1

Pendidikan yang Memiskinkan; Membaca Kembali Kritik Pendidikan “menohok” ala Darmaningtyas

Posted by Unknown on 21.47 in
Ketika mendengar nama Darmaningtyas, telinga kita tentu sudah tak asing lagi. Beliau adalah orang yang bisa dikatakan nomor wahid yang secara lantang dan berani melontarkan kritikan-kritikan tajam terhadap aktualisasi pendidikan di negeri ini, dan beberapa kritikannya yang lain adalah mengenai transportasi di Indonesia. Dalam tulisan singkat ini akan secara spesifik saya uraikan pandangan-pandangan Darmaningtyas yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan yang Memiskinkan”, terbitan Galang Press Yogyakarta. Buku ini bukan buku yang secara kronologis membahas satu tema atau masalah secara spesifik dan metodologis semacam buku hasil riset tesis atau disertasi, melainkan adalah buku hasil kumpulan artikel-artikelnya yang berserakan di berbagai media massa. Akan tetapi kita tak perlu bingung memahami dan membacanya, karena secara garis besar, editor telah menyusunnya secara sistematis sesuai dengan tema-tema khusus yang mudah dapat kita cermati. Secara garis besar, kumpulan artikel dalam buku ini berisi kritik-kritik mengenai praktek pendidikan di tanah air selama pemerintahan Orde Baru (baca: pemerintahan Presiden Soeharto) yang meliputi segala lini masalah pendidikan, mulai dari makna pendidikan, kebijakan menteri pendidikan, kurikulum, profesi guru, buku ajar pendidikan, wajib belajar, sekolah unggulan, komersialisasi pendidikan, dan permasalahan di perguruan tinggi. Semua tersaji dalam 10 bab yang tertata secara sistematis.

Pendidikan pada Era Orde Baru
            Darmaningtyas merekam hampir seluruh fenomena yang terjadi di dunia pendidikan semenjak masa ia sekolah, itu dapat kita temui dalam beberapa kalimat dalam tulisannya yang banyak merefleksi kasus penidikan yang dia alami dahulu di bangku sekolah, kemudian ia bandingkan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi saat tulisan itu di buat, yaitu selama masa pemerintahan orde baru, sekitar tahun 1982-1990, atau sebelum era reformasi. Yaitu era di mana rakyat Indonesia sedang terninabobokkan kalau tidak boleh disebut “ketakutan” dengan rezim yang repressif dan otoriter saat itu. Tulisan-tulisannya sangat cermat dan teliti menyoroti kasus demi kasus yang sifatnya sangat kontekstual. Orang yang baru lahir atau baru dewasa di era reformasi mungkin akan menemukan fakta-fakta baru yang belum pernah ditemuinya. Kurang lebih (lebih banyak kurangnya) kritik Darmaningtyas terhadap fenomena pendidikan pada masa rezim orde baru dapat dikelompokkan dalam tiga hal, antara lain: pendidikan menjadi wahana indoktrinasi ideologi, pendidikan menjadi sapi perah industri tekstil dan pariwisata, dan pendidikan menjadi aktifitas yang menyengsarakan masyarakat.

Pendidikan sebagai Wahana Indoktrinasi Ideologi
            Di masa orde baru, pemerintah menjadikan pendidikan sebagai alat “pemaksaan” penanaman ideologi yang cukup massif, dimana tentunya ditujukan untuk melanggengkan status quo saat itu. Pertama, yang dilakukan adalah penggantian mata pelajaran Kewarganegaraan (civic education) menjadi PMP (Pendidikan Moral Pancasila) sejak tahun 1976. Pelajaran kewarganegaraan mengajarkan para siswa untuk mengetahui hak-hak dan kewajibannya sebagai warga Negara, begitupun sebaliknya Negara sebagai sebuah institusi kepada rakyatnya. Implikasinya adalah nantinya akan dihasilkan anak-anak yang kritis terhadap segala kebijakan pemerintah dengan mengetahui akan apa saja yang menjadi haknya. Akan tetapi pelajaran PMP tekanannya lebih diarahkan pada menjadikan siswa menjadi oang-orang yang patuh dan taat pada ideologi negara saja, tapi tak pernah diajarkan tentang apa saja yang menjadi hak-haknya. Produknya adalah orang-orang yang taat, patuh, pengecut, tidak kritis serta tidak pernah memiliki prinsip sendiri. Kedua, adalah pemberian materi penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang harus diikuti semua murid mulai TK sampai Perguruan Tinggi dan juga para gurunya. Sejak tahun 1983-1997, penataran P4 menjadi kewajiban yang harus diikuti oleh setiap murid baru. Ketiga, pemberian materi pada pelajaran sejarah yang terlalu menekankan pada peristiwa 1965-1966 yang menampilkan penguasa orde baru sebagai pahlawan dalam memberantas PKI (Partai Komunis Indonesia), eksploitasi berlebihan kekejaman PKI dan heroiknya angkatan darat dalam menyelamatkan pancasila. Keempat, pada masa Pelita III diadakan peraturan seragam wajib merah-putih untuk SD, biru-putih untuk SMP, dan abu-abu-putih untuk SMA (SMTA). Dimana sebelumnya seragam sekolah itu dibebaskan memakai pakaian seperti apa yang dikehendaki oleh masing-masing sekolah. Kelima, adanya penambahan mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), yang tumpang tindih dengan materi sejarah, dimana muatannya  dimaksudkan untuk menyenangkan kekuatan politik yang dominan, yaitu ABRI, terutama Angkatan Darat. Kemudian keenam adalah dibentuknya PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang menjadi alat kontrol penguasa terhadap suara-suara yang kritis dari para guru. Dimana PGRI saat itu adalah organisasi profesi yang menjadi basis pendukung partai Golkar (Golongan Karya) pada saat itu.

Pendidikan Menjadi Sapi Perah Industri Tekstil dan Pariwisata
            Pada era 1970an, pemerintah juga sedang meggalakkan pertumbuhan industri tekstil dan pariwisata. Pendidikan menjadi pangsa pasar (sapi perah) dua industri tersebut. Industri tekstil mendapatkan peningkatan pendapatan yang signifikan setelah diberlakukannya peraturan wajib menggunakan seragam, pada masa menteri Daoed Joesoef. Sedangkan Industri pariwisata mendapat momentumnya ketita hampir semua sekolah mewajibkan program study tour bagi setiap angakatannya tiap tahun. Dua kewajiban yang sengaja dibentuk itu sudah barang tentu akan meningkatkan produktifitas dua macam industri tersebut dan lagi-lagi dunia pendidikan, siswa dan rakyat kecil yang manjadi korban, karena harus mengeluarkan biaya lagi.

Pendidikan Menyengsarakan Masyarakat
            Segala jenis pembiayaan dalam pendidikan, yang sarat dengan kepentingan penguasa dan pemodal tersebut semakin menyengsarakan masyarakat. Setiap awal tahun dan akhir tahun rakyat harus menyediakan banyak uang untuk kegiatan pendidikan anaknya. Banyak masyarakat yang berbondong-bondong menggadaikan barang-barangnya untuk ditukar dengan uang sebagai biaya tetek bengek sekolah anaknya. Hal tersebut diperparah dengan orientasi lulusan sekolah yang diarahkan untuk menjadi orang-orang urban sebagai pegawai negeri atau kayawan yang lupa dengan kampung halamannya. Pendidikan justru menjadikan anak-anak  lupa dengan status keluarganya yang pedagang, petani, nelayan dan sebagainya. Dimana justru hal tersebut lebih memperbanyak pengangguran, dari pada pekerja yang siap untuk bertahan hidup di kampung halamannya sendiri sesuai dengan latar belakang budayanya. Alih-alih menjadi manusia urban, anak-anak lulusan sekolah malah kehilangan identitas daerah dan budayanya dan yang lebih parahnya lagi, mereka tak dapat memiliki pekerjaan.

Refleksi
            Tulisan-tulisan Darmaningtyas dalam buku ini tajam menukik dan disertai dengan data-data yang akurat. Tajam menukik dalam artian kritik-kritik yang dilontarkan tanpa basa-basi menggunakan bahasa yang lugas, namun jelas. Kejelasan tersebut juga disertai dengan data-data yang lengkap dibalut argumen hasil refleksi kritisnya terhadap konteks keadaan yang terjadi saat itu (zaman orde baru). Kritik-kritiknya mendekonstruksi  segala kebijakan dan bahkan tatanan yang sudah berjalan di dunia pendidikan, dengan paradigma yang berani, yaitu “melawan arus”. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena beliau bukan dari background sarjana pendidikan, akan tetapi sarjana filsafat, mungkin itu yang menyebabkan segala kritiknya bebas meluncur kepada siapapun yang disasar. Akan tetapi sedikit sisi dari beberapa tulisan tersebut terasa kurang lengkap, karena dekonstruksi yang dilontarkan tidak disertai dengan solusi-solusi rekonstruktif atas segala masalah yang terjadi. Sepertinya dia tidak terlalu merisaukan hal itu, dan sengaja membiarkan pemegang kebijakan maupun praksiti dan pakar pendidikan untuk berpikir keras dalam merumuskan solusi jitu sebagai penyelesaiannya. Buku ini wajib dibaca oleh segenap pembuat kebijakan pendidikan, akademisi pendidikan dan para praktisi di dunia pendidikan.



Wallahu A’lam

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.