga sempat menjadi guru TPQ dan guru intensif al-Qur’an kurang lebih selama 4 bulan, selanjutnya karena saya harus pindah asrama, maka aktifitas tersebut juga saya tinggalkan, berat rasanya.

Hijrah ke Ma’had Umar ibn al-Khattab yang Jauh Berbeda
            Tepatnya pada akhir semester 6 atau awal semester 7, saya hijrah dari pesantren al-Jihad menuju ke sebuah pesantren/ma’had yang sangat berbeda corak peribadatannya. Sebetulnya saya sangat enggan untuk pindah ke tempat lain, akan tetapi ada beberapa hal yang membuat saya sangat tertarik untuk pindah ke sana, ke sebuah ma’had yang bernama “Umar ibn al-Khattab” di kompleks Perum. Gunung Anyar Surabaya. Hal tersebut di mulai ketika adanya brosur yang beredar di ponpes al-Jihad, bahwa ada sebuah ma’had yang juga sebuah kampus, membuka program pendidikan gratis. Bidang pendidikan yang ditawarkan adalah D2 Bahasa Arab, S1 Syari’ah dan Tahfidz Qur’an 2 Tahun. Kesemuanya itu gratis tanpa biaya, hanya untuk buku-buku ajarnya saja kita harus  membelinya sendiri. Karena memang di ponpes al-Jihad saya merasa tidak puas, saya tidak bisa mengembangkan keilmuan bahasa Arab dengan baik dan maksimal, maka pilihan D2 Bahasa Arab di sana sangat menarik. Akhirnya setelah masa PPL (Praktek Mengajar) selesai, saya langsung mendaftar disana dan alhamdulillah lulus tes. Selain mendaftar di kampusnya, saya juga masuk pada asrama mahasiswanya, karena biayanya memang sangat murah, yaitu satu semester hanya diwajibkan membayar Rp 150.000,-. Dengan harapan bisa meningkatkan kemampuan muhadatsah saya di sana, maka artinya saya harus pindah ke asrama/maskan Ma’had Umar ibn al-Khattab. Akhirnya, saya menjalani dua perkuliahan sekaligus, di IAIN Sunan Ampel yang tinggal setahun lagi dan di Ma’had “Umar ibn al-Khattab” ini selama dua Tahun. Pertimbangan saya saat itu, saya pasti bisa menjalani dua kewajiban itu sekaligus, karena memang di kampus IAIN tinggal ada dua mata kuliah lagi dan jarak dari IAIN ke Ma’had Umar cukup dekat, hanya sekitar 5 km (butuh waktu sebentar jika ditempuh dengan motor).
Sekilas tentang Ma’had Umar ibn Khattab, institusi ini berada di bawah naungan Yayasan Asia Muslim (Asia Muslim Charity Foundation) yang berada di luar negeri. Selain ma’had ini, ada puluhan ma’had lain di seluruh Indonesia yang berada di bawah naungannya. Kemudian dalam operasionalnya di Indonesia, yayasan tersebut berafiliasi dengan Universitas “Muhammadiyah” di seluruh Indonesia. Semua biaya pendidikan dari fasilitas kampus, gaji dosen dan sebagainya ditanggung oleh yayasan tersebut. Hal yang lain adalah bahwa di ma’had ini, budaya keagamaannya sangat berbeda dengan kampung halaman saya dan ponpes al-Jihad sebelumnya. Sebelumnya masuk ke sini saya sudah menyadari dan menyiapkan mental, bahwa saya akan masuk di lingkungan “Muhammadiyah” yang berbeda madzhab dalam masalah ubudiyah. Akan tetapi ada hal lain yang saya ketahui disini, ternyata sebagian besar mahasiswa dan para dosen justru banyak yang bukan dari Muhammadiyah, mereka cenderung lebih kaku dalam pandangan keagamaan. Sering sekali saya mendapat penjelasan di kelas yang menyudutkan semua amalan yang saya lakukan sejak kecil, di samping itu, topik diskusi para mahasiswa di asrama juga tidak jauh berbeda dan ujung-ujungnya saya pasti tahu apa kesimpulannya. Akan tetapi, semua itu adalah sunnatullah, perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Hal yang harus kita lakukan adalah bersikap toleran, bukan sebaliknya merasa benar sendiri dan menyalahkan orang lain. Saya menghadapi semua itu dengan santai, mengalir dan menganggap hal itu biasa saja, dalam bergaul saya menghindari pembahasan furu’iyyah tersebut.  Adanya hal ini semakin membuat saya bersemangat untuk terus mencari dan mencari hujjah yang paling mendekati kebenaran, karena saya sadar bahwa kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Tapi, dibalik itu semua, belajar disini sungguh sangat menyenangkan dan menenangkan, karena suasana belajarnya sangat kondusif ditambah semangat para santri/mahasiswanya yang luar biasa. 
Enam bulan berjalannya perkuliahan, saya merasakan beban yang luar biasa. Pertama adalah dikarenakan seringnya saya tidak masuk kuliah disini, karena harus masuk di kampus Sunan Ampel yang sering kali jamnya bertabrakan. Karena terlalu seringnya izin, para dosen sudah mengeti kalau saya pasti tidak masuk pada hari-hari tertentu. Kedua, dengan padatnya jam kuliah di ma’had ini, menjadikan saya terlena dan melupakan kewajiban saya menyelesaikan skripsi saya di kampus IAIN Sunan Ampel. Ketiga, dikarenakan saya harus mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) di daerah Bojonegoro –Jawa Timur selama satu bulan, jadi selama satu bulan penuh itu saya tidak masuk kuliah di ma’had. Tentunya saya harus tau diri, seorang mahasiswa/santri yang tinggal di maskan akan sangat tidak etis kalau sering membolos, apalagi di asrama ini semua santri mendapat keringanan biaya, bisa dibayangkan betapa kondisii saya menjadi semakin sulit.
Pada akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti kuliah di ma’had Umar ibn al-Khattab dan menyelesaikan skripsi saya hingga selesai dan lulus. Ternyata berat juga menjalani dua konsentrasi sekaligus, harus ada yang lebih diutamakan dan harus dikorbankan. Akhirnya, kuliah di ma’had ini yang harus saya korbankan. 

Mampir ke Pesantren an-Nur yang agak Liberal
            Pasca kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN), saya disibukkan dengan aktifitas membuat laporan KKN. Membuat laporan KKN itu ternyata lebih sulit dari pada pelaksanaan KKN-nya itu sendiri, karena kita diharuskan mengingat-ingat lagi pelaksanaan KKN yang telah berlalu dan harus mengedit semua setoran laporan dari para anggota KKN yang semuanya terpotong-potong dan sangat sulit untuk dijadikan satu rangkaian utuh, maklum, menjadi kordes (Koordinator      Desa) yang  kelompoknya selalu berkonflik, harus ada pengorbanan. Nah, pada saat itu status saya sudah tidak mempunyai tempat tinggal, karena sudah menyatakan keluar dari Ma’had Umar ibn al-Khattab, tapi waktu menuntut saya untuk secepatnya menyelesaikan laporan itu. Akhirnya, ada tawaran dari seorang teman, Khafid namanya, dia menawarkan tinggal di UKM Musik Fakultas Tarbiyah sampai laporan bisa terselesaikan. Jadi, posisi saya pada saat itu seperti orang hilang yang numpang hidup di kampus. Sampai kurang lebih lima hari berada di kantor UKM Musik, akhirnya saya memutuskan harus mencari tempat tinggal secepatnya, untuk menyelesaikan laporan ini dan mengerjakan skripsi saya nantinya.
            Saya sempat mempunyai rencana untuk kembali ke Pon.Pes al-Jihad, tapi ada rasa segan dengan Bapak Pengasuh, karena sebelumnya sudah benar-benar pamitan boyong dan pindah asrama. Akhirnya, di belakang kampus juga terdapat pesantren mahasiswa lain untuk putra dan putri, di samping itu pengasuh Pondok tersebut juga sangat terkenal keilmuannya di kampus, khususnya dalam Studi Islam-nya. Beliau adalah Dr. K.H. Imam Ghazali Said, MA., dosen Sejarah Peradaban Islam pada Fakultas Adab yang telah menamatkan S1 sampai S2-nya di Mesir dan Sudan – Timur Tengah, karena hal itulah saya memutuskan untuk masuk di pesantren tersebut.  
            Saya tinggal di pesantren ini selama kurang lebih 6 Bulan, sama ketika di pesantren al-Jihad dahulu, menjadi santri dan sekaligus menjadi mahasiswa. Kegiatan di pesantren ini hampir sama seperti pesantren mahasiswa pada umumnya. Sholat maktubah berjamaah, kajian pagi setelah shubuh, dan intensif  bahasa Arab dan bahasa Inggris. Hanya saja di sini, kegiatan mengaji (ta’lim) setelah shubuh sangat ditekankan dan diutamakan. Dari sekian banyak santri, dibagi ke dalam tiga kelas yang semuanya diajar oleh guru yang berbeda dan dengan kitab yang tidak sama. Setiap santri dibebaskan untuk memilih kelas mana yang menjadi minatnya dan harus konsisten dengan pilihannya, karena setiap hari diadakan pengabsenan. Kalau saya pribadi, mengikuti kelasnya Bapak Pengasuh Pondok, dengan kitab yang dikajii antara lain; Muhtashar Ihya’ Ulum al-Din, Riyadh al-Shalihin dan Kitab Iqadh al-Himam fi Syarh al-Hikam. Sebelum saya masuk di pesantren ini, sudah banyak pula kitab-kitab lain yang sudah selesai dikaji. Sedangkan untuk kegiatan intensif bahasa, pembelajarannya dibagi dalam dua bagian. Pada semester ganjil selama 6 bulan, diajarkan secara intensif materi bahasa Arab, kemudian pada semester genap berikutnya selama 6 bulan diajarkan materi bahasa Inggris. Semua itu bertujuan agar materi dapat diserap secara maksimal oleh para santri. Pelaksanaanya hampir sama, santri dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan kemampuan. Di masing-masing kelas tersebut,  materi yang diajarkan disesuaikan dengan kemampuan santri.
            Melihat program pesantren yang begitu banyak dan tertata rapi seharusnya semua berjalan dengan baik pula. Akan tetapi, sebagian besar santri terutama santri putra, enggan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Permasalahannya sama dengan pesantren yang lain, yaitu banyak santri yang menganggap hidup di pesantren sama dengan di kos-kosan. Santri di sini aneh, mereka meninggalkan aktifitas pondok bukan karena sibuk bekerja sampingan atau karena aktif di organisasi, tapi mereka hanya ingin mencari kesenangan pribadi dan ingin bebas.  Akibatnya, Pak Yai Ghozali marah-marah terus setiap hari.
            Di musholla putra yang kecil itulah, saya mempelajari pemikiran dan argumen Bapak Dr. K.H. Imam Ghazali Said, MA. – seorang Kyai yang berwawasan luas dan berani mengeluarkan argumennya walau berbeda dengan kebanyakan orang. Karena jalan pikiran dan argumen beliaulah, banyak Kyai sepuh di kalangan Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) yang berseberangan dengannya. Hal itu mungkin yang menyebabkan beliau tidak masuk dalam jajaran pengurus wilayah NU, hanya duduk di Syuriyah PCNU Surabaya saja. Kalau boleh saya petakan, ada beberapa pelajaran yang bisa saya ambil dari Pak Yai Ghozali. Pertama, beliau mengajarkan arti sebuah objektifitas, dengan objektifitas itu cukup untuk kita jadikan dasar dalam berpijak, khususnya dalam ritual keagamaan. Dalam hal ini beliau mengajarkan kita untuk tidak bertaqlid buta dengan ajaran leluhur, tapi benar-benar selektif melakukan kajian, apakah ajaran itu sejalan dengan pesan agama atau tidak. Kalau boleh saya berpendapat, beliau adalah pembawa arus baru dalam NU, bahwa dalam menghadapi tantangan kaum tekstualis dan literalis kita juga harus melawannya dengan pendekatan yang sama. Satu contoh, dalam sebuah buku karangan beliau yang berjudul “al-Ad’iyyah wa al-Adzkar” atau kumpulan doa dan dzikir, di setiap teks dzikir dan do’a yang tertulis disertai dengan in note (catatan perut) sumber dari hadits dan al-Qur’an. Berbeda dengan buku-buku pada umumnya yang menuliskan banyak teks dzikir dan do’a tapi tidak jelas rujukannya. Dengan demikian, keterangan tersebut secara otomatis dapat menghindari anggapan bid’ah dan bahkan sesat. Kedua, beliau menekankan bahwa kita harus terus berpikir dan mencari jawaban setiap problematika di masyarakat. Nah, dari pemikiran yang mendalam tersebut akan tercipta gagasan yang orsinil dan berasal dari kita sendiri. Kalau kita sudah meyakini bahwa gagasan itu benar, kita harus berani untuk mengungkapkan gagasan itu dengan rasionalisasi yang logis, meskipun itu bertentangan dengan kebanyakan orang. Kalau memang gagasan kita baik, tentu akan banyak yang sepakat, tapi jangan sampai itu membuat kita besar kepala. Sebaliknya, kalau gagasan kita tersebut terbukti kurang sesuai sebagai solusi permasalahan, maka kita harus berbesar hati untuk mengakui bahwa kita salah. Ketiga, beliau berpesan tentang kesuksesan, masih saya ingat kata beliau yang mengambil sebuah hasil penelitian di Amerika Serikat. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa 85 % kesuksesan seseorang itu ditentukan oleh relasi (public relations), sedangkan sisanya 15 % ditentukan oleh kecerdasan dan kekayaan. Jadi, disini dapat ditarik pelajaran bahwa kita harus memperbanyak silaturrahim dalam hidup ini, dengan siapapun. Aktif di organisasi, menjadi aktifis sosial, banyak bergaul, semua itu menjadikan kita dapat memperoleh banyak relasi. Dari banyaknya relasi tersebut akan mempermudah kita, jika kita mengalami kesulitan dalam hal mengembangkan usaha atau yang lainnya. Kita tidak boleh cepat bangga dengan jumlah IPK (Indeks Prestasi Komulatif) yang cumlaude atau puas dengan kekayaan orang tua, karena semua itu tidak akan bisa berkembang tanpa adanya relasi yang luas. Melalui public relation itu, kita dapat terus belajar dari orang lain dan bisa mengembangkan bakat, ilmu maupun kegiatan usaha yang kita miliki.
            Sambil berada di pesantren ini pula, saya menjalani aktifitas sambilan. Saya sempat menjadi guru privat al-Qur’an selama 1 bulan dan menjadi guru TPQ kembali di tempat yang berbeda selama kurang lebih 3 bulan. Walaupun penghasilan yang saya dapatkan tidak ada apa-apanya, tapi banyak pengalaman mengajar yang saya dapatkan di sini. Akan tetapi, aktifitas tersebut saya hentikan semuanya, dikarenakan saya harus menyelesaikan skripsi yang sudah telat deadline, lagi-lagi saya dihadapkan pada dua pilihan, ingin cepat lulus dengan meninggalkan segala aktifitas sampingan atau tetap mempertahankannya, tapi lulusnya belakangan.

Akhirnya Lulus Juga
            Tepatnya pada Bulan Oktober 2011, saya selesai mengerjakan skripsi dan di bulan itu pula saya diwisuda. Setelah melalui perjuangan panjang dan menjemukan, akhirnya saya bisa lulus ujian juga. Saya menyelesaikan skripsi atas bimbingan Bapak Syafi’i, M.Ag. yang juga adalah sekretaris jurusan PBA. Sebelumnya, saya hampir putus asa, karena judul skripsi saya baru diterima setelah dua bulan lamanya, tentunya dengan berpuluh-puluh judul yang telah saya ajukan. Ya, judulnya cukup simple, tapi cakupannya luas sekali, yaitu “Dirasah ‘an Nidham Ta’liim al-Lughoh al-‘Arabiyyah fi Fashl al-Lughoh wa Fashl Ghoir al-Lughoh bi al-Madrasah al-Tsaanawiyyah al-Hukuumiyyah Tuban” (Studi Tentang Sistem Pembelajaran Bahasa Arab Kelas Bahasa dan Kelas Non Bahasa di Madrasah Aliyah Negeri Tuban). Dalam skripsi ini, saya harus menguraikan semua komponen sistem pembelajaran satu persatu. Antara lain; tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, media pembelajaran dan evaluasi pembelajaran pada materi bahasa Arab di kelas jurusan Bahasa, IPA dan IPS. Akan tetapi, saya sangat bersyukur kepada Allah, karena saya dapat melewati ujian skripsi yang sangat menegangkan kala itu dengan dosen penguji Bapak Al-Qudus NES, Lc, M.HI. dan Bapak Dr. Muhammad Baihaqi, MA., dua orang dosen yang telah lama belajar di Timur Tengah.
Tepatnya pada hari Sabtu, tanggal 8 Oktober 2011, wisuda saya akan dilaksanakan. Malam sabtu sebelum saya diwisuda, di halaman Pesantren An-Nur Wonocolo diadakan wisuda terlebih dahulu secara internal pondok. Semua peserta adalah mahasiswa IAIN Sunan Ampel angkatan 2007 dengan jurusan yang bermacam-macam. Acaranya beraneka ragam, mulai acara ceremonial yang terdiri dari pembukaan, pembacaan ayat suci al-Qur’an dan sambutan. Pada acara inti, adalah sambutan dari perwakilan wisudawan/i yang menyampaikan pesan dan kesan selama kuliah dan selama berada di pesantren, kemudian dilanjutkan dengan ceramah dari Bapak Pengasuh, Dr.K.H Imam Ghazali Sa’id, MA., yang akrab disapa dengan “Abi”. Kurang lebih yang disampaikan pengasuh adalah seperti yang saya uraikan sebelumnya. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemberian cindera mata dari para wisudawan kepada pengasuh, berupa buku-buku bacaan penunjang perkuliahan. Buku tesebut dapat dijadikan koleksi perpustakaan An-Nur dan bisa bermanfaat bagi semua santri. Acara ditutup dengan do’a dari pengasuh dan diakhiri dengan hiburan drama dari beberapa teman. Dengan sekian banyaknya acara, tidak terasa semuanya baru selesai pada pukul 23.00 WIB malam, kemudian sebelum tidur, saya mempersiapkan semua peralatan untuk wisuda keesokan harinya, mulai dari sepatu, dasi, dan pakaian toga wisuda.
            Pagi harinya, Sabtu 8 Oktober 2011, wisuda sarjana ke 66 dilaksanakan. Saat itu lapangan olahraga IAIN Sunan Ampel penuh dengan mahasiswa yang berpakaian toga mulai dari program doktor, magister dan sarjana, jumlah seluruh wisudawan/i adalah 1.233 orang. Acaranya seperti biasa, mulai dari pembukaan, pembacaan ayat suci al-Qur’an dan sambutan Pgs. Rektor, saat itu disampaikan oleh Prof. Dr. H. Abd. A’la. MA, pembantu rektor bidang akademik dan pengembangan SDM, hal itu dikarenakan Pak Rektor-Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si-sedang ada tugas dinas di Jakarta. Kemudian acara dilanjutkan dengan prosesi wisuda yang memakan waktu sangat lama, dimulai dari program doktor (S3) dengan jumlah 13 orang, kemudian magister (S2) sejumlah 217 orang dan terakhir program sarjana (S1) sejumlah 1.003 orang. Acara selanjutnya adalah orasi dari wisudawati terbaik program doktor yang mengkritisi tentang salah kaprahnya praktek pendidikan di Indonesia. Pada acara terakhir, adalah pengucapan janji wisudawan secara bersama-sama hingga acarapun selesai. Maksud hati ingin tinggal sekitar 2 mingguan lagi di Surabaya, akan tetapi orang tua memerintahkan untuk langsung pulang ke Tuban bersama dengan rombongan setelah bersama berpamitan dengan pengasuh Pesantren An-Nur. Kurang lebih pukul 16.00 WIB sore saat itu, kami (Bapak, Ibu, paman dan saudara) berangkat dari Surabaya ke Tuban dan sampai di rumah, sekitar pukul 21.00 WIB malam, karena ban mobil sempat meletus di Gresik. 

Paradoks Gelar Sarjana
            Gelar sarjana adalah sebagai akhir dari sebuah formalitas pencarian ilmu yang terlembagakan dalam sebuah institusi perguruan tinggi. Tergantung orangnya, apakah dia sudah puas dengan gelar sarjana-apapun disiplin ilmunya-dan berbangga diri karena menjadi superior di tempat kelahirannya, ataukah dia hanya menganggap itu adalah formalitas yang tidak ada artinya, melainkan hanya sebuah pemantik semangat untuk terus memperdalam disiplin ilmunya dan mencari hakikat kebenaran dengan segala upaya serta ini menjadi momentum awal perjuangan yang sesungguhnya. Semuanya lagi-lagi kembali kepada akal dan hati nurani sang penyandang gelar tersebut, karena pada hakikatnya dapat lulus dari sebuah institusi pendidikan adalah hal sangat mudah, semua bisa di dapat, bahkan oleh orang yang hanya berniat mencari gelar sarjana belaka, tanpa berpikir panjang ilmu apa dan kualitas apa yang di dapat dari proses belajar di perguruan tinggi serta kontribusi apa yang nantinya akan diberikan kepada msyarakat.
            Realitas yang penulis alami sendiri, adalah banyak diantara teman-teman penulis yang belajar di perguruan tinggi hanya sebatas bertujuan untuk memperoleh lapangan pekerjaan. Kemudian dengan pekerjaan itu ia gunakan untuk memperkaya diri. Setelah itu, mereka puas dengan apa yang dicapai, kemudian menganggap bahwa itu adalah sebuah capaian kesuksesan. Akibatnya, dalam perkuliahan terjadi kecurangan di mana-mana, semua cara dilakukan untuk memperoleh nilai A+ atau pujian dosen. Bahkan, skripsi pun bisa dipesankan, asalkan ada uang, semua bisa jadi sesuai pesanan, kemudian pada akhirnya dia dapat lulus. Ini adalah fenomena di sebuah perguruan tinggi negeri. Akhirnya, banyak praktisi dengan gelar sarjana, tapi tidak memenuhi kualifikasi skill yang memadai di bidangnya masing-masing.
            Menurut hemat saya, sebagai agent of change dan agent of social control, kaum intelektual yang memiliki kesempatan menempuh pendidian tinggi harus terus memupuk idealisme yang dalam dan konsisten membawanya hingga akhir hayat. Banyak oknum dari kaum intelektual yang bergelar magister, doktor, bahkan profesor, akan tetapi tidak jarang mereka melakukan tindakan yang kurang pantas untuk mencapai segala apa yang diinginkan. Sebut saja semakin menggunungnya kasus korupsi di tanah air, perbuatan tersebut bukan dilakukan oleh orang yang bodoh, melainkan oleh kaum intelektual lulusan perguruan tinggi. Bahkan yang disayangkan, penyakit tersebut juga menjangkit kepada para mantan aktivis yang semasa mudanya sangat konsisten menentang penindasan terhadap para mustad’afiin yang khususnya dilakukan oleh para pejabat negara. Mereka lupa dengan apa yang mereka perjuangkan.
Ini adalah tantangan kita bersama, bagaimana sebisa mungkin menjadi sarjana yang berkualitas sesuai dengan bidang keilmuannya dan menghiasi diri dengan al-akhlaq al-karimah dalam mengimplementasikan ilmu di masyarakat. Semoga segala ikhtiyar saya pribadi dan kita semua selalu disertai dengan pertolongan Allah Swt., agar kita selalu ingat bahwa segala perjuangan apapun yang kita lakukan adalah untuk Allah Swt.
            Sikap yang harus kita pertahankan adalah terus belajar tiada henti, sehingga keilmuan kita pasca pesantren maupun perkuliahan dapat terus berkembang. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah sikap rendah hati yang harus selalu kita pupuk di dalam hati sanubari kita. Karena dalam sebuah sya’ir dijelaskan: “Ilmu adalah ibarat air hujan yang tutun ke bumi manjadi banjir, dia tidak akan mengalir ke tempat yang tinggi, melainkan akan terus mencari tempat yang lebih rendah. Begitu pula ilmu, dia tidak akan pernah memenuhi akal dan hati seseorang yang ada rasa sombong di dalamnya, melainkan akan memenuhi seseorang yang memiliki sifat tawadhu’ dan rendah hati”. Jadi, dapat dimengerti bahwa indikator orang yang ‘alim adalah adanya sifat rendah hati yang tertanam dalam sanubari dan tercermin dalam perilaku sehari-harinya.



0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.