0

RASIONALISME; SEBUAH ALIRAN EPISTEMOLOGI FILSAFAT

Posted by Unknown on 23.34 in


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Penulisan
Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran  yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat  statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunia.
Untuk itulah setiap manusia harus dapat berfikir filosofis dalam menghadapi segala realitas kehidupan ini yang menjadkan filsafat harus dipelajari. Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia, karena ia dapat menjadikan manusia untuk bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi (actus humanus), bukan asal bertindak sabagaimana yang biasa dilakukan manusia (actus homoni). Kebijaksanaan tidaklah dapat dicapai dengan jalan biasa, ia memerlukan langkah-langkah tertenu, khusus, istimewa. Beberapa langkah menuju kea rah kebijaksanaan itu antara lain: 1) membiasakan diri untuk bersikap kritis terhadap kepercayaan dan sikap yang selama ini sangat kita junjung tinggi, 2) Berusaha untuk memadukan (sintesis) hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusian, sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam semesta beserta isinya, 3) mempelajari dan mencermati jalan pemikiran para filsuf dan meletakkannya sebagai pisau analisis untuk memecahkan masalah kehidupan yang berkembang dalam kehidupan konkrit, sejauh pemikiran itu memang relevan dengan situasi yang kita hadapi, 4) menelusuri hikmah yang terkandung dalam ajaran agama, sebab agama merupakan sumber kebijaksanaan hidup manusia.[1]
Pengetahuan dalam filsafat dibahas dalam epistemologi. Dari epistemologi, lahirlah dua madzhab besar sumber pengetahuan yang sangat terkenal, yaitu rasionalisme dan empirisme. Dalam tulisan ini, secara panjang akan diuraikan madzhab yang pertama, yakni rasionalisme. Latar belakang munculnya rasionalisme adalah adanya keinginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (scholastic), yang pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu mengenai hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Pada tokoh aliran Rasionalisme diantaranya adalah Descartes (1596- 1650 M). Tema yang kerap kali muncul dalam filsafat adalah hubungan antara pikiran kita dan dunia. Yakni para filosof yang pandangannya saling berbeda, Descartes dan John Locke, telah setuju bahwa alam pikiran kitalah yang membedakan manusia dari binatang, dan sebagian besar filsafat berkaisar pada persoalan yang muncul didalam fikiran yang demikian itu ketika mereka memikirkan bagaimana wilayah pemikiran itu berkerja
Aliran filsafat yang berasal dari Descartes ini di sebut dengan rasionalisme, karena aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memerhatikan  2 masalah utama yang keduanya di warisi dari Descartes. Pertama, masalah substansi dan kedua masalah hubungan antara jiwa dan tubuh.[2]
Rasonalisme kebanyakan dihubungkan secara erat dengan filsuf abad ke-18 dan ke-19, seperti Descartes, Leibniz, dan Spinoza. Bagaimanapun juga, karakteristik yang pasti dari rasionalisme bisa dideteksi dalam banyak pemikir sebelum dan sesudah mereka. Rasionalisme percaya bahwa cara untuk mencapai pengetahuan adalah menyandarkan diri pada sumber daya logika dan intelektual. Penalaran demikian tidak berdasarkan pada data pengalaman, tetapi diolah dari kebenaran dasar yang tidak menuntut untuk menjadi dan mendasarkan diri pada pengalaman.
Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya oengetahuan yang diperoleh lewat akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan akal, dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti.[3]
Ada anggapan bahwa kaum rasionalis adalah sebagai “filosof yang mengawang-awang” tidak seluruhnya salah, karena pendekatan mereka kepada filsafat menyarankan bahwa seluruh kebenaran penting tentang realitas bisa ditemukan hanya dengan berpikir, tanpa kebutuhan untuk berangkat dan menguji dunia. Rasionalisme bisa memunculkan sedikit bintik pada pikiran modern, yang digunakan untuk ide bahwa  pengatahuan yang menekankan diri pada percobaan dan pengamatan, adalah penting untuk mengetahui selanjutnya.[4]
Oleh karena itu, dalam tulisan ini sangat penting kiranya untuk diulas secara mandalam tentang bagaimana corak pemikiran rasionalisme sebagai bagian aliran dari epistemologi filsafat, bagaimana cara kerjanya, metodenya, siapa saja tokohnya dan apa saja pemikiran yang dihasilkan.
B.    Rumusan Masalah
1.       Apakah yang dimaksud Epistemologi dalam Filsafat?
2.       Apakah Pengertian Rasionalisme sebagai Aliran Epistemologi?
3.       Bagaimana Pemikiran para Tokoh Rasionalisme?
C.     Tujuan Penulisan
1.       Untuk Mengetahui Konsep Epistemologi dalam Filsafat.
2.       Untuk Mengetahui Pengertian Rasionalisme sebagai Aliran Epistemologi.
3.       Untuk mengetahui Pemikiran Tokoh-Tokoh Rasionalisme

PEMBAHASAN
A.    Epistemologi dalam Filsafat
a)   Pengertian Epistemologi
Sebelum menyelam lebih jauh pada aliran rasionalisme, terlebih dahulu yang harus dipahami adalah “Epistemologi” dalam filsafat, karena darinyalah dilahirkan aliran rasionalisme. Epistemologi berasal dari kata Yunani, yaitu epistememe = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu.[5] Epistemologi bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya.[6]
Jadi, epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara memperolehnya. Dengan bahasa yang lain, menurut Mohammad Adib, Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata cara, teknik atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.[7] Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa epistemologi membahas tentang bagaimana suatu pengetahuan atau keilmuan dapat diperoleh manusia.
Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.[8]
b)   Cara Kerja Epistemologi
Cara kerja atau metode pendekatan dalam  epistemologi menggambarkan bagaimana ciri khas pendekatan filosofis terhadap gejala pengetahuan. Ciri khas cara pendekatan filsafat terhadap objek kajiannya tampak dari jenis pertanyaan yang diajukan dan upaya jawaban yang diberikan. Filsafat berusaha secara kritis mencoba mengajukan pertanyaan dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum, menyeluruh dan mandasar. Filsafat bermaksud secara kritis menggugat serta mengusik pandangan dan pendapat umum yang sudah mapan. Semua itu guna merangsang orang lain untuk berpikir lebih serius dan bertanggung jawab. Tidak asal saja menerima pandangan dan pendapat umum.[9] Misalnya, apabila pengetahuan manusia secara umum disamakan dengan ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan diidentikkan dengan sains, maka lingkup pengetahuan manusia akan semakin dipersempit. Penyempitan paham pengetahuan seperti ini, sebagaimana terjadi dalam paham saintisme, jelas akan memasung kekayaan budaya manusia dan harus ditanggapi seara ktitis. Dalam hal pengetahuan, ada beberapa pertanyaan filosofis mendasar yang diajukan, seperti; Apa itu pengetahuan? Apa ciri-ciri hakikinya dan mana batas-batas ruang lingkupnya? Apa beda antara pengetahuan dan kepercayaan? dan masih banyak lagi yang lainnya.
c)    Macam-Macam Epistemologi
Berbicara tentang bagaimana macam-macam epistemologi, berarti berbincang tentang bagaimana macam-macam cara atau metode memperoleh pengetahuan, ilmu pengetahuan, ilmu atau keilmuan. Menurut Keith Lehrer, ada tiga macam metode dalam memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu: a) dogmatic epistemology, b) critical epistemology dan c) scientific epistemology.[10]
Pertama, dogmatic epistemology adalah pendekatan tradisional terhadap epistemologi. Dalam prespektif epistemology dogmatik, metafisika (ontologi) diasumsikan ada terlebih dahulu, baru kemudian ditambahkan epistemologi. Tokoh pendekatan/metode ini adalah Plato. Setelah realitas dasar diasumsikan ada, baru kemudian ditambahkan epistemologi untuk menjelaskan bagaimana kita mengetahui realitas tersebut. Pertanyaan utama epistemologi ini adalah: Apa yang kita ketahui? Lalu bagaimana cara kita mengetahuinya?, secara singkat epistemologi dogmatik menetapkan ontologi sebelum epistemology.
Kedua, critical epistemology. Ini dikenalkan oleh Rene Descartes, yaitu dia membalik epistemology dogmatik dengan menanyakan apa yang dapa kita ketahui sebelum menjelaskannya. Pertanyakan dulu secara kritis baru kemudian diyakini. Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau sudah terbukti ada, baru dijelaskan. Berpikir terlebih dahulu, baru diyakini atau tidak, meragukan dahulu baru diyakini atau tidak. Metode Descartes disebut juga metode skeptis. Yakni, skeptis (ragu) bahwa kita dapat mengetahui secara langsung objek di luar diri kita tanpa melalui jiwa kita. Pertanyaan utama epistemologi jenis ini: Apa yang dapat kita ketahui? Dapatkah kita mengetahuinya? Mungkinkah kita dapat mengetahui sesuatu di luar diri kita?. Dengan kata lain, epistemologi kritis menetapkan ontologi setelah epistemologi.
Ketiga, scientific epistemology. Pertanyaan utama epistemologi ini adalah apa yang benar-benar sudah kita ketahui dan bagaimana cara kita mengetahuinya?. Epistemologi ini tidak peduli apakah batu di depan mata kita adalah penampakan atau bukan, yang menjadi urusannya adalah bahwa ada batu di depan mata kita dan kita teliti secara sainstifik.
d)   Aliran-Aliran Epistemologi
Dalam memperoleh pengetahuan, ada beberapa cara yang masing-masing terdapat perbedaan yang fundamental. Kemudian cara pemerolehan pengetahuan tersebut berkembang menjadi madzhab atau aliran dalam epistemologi. Dalam filsafat Barat, ada beberapa aliran yang berkembang, antara lain; empirisme, rasionalisme, positivisme dan intuisionisme.[11] Pertama, aliran Empirisme memandang bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman panca inderanya. Manusia tahu es itu dingin karena dia menyentuhnya, gula terasa manis karena ia mencicipinya. Tokoh aliran ini adalah John Locke (1632-1704). Kedua, adalah aliran Rasionalisme. Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kemampuan akal menangkap objek. Tokoh yang sering dibicarakan pada aliran ini adalah Rene Descartes (1596-1650). Ketiga,aliran Positivisme. Sejalan dengan empirisme, aliran ini menganut paham empirisme, akan tetapi ada penambahan di dalamnya, bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengatahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Tokoh aliran ini adalah Auguste Comte (1798-1857). Keempat, adalah aliran Intuisionisme. Menurut aliran ini, tidak hanya indera saja yang terbatas, akal juga terbatas, objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah, jadi pengetahuan tentangnya tidak pernah tetap. Akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu. Dalam hal seperti itu, manusia tidak mengetahui keseluruhan, juga tidak mampu memahami sifat-sifat yang tetap pada objek. Tokohnya adalah Henri Bergson (1859-1941).
Dalam makalah ini akan dibahas sebaca spesifik aliran rasionalisme dalam epistemologi dengan para tokoh pengusungnya.

B.    Rasionalisme Sebagai Aliran dalam Epistemologi
a)   Pengertian Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan dan menetes pengetahuan.[12] Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu adalah kaidah-kaidah logis atau aturan-aturan logika.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia kepada kebenaran, adalah semata-mata dengan akal. Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas dan kacau. Bahan ini kemudian dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir. Akal mengatur bahan itu sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Akal dapat bekerja dengan bantuan indera, tetapi akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi, akal dapat menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.[13]
b)   Sejarah Rasionalisme
Sejarah rasionalisme sudah tua sekali, pada zaman Thales (624-546 SM) telah menerapkan rasionalisme pada filsafatnya. Pada filsafat modern, tokoh pertama rasionalisme adalah Descarts, (1596-1650), kemudian dilanjutkan oleh beberapa tokoh lain, yaitu Baruch De Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716) dan Blaise Pascal (1632-1662). Setelah periode ini, rasionalisme dikembangkan secara sempurna oleh Hegel yang kemudian terkenal sebagai tokoh rasionalisme dalam sejarah.
            Rasionalisme lahir adalah sebagai reaksi terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan Kristen di Barat. Munculnya rasionalisme ini menandai perubahan dalam sejarah filsafat, karena aliran yang dibawa Descartes ini adalah cikal bakal Zaman Modern dalam sejarah perkembangan filsafat. Kata “modern” disini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada Abad Pertengahan Kristen. Corak berbeda yang dimaksud disini adalah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani Kuno. Gagasan itu disertai argumen yang kuat oleh Descartes. Oleh karena itu, pemikiran Descartes sering juga disebut bercorak renaissance, yaitu kebangkitan rasionalisme seperti pada masa Yunani terulang kembali. Pengaruh keimanan Kristen yang begitu kuat pada Abad Pertengahan, telah membuat para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan tokoh Gereja. Descartes telah lama merasa tidak puas dengan perkembangan filsafat yang sangat lamban dan memakan banyak korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen. Ia ingin filsafat dikembalikan pada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.[14]
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (rasio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia.[15]
c)    Metode dalam Rasionalisme
Agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, kita memerlukan metode yang baik, demikian pendapat Descartes (tokoh utama rasionalisme). Hal ini mengingat bahwa terjadinya kesimpangsiuran dan ketidak pastian dalam pemikiran filsafat disebabkan oleh karena tidak adanya suatu metode yang mapan, sebagai pangkal tolak yang sama bagi berdirinya suatu filsafat yang kokoh dan pasti. Ia sudah menemukan metode yang dicarinya, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya, atau keragu-raguan.[16] Kemudian, ia menjelaskan, untuk mendapatkan hasil yang sahih dari metode yang hendak dicanangkannya, ia menjelaskan perlunya 4 hal, yaitu:[17]
1.  Tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
2.  Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
3.  Bimbangkanlah pikiran dengan teratur, dangan mulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampaipada yang paling sulit dan kompleks.
4.  Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita yakin tidak ada satu pun yang diabaikan dalam penjelajahan itu. 

C.     Pemikiran Tokoh – Tokoh Rasionalisme
a) Rene Descartes (1596-1650)
Kelahiran dan Pendidikan
Descartes di samping tokoh rasionalisme juga dianggap sebagai bapak filsafat, terutama karena dia dalam filsafat-filsafat sungguh-sungguh diusahakan adanya metode serta penyelidikan yang mendalam.Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran.
Ia yang mendirikan aliran Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercayai adalah akal. Ia tidak puas dengan filsafat scholastik karena dilihatnya sebagai saling bertentangan dan tidak ada kepastian. Adapun sebabnya karena tidak ada metode berpikir yang pasti. Descartes merasa benar-benar ketegangan dan ketidak pastian merajalera ketika itu dalam kalangan filsafat. Scholastic tak dapat memberi keterangan yang memuaskan kepada ilmu dan filsafat baru yang dimajukan ketika itu kerapkali bertentangan satu sama lain. Rene Descartes adalah tokoh filsafat abad modern, bahkan dialah pendiri dan pelopor utamanya.
Rene Descartes (Renatus cartesius) adalah putra keempat Joachim Descartes, seorang anggota parlemen kota britari, propinsi renatus di prancis. Kakeknya, piere Descartes, adalah seorang dokter. Neneknya juga berlatar belakang kedokteran, dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye (sekarang disebut La Haye Descartes), propinsi Teuraine. Descartes kecil yang mendapat nama baptis Rene, tumbuh sebagai anak yang menampakan bakatnya dalam bidang filsafat, sehingga ayahnya pun memanggilnya dengan julukan Si Filsuf Cilik. Pendidikan pertamanya diperoleh dari sekolah Yesuit di La Fleche dari tahun 1604-1612. Disinilah ia memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Prancis, music dan acting, logika aristoteles dan Etika Nichomacus, fisika, matematika, astronomi dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas.[18]
Metode Kesangsian dan “Cogito Ergo Sum”
Untuk memperoleh titik kebenaran pengetahuan, Descartes mulai dengan esebuah kesangsian atas segala sesuatu. Menurut Dascartes, sekurang-kurangnya “aku yang menyangsikan” bukanlah hasil tipuan. Semakin kita dapat menyangsikan segala sesuatu, entah kita sungguh ditipu atau ternyata tidak, termasuk menyangsikan bahwa kita tidak dapat menyangsikan, kita semakin mengada (exist). Justru kesangsianlah yang membuktikan kepada diri kita bahwa kita ini nyata. Selama kita ini sangsi, kita akan merasa semakin pasti bahwa kita nyata-nyata ada. Jadi, meski dalam tipuan yang lihai, kepastian bahwa “aku yang menyangsikan” itu ada tidak bisa dibantah. Menyangsikan adalah berpikir, maka kepastian akan eksistensiku dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian mengatakan Je pense donce je suis atau cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).[19]
b)     Baruch De Spinoza (1632-1677)
Kelahiran
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677 M. Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari agama Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia hidup di pinggiran kota Amsterdam.[20] Spinoza mengikuti pemikiran Rene Descartes. Spinoza mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran tentang sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga sebelumnya dilakukan oleh Rene Descartes, yakni pendekatan deduksi matematis, yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi, kemudian barulah membuat pembuktian berdasarkan definisi, aksioma, proposisi itu.
De Spinoza memiliki cara berfikir yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah tubuh, yang eksistensinya berbarengan.
Tentang Pengetahuan
            Menurut Spinoza, ada tiga taraf pengetahuan, yaitu berturut-turut: taraf persepsi indrawi atau imajinasi, taraf refleksi yang mengarah pada prinsip-prinsip dan taraf intuisi. Hanya taraf kedua dan ketigalah yang dianggap pengetahuan sejati. Dengan ini, Spinoza menunjukkan pendiriannya sebagai seorang rasionalis. Pendiriannya dapat dijelaskan demikian, menurutnya sebuah idea berhubungan dengan ideatum atau obyek dan kesesuaian antara idea dan ideatum inilah yang disebut dengan kebenaran. Dia membedakan idea ke dalam dua macam, yaitu idea yang memiliki kebenaran intrinsik dan idea yang memiliki kebenaran ekstrinsik. Idea yang benar secara intrinsik menurutnya memiliki sifat “memadai”, sedangkan idea yang benar secara ekstrinsik disebutnya “kurang memadai”.[21] Misalnya, anggapan bahwa matahari adalah bola raksasa yang panas sekali pada pusat tata surya lebih “memadai” dari pada anggapan bahwa matahari adalah bola merah kecil. Memadai atau tidaknya suatu idea, tergantung dari modifikasi badan yang mengamatinya, dan modifikasi ini menyertai pula modifikasi mental. Jadi, karena kita mengamatinya dari  jauh, maka matahari tampak kecil. Teori pengetahuannya pada akhirnya menyarankan bahwa setiap idea adalah cermin proses-proses fisik dan sebaliknya setiap proses fisik adalah perwujudan idea.
c)    Leibniz (1.646-1716 M)
Kelahiran
Leibniz lahir di Jerman, nama kengkapnya Gottfried Wilhem von Leibniz. Sama halnya Spinoza, Leibniz termasuk pengagum sekaligus pengkritik Descartes. Baginya, ia khawatir tentang kehidupan dan bagaimana menjalani hidup. Tetapi berbeda dengan Spinoza yang kesepian, ia justru termasuk orang yang kaya raya dan dipuja. Leibniz juga dikenal sebagai penemu kalkulus bersama Newton. Ia adalah ilmuan, pengacara, sejarawan, akademisi, ahli logika, ahli bahasa, dan teolog. Bagi Leibniz, filsafat adalahhobi yang berkesinambungan dan ia terlibat dalam diskusi filosofis dan melakukan korespondensi sepanjang hidupnya bersama para filsuf di zamnnya. Sayangnya, karyanya tidak bisa dinikmati banyak orang, karena setelah ia meninggal, karyanya tidak diterbitkan.[22]  
Pemikiran
Pemikiran Leibniz yang terkenal adalah “monadologi”-nya, dia berpendapat bahwa banyak sekali subtansi yang terdapat di dunia ini, yang disebutnya “monad” (monos: satu, monad: satu unit). Secaraa singkat, sistem Leibniz dijelaskan dalam lima tesisnya, yaitu:[23]
1.     Alam semesta itu sepenuhnya rasional
2.     Setiap bagian elementer alam semesta berdiri sendiri
3.     Ada harmoni yang dikehendaki Allah di antara segala hal di alam semesta ini
4.     Dunia ini secara kuantitatif dan kualitatif tidak terbatas
5.     Alam dapat dijelaskan secara mekanistis sepenuhnya.
Monad ini semacam cermin yang membayangkan kesempurnaan yang satu itu dengan caranya sendiri. Tiap-tiap pencerminan yang terbatas ini mengandung kemungkinan tidak terbatas karena dalam seluruhnya dapat diperkaya dan dipergandakan oleh sesuatu dari sesuatu yang mendahuluinya. Dalam rentetan ini ada tujuan yang terakhir, yaitu menuju yang tak terbatas sesungguhnya. Tuhan itu transendent, artinya Tuhan di luar makhluk, Tuhan merupakan dasar dari segala rentetan yag ada.[24]

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Rasionalisme memiliki peran besar dalam perkembangan filsafat modern. Dimana pada Zaman Pertengahan, rasio tidak dapat dimaksimalkan karena hegemoni Gereja, bahkan banyak filosof yang mencoba mengeluarkan ide melalui rasionya dihukum mati. Munculnya Descartes dengan rasionalisme-nya dan disertai dengan ketekunannya mendalami ini, menjadi pendobrak kebekuan Gereja dan menjadi pelopor munculnya pemikir lain yang beraliran rasionalisme.
Pengetahuan menurut madzhab rasionalisme tidak secara serta merta menafikan peran indera, tetapi mendudukkan indera di bawah akal. Karena banyak kebenaran hakiki yang tidak dapat dicapai hanya dengan penginderaan. Tetapi di sini, indera menjadi alat penerima informasi yang nantinya itu akan diproses lebih jauh oleh rasio/akal untuk mencapai sebuah kebenaran.
Berpikir rasional adalah cara berpikir dengan menyangsikan atau tidak mempercayai kebenaran suatu realitas selama tidak ada dalil logika yang tak terbantahkan dalam akal kita. 

B.    Rekomendasi
1.       Dalam berpikir, hendaknya kita selalu memaksimalkan kerja akal dalam aktifitas berpikir, karena akal adalah merupakan anugerah Tuhan.
2.       Hendaknya kita tidak terlalu menganggap suatu realitas itu benar, sebelum melalui proses pemikiran/tafakkur yang mendalam agar tidak terjebak dalam kesesatan.
3.       Dalam melakukan penelitian ilmiah, seyogyanya tidak beranggapan pada satu aliran saja yang paling benar, karena ada kalanya kebenaran bersumber dari aliran lainnya.



[1] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 1, hal. 1-2.
[2]http://lingkarpenadamayana.wordpress.com/category/filsafat/, diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013, Pukul 13.15 WIB.
[3] Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja grafindo Persada, 2007), hal. 115.
[4] Ibid
[5] Lihat di Bdk. A.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987, hal. 3-5 dalam Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: 2002, hal. 18.
[6] Ibid, hal. 18.
[7] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2011, hal. 74.
[8] Tedy Machmud, Rasionalisme dan Empirisme; Kontribusi dan Dampaknya pada Perkembangan Filsafat Matematika, dalam jurnal INOVASI, Volume 8, nomor 1, Maret 2011, Fakultas MIPA Universitas Negeri  Gorontalo.
[9] Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan………, hal. 20.
[10]Mohammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan………..hal. 76-78.
[11] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, hal. 23-27.
[12]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra……………..hal.127
[13] Ibid, hal. 25.
[14] Ibid, hal. 128-129.
[15]http://mdsutriani.wordpress.com/2012/06/23/aliran-filsafat-rasionalisme/, diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013, Pukul 13.15 WIB.
[16] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. 2, hal. 95.
[17] Ibid, hal. 95-96.
[18] http://lingkarpenadamayana.wordpress.com/category/filsafat/.....op.cit.

[19] F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 33-34.
[20]http://mujib-ennal.blogspot.com/2012/10/aliran-rasionalisme-dan-empirisme.html, diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013, Pukul 13.15 WIB.



[21]F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern……………hal. 43.

[22] Ali Maksum, Pengantar Filsafat; Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2008), Cet. 1, hal. 131-132.
[23] F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern…..hal. 48-49.
[24] Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. 10, hal. 103.

0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.