2

Islam Nusantara sebagai Kajian Ilmiah

Posted by Unknown on 00.10 in

Alhamdulillah, rasa syukur itulah yang saya rasakan kala saat itu—tepatnya tanggal 18 dan 19 Novemver 2015—karena saya dapat menghadiri seminar sekaligus launching sebuah lembaga kajian dan riset yang berdiri di Surabaya. Lembaga tersebut bernama Institute for Nusantara Studies (Innus), sebuah lembaga yang concern pada kajian keislaman dan kenusantaraan atau keIndonesiaan. Lembaga ini diinisiasi oleh beberapa dosen UIN Sunan Ampel Surabaya yang diketuai oleh Dr. Abdul Halim, MA. dan erat kaitannya dengan Ormas Nahdhatul Ulama’ (NU). Mungkin saja ini adalah salah satu respon dari perhelatan besar muktamar NU di Jombang beberapa waktu lalu yang mengusung tema besar “Islam Nusantara”, tidak cukup hanya kampanye secara struktural dalam tubuh NU, akan tetapi perlu diperdalam dan diperluas dengan membentuk lembaga yang independen di luar struktur NU sendiri. Dengan menekankan pada kajian keislaman dan kenusantaraan, diharapkan lembaga ini dapat membumikan Islam Nusantara ala NU melalui kajian-kajian ilmiah yang rasional dan empirik. Jika para kyai NU mendakwahkan Islam Nusantara secara kultural dengan ceramah-ceramah di masyarakat, maka Innus mendakwahkan Islam Nusantara dalam forum-forum akademik, karena tidak bisa dipungkiri, banyak pula kritikan dari beberapa kalangan akademisi tentang kekaburan dari konsep Islam Nusantara ini.
Seminar berlangsung dua hari, pertama pada hari rabu dan diakhiri dengan hari kamis (18-19 November 2015). Satu harinya terdiri dari dua esi seminar, jadi selama dua hari ada empat sesi seminar. Pada sesi pertama seminar dibuka oleh Rais Syuriah PBNU, K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) yang cukup banyak memberikan pencerahan dan wawasan mengenai pesantren, kyai dan kenusantaraan. Ketiga komponen tersebut menjadi ramuan yang secara canggih menghasilkan model Islam ramah sebagaimana telah di bawa oleh para penyebar Islam, yaitu para wali sanga. Dimana secara formal, model Islam ala wali sanga ini dijaga dan diabadikan oleh Nahdhatul Ulama’. Islam ramah yang mengakui keberagaman dan menghargai budaya lokal inilah yang hendak ditawarkan sebagai alternatif bagi Islam di dunia, sebagai pendekatan solutif atas konflik yang tak kunjung reda, terutama di negara-negara Timur Tengah. Hal yang saya rasa penting dari paparan Gus Mus ketika menjawab pertanyaan tentang bahaya Syiah di Indonesia, beliau menjawab bahwa adanya wacana permusuhan dan ancaman-ancaman dari Syiah di Indonesia terhadap kaum Sunni adalah wacana yang dibentuk oleh Saudi Arabia yang notabene pemerintahnya bermadzhab Wahhabi. Sebenarnya konflik aliran agama di sana telah ditunggangi dengan muatan politik, di mana Saudi Arabia berebut pengaruh politik dengan Negara Iran. Arab Saudi menganggap Iran adalah sainganya dalam konstalasi politik di Timur Tengah, oleh sebab itu isu Syiah digelindinkan, termasuk di Indonesia. Menurut Gus Mus, kita harus paham terhadap pergolakan politik di Timur Tengah dan jangan mudah ikut arus wacana yang berkembang di Masyarakat tanpa data yang valid dan jelas. Jawaban Gus Mus tersebut membuka lebar-lebar mata saya akan liciknya akal para politisi di sana yang demi ambisi politiknya memakai isu sensitif agama dalam melancarkan misi-misinya.
Saya tersentak setelah masuk kembali di ruangan seminar untuk mengikuti sesi kedua, yang mamberikan materi adalah Ulil Abshar Abdalla, menantu dari K.H. Mustofa Bisri sendiri yang juga adalah koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL). Hal yang terbesit di benak saya adalah, seliberal apapun Mas Ulil, dia adalah bagian dari anak muda Nahdhatul Ulama yang juga sebagai menantu dari tokoh sentral di NU, yaitu Gus Mus. Oleh karena itu, dalam forum-forum seperti ini analisis Mas Ulil tetap layak diperdengarkan dan dijadikan rekomendasi penting. Mas Ulil ditemani pemateri kedua, yaitu Prof. Dr. Warsono, M.Si., yang juga adalah rektor UNESA (Universitas Negeri Surabaya). Ulil lebih banyak menerangkan tentang dinamika keislaman dan radikalisme yang terjadi di negara-negara Arab. Kemudian dia juga banyak bercerita tentang masa kecilnya di pesantren, dan pernak-pernik kuliahnya di Amerika. Di akhir paparannya ia menyoroti sangat langkanya sarjana muslim yang mengkaji secara obyektif tentang agama-agama lain, terutama agama samawi (Kristen dan Yahudi). Karena di luar sana, banyak sarjana dari Kristen dan Yahudi yang begitu mendalami kajian keislaman dan menghasilkan karya-karya besar. Ini semua adalah dalam rangka dialog konstruktif untuk membangun kerukunan antar umat beragama. Kemudian dilanjutkan dengan Prof. Warsono yang lebih banyak menyoroti berbagai konflik horizontal yang terjadi—terutama di kalangan kelompok umat Islam—adalah kesalahan paradigma berpikir, yaitu paradigma dikotomik “benar” dan “salah”. Benar dan salah diasosiasikan dalam dua kutub yang saling bersebarangan, satu kutub benar dan satu kutub lagi adalah salah. Ketika benar, maka ia harus dijadikan satu-satunya panutan dan mutlak adanya, sedangkan ketika salah satu kelompok atau produk pemikiran lain dianggap salah, maka ia harus mutlak disalahkan, dikucilkan dan lebih parahnya lagi dimusnahkan. Menurutnya, dalam berpikir kita harus mengedepankan paradigma “alternatif” dan “positif”. Paradigma alternatif dimaksudkan dengan menjadikan “benar” tidak selalu menjadi lawan dari “salah”, tetapi benar ataupun salah itu sendiri sangat bervariasi, tidak ada benar dan salah, yang ada adalah benar dengan benar, dengan tingkatannya masing-masing.  Sedangkan paradigma positif adalah melihat setiap orang dari sisi baiknya, bukan sisi jeleknya. Karena hanya dengan cara pandang seperti itu, kita dapat mengambil hal baik dari orang lain dan selalu mencari dan berinovasi menghasilkan hal baru yang lebih baik, bahkan dalam masalah keagamaan sekalipun. Tugas sebagai akademisi adalah bukan hanya “mendekonstruksi”, tapi juga harus “merekonstruksi” bangunan teori yang sudah ada agar dapat mengembangkan teori, bukannya mendewakan teori yang sudah ada.
Pada hari kedua, kamis 19 November 2015, ada dua sesi materi juga. Sesi yang pertama diisi oleh Dr. K.H. As’ad Said Ali (PBNU) dan Prof. Dr. Yusuf Wiranto (Guru Besar Manajemen SDM Universitas Airlangga). Dr. K.H. As’ad Said Ali menyampaikan tentang kiprah beliau di PBNU yang antara lain adalah kunjungan dan pengiriman delegasi dari NU ke negara Afganistan, untuk mendakwahkan Islam Nusantara di sana. Hasilnya adalah di Afganistan berhasil dibentuk organisasi Nahdhatul Ulama’, bukan dalam bentuk PCI (Pengurus Cabang Istimewa) yang anggotanya dari orang Islam Indonesia sendiri, akan tetapi orang-orang Islam Afganistan yang mulai melirik Islam ramah ala NU, setelah sekian lama mereka menjadi fundamentalis Islam. NU mulai sadar, ia tidak hanya harus eksis di dalam Indonesia saja, akan tetapi juga harus menjawab tantangan kelompok-kelompok Islam radikal transnasional, dengan melebarkan sayap menyebarkan Islam damai dan toleran ke seluruh penjuru dunia. Selain hal tersebut, K.H. As’ad juga menekankan agar gerakan NU harus diperkuat dengan peningkatan profesionalisme SDM (Sumber Daya Manusia) warga NU, khususnya dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang mumpuni dan pengembangan entrepreneurship di kalangan NU dengan memberdayakan masyarakat NU yang kebanyakan adalah sebagai petani di pedesaan. Kemudian dilanjutkan dengan paparan Prof. Dr Yusuf Wiranto yang banyak membahas tentang pengembangan sumber daya manusia dan demografi warga NU. Beliau menjelaskan bahwa bonus demografi Indonesia sampai dengan tahun 2.035 adalah banyaknya penduduk “usia muda” dari pada yang lainnya. Bonus demografi ini dapat menjadi peluang apabila dimanfaatkan dengan baik. Sebaliknya, apabila tidak dimanfaatkan dengan baik akan justru menimbulkan bencana. Hal yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan yang benar dalam melakukan pengembangan sumber daya manusia, yang dalam hal ini adalah pemuda. Dimana ia menjelaskan ada 3 pendekatan dalam human resources, yaitu pendekatan intervensi, pendekatan internal personal manusia dan pendekatan genetika serta lingkungan. Jadi, dalam mengembangkan SDM pada pemuda harus dilakukan dengan adanya intervensi (sistem yang memaksa mereka berkembang), penanaman semangat mengembangkan diri sendiri, dan membentuk lingkungan yang dapat mendukung para pemuda untuk berkembang. Prof Yusuf menggaris bawahi, sesuai hasil penelitian, bahwa pengetahuan dan skill yang diperoleh seseorang dari pendidikan/perkuliahan (hard skill) hanya berperan 20 % terhadap kesuksesan, sedangkan sisanya yang 80 % adalah keahlian tambahan (soft skill) yang dikembangkan di luar bangku sekolah/kuliah. Penyampaian Prof. Yusuf yang disajikan dengan bahasa oral Surabaya menjadikan ruangan seminar dipenuhi gelak tawa para peserta yang saat itu masih terfokus dengan materi-materi berat dari para narasumber sebelumnya.
Pada sesi kedua di hari kamis adalah paparan materi dari Prof. Dr. Nur Syam, M.Si.—GurBesar Sosiologi UIN Sunan Ampel dan Sekjen Kemenag RI—dan budayawan Emha Ainun Najib. Akan tetapi karena sesuatu hal, Cak Nun berhalangan untuk hadir dan sempat mengecewakan para pesarta seminar. Paparan yang sangat menggebu disampaikan Prof. Nur Syam—sosok panutan yang merintis karirnya sebagai dosen di Fakultas Dakwah—tentang peran agama sebagai faktor penentu perubahan. Tekanan yang sangat penting disampaikan adalah imbas dari modernisasi sekarang ini memunculkan banyak tantangan. Tantangan modernisasi dirumuskan ada empat hal, pertama adalah munculnya liberalisme, kedua radikalisme, ketiga kapitalisme dan keempat adalah sosialisme baru. Isme-isme yang muncul sebagai anak dari modernisasi ini adalah sebuah keniscayaan yang timbul sebagai sebuah reaksi sosial, dimana dalam menyikapinya haruslah disiapkan analisis dan gerakan yang matang. Kapitalisme negara-negara besar dan maju (baca: Barat) ke seluruh penjuru dunia, terutama negara-negara Timur Tengah sebagai negara penghasil minyak terbesar menyebabkan timbulnya perlawanan sengit dari kalangan Islamis yang mengusung isu agama, dan  pada ujungnya membuahkan radikalisme agama. Di sisi lain muncul respon yang keras dari para sarjana dari kalangan muslim sendiri maupun non muslim yang menentang keras aksi radikalisme ini yang telah banyak melakukan kekerasan atas nama agama. Mereka terlibat dalam suatu gerakan liberalisasi dengan mengusung pemahaman liberalisme Islam. Dua kutub ini kian mengeras yang pada akhirnya justru menimbulkan konflik berkepanjangan. Di sisi yang lainnya lagi muncul gerakan sosialisme baru dari kalangan orang-orang modern. Prof. Nur Syam mencontohkan adanya pengadilan tribunal di Den Haq, yang isinya banyak menguntungkan kalangan sosialis atau komunis, dimana hal tersebut dapat menumbuhkan semangat sosialisme untuk kembali hidup di tanah air kita Indonesia. Beliau mensinyalir sampai saat ini telah muncul benih-benih sosialisme baru ini pada para petinggi negara, baik yang duduk di eksekutif maupun legislatif. Tantangan-tantangan inilah yang perlu mendapat perhatian serius dari NU yang mengusung paham Islam Nusantara, Islam Indonesia, dan Islam rahmatan lil ‘alamin.
Materi-materi di atas sangatlah berisi dan cukub berat untuk dicerna. Topik-topik yang disajikan sangat orisinal dan baru yang dapat ditindak lanjuti dalam forum-forum lanjutan. Untuk kemudian dibahas sebuah rumusan gerakan yang massif di kalangan Nahdhatul Ulama’. Seluruh peserta seminar mendapatkan sertifikat kegiatan dan sebuah buku terjemahan tebal berjudul Kontroversi Negara Islam; Radikalisme vs Moderatisme karangan seorang pemikir Mesir—Khalil Abdul Karim—yang diterjemahkan oleh penulis terkenal dari Yogyakarta, Aguk Irawan MN. Institute for Nusantara Studies (Innus) ini juga menjalin jejaring di seluruh Indonesia dengan lembaga-lembaga serupa dalam bentuk dan nama yang berbeda. Adanya lembaga ini dapat menjadi wadah lanjutan bagi para kader muda NU dan lainnya untuk melanjutkan tongkat estafet gerakan yang tetap berbasis pada intelektualitas dan kajian ilmiah serta meneguhkan diri pada Islam Nusantara.
Wallahu A’lam.

0

Keutamaan Ulama’ dan Ilmuwan

Posted by Unknown on 01.22 in
Hari ini, mungkin manandakan ketidakkonsistenan saya dalam menuliskan hikmah-hikmah harian yang rencananya akan saya tulis setiap hari. Akan tetapi satu tahun yang lalu rencana itu tehenti, dan sekarang gejolak menulis itu muncul kembali. Saya tersentak kembali menulis, setelah membaca satu paragraf tulisan dari Prof. Nadirsyah Hosen, seorang intelektual muda NU yang belakangan ini saya amati biografi intelektualnya. Suatu hari saya berniat membeli sebuah buku di Toga Mas Malang, akan tetapi saya tidak mendapatkan buku yang saya cari itu, malah saya mendapatkan satu buku yang sebelumnya pernah saya amati di media sosial, judulnya adalah “Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal hingga Memilih Madzhab yang Cocok”, sebuah perjalanan hidup Gus Nadir yang di abadikan dalam bentuk tanya jawab agama, dengan mengambil konteks kehidupan muslim di Australia. 

Saya terkesan dengan tulisannya yang menceritakan pada suatu ketika ia bertanya kepada guru spiritualnya, Haji Yunus. Gus Nadir yang memakai nama samaran “Ujang”, menanyakan, “Mengapa sekian banyak hadits yang menjelaskan krutamaan orang yang berilmu ketimbang orang yang ahli ibadah? Maksudnya itu bagaimana Wak Haji?”. Haji Yunus pun menjawab, “Sebagai ahli ibadah, ia dapat pahala saat lagi beribadah. Tetapi kalau ulama’ dan ilmuan, saat mereka sedang tidur saja, pahala mengalir terus!”.  Si Ujang keheranan dan bertanya lagi kepada Haji Yunus, mengapa enak sekali para ulama’ dan ilmuan bisa seperti itu. Dengan bijaksana Haji Yunus menerangkan argumennya, “Bayangkan saja, saat mereka lagi asyik tidur, nun jauh di sana para profesor sedang membaca artikel karya ulama’ atau ilmuan dengan serius, atau para pelajar sedang asyik menelaah isi buku yang mereka tulis. Padahal, pengarangnya lagi molor”.[1] Seketika Ujang terkagum-kagum dengan jawaban Haji Yunus itu. 

Tanpa disengaja, saya menemukan argumen teologis yang selama ini saya jalani dan tekuni. Begitupun pula mungkin bagi kawan-kawan yang memutuskan mengambil jalan berkecimpung di dunia akademik dalam berbagai disiplin ilmu, atau mereka yang berada di luar jalur akademisi dengan memperdalam keilmuan agama di berbagai pesantren selama hidupnya. Satu hal yang ingin saya tekankan, mantaplah dengan pilihan yang kita jalani ini, karena Rasul pun mengakui banyak keutamaan yang akan di dapatkan, sebagaimana rasionalisasi Haji Yunus di atas.   
Wallahu ‘A’lam..


[1] Nadirsyah Hosen, Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal hingga Memilih Madzhab yang Cocok,  Cet. 1, (Jakarta: Mizania, 2015), hlm. xxxi-xxxii.

0

Dialog Bareng Mahfud MD

Posted by Unknown on 01.05 in




Dalam seminar  yang bertemakan “Konsep Kedaulatan dan Politik Hukum Kita” yang lalu di Pascasarjana UIN Maliki Malang, dialog yang seru terjadi antara audience dengan Narasumber, Prof. Mahfud. Pada peserta seminar kebanyakan awam masalah hukum tata negara, sehingga yang ditanyakan pun agaknya melebar dari tema substansial yang disajikan panitia. Para peserta justru menanyakan kaitan hukum  positif dengan agama. Akan tetapi Mahfud menjawab semua pertanyaan tersebut dengan cukup apik dengan teori-teori hukum dan contoh-contoh kasus beragam yang pernah dialaminya selama ini. Berikut tulisan rekaman dialog antara peserta seminar dengan Mahfud MD., yang dapat kita jadikan rujukan dalam permasalahan hukum di Indonesia. 

 Persoalan pertama adalah tentang hukum legal bagi bebagai macam aliran agama yang tumbuh subur di Indonesia ini, bagaimanakah Indonesia menjamin hak-hak mereka dalam menjalankan ajarannya, ditengah maraknya kekerasan atas nama agama baru-baru ini?. Mahfud menjawab dengan tegas, bahwa Indonesia bukanlah negara agama. Oleh karena itu, segenap pemikiran agama yang berkembang  di Indonesia dilindungi oleh negara. Indonesia adalah negara berketuhanan, yang segenap warganya menganut agama tertentu. Sedangkan benturan-benturan yang terjadi selama ini, menurut Mahfud dikarenakan aspirasi mereka tidak terakomodir. Maka dari itu, semua madzhab atau aliran keagamaan Islam yang berkembang di Indonesia harus berpolitik dengan memiliki wakil-wakilnya untuk masuk dalam lembaga legislatif negara sebagai anggota DPR. Kemudian di dalamnya mereka dapat bersama-sama membuat Undang-Undang dan menyalurkan aspirasi para pengikutnya. 

Masalah kedua adalah apakah Indonesia ini benar-benar negara demokrasi?, di tengah maraknya kasus korupsi dan banyak aspirasi rakyat yang tidak tersalurkan. Mahfud menjawab, bahwa setiap warga negara adalah partisipan politik, jadi jangan menjadi orang yang anti politik. Kita adalah bagian dari organisasi politik terbesar, yaitu negara. Ikut atau tidaknya kita dalam lembaga tinggi negara, kita tetap terlibat dalam kedupan politik, yang artinya kita juga berpolitik. Oleh karena itu sangat keliru apabila ada orang yang antipati dengan politik. 

Ketiga adalah dalam sistem pemerintahan di Indonesia adalah demokrasi. Melalui sistem demokrasi, pemilihan presiden, gubernur, bupati/wali kota, kepala desa, serta anggota DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat. Berarti apabila pemimpin yang terpilih buruk dalam kinerjanya, maka rakyat yang memilihnya juga patut dipersalahkan. Benarkah demikian?. Jawab Mahfud, gambaran pemimpin yang buruk menggambarkan kondisi rakyat pemilihnya yang juga buruk adalah salah. Bisa saja orang yang sangat baik pada awalnya, ketika dia menjabat dan mengetahui banyak peluang korupsi, maka ia tergiur dan menumpuk harta melalui cara-cara yang korup. Jadi, Mahfud tidak sepakat dengan pandangan yang seperti itu. 

Persoalan keempat, apakah demokrasi itu memang sistem yang benar-benar terbaik untuk Indonesia?. Saya tidak mengatakan sistem demokrasi itu baik, dia adalah sistem yang buruk sebetulnya. Akan tetapi, kata Plato dan Aristoteles, sistem demokrasi adalah sistem politik yang buruk yang terbaik, dari sistem-sistem politik yang lain, seperti monarki, aristokrasi dan sebagainya. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan bangsa ini adalah mendorong sedapat mungkin demokrasi ini dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan cita-cita demokrasi.

Pertanyaaan kelima mengenai sejauh mana perlindungan pemerintah/negara terhadap para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri. Mahfud menjelaskan, banyaknya kasus yang terjadi TKI Indonesia di luar negeri dikarenakan penanganan sumber daya manusia dan sumber daya alam di Indonesia yang kurang profesional. Oleh sebab itu, banyak WNI yang mencari pekerjaan di luar negeri, karena gaji yang diberikan sangatlah besar dibandingkan gaji pekerjaan di dalam negeri. 

Keenam, ada penanya yang mengatakan bahwa negara Indonesia lebih dekat pada sistem kedaulatan ada di tangan Tuhan, itu terbukti dari pembukaan Undang-Undang Dasar yang mengatakan “Dengan rahmat Allah” dan banyak lagi yang menyebut kata “Tuhan”. Mahfud menanggapi, bahwa di Indonesia ada segala macam kedaulatan, yaitu kedaulatan hukum, kedaulatan keTuhanan, kedaulatan kerakyaran dan lain-lain. Posisi kedaulatan Tuhan di sini dijadikan sebagai landasan etis yang mendasari setiap pengambilan kepusan dalam membuat Undang-Undang dan lain sebagainya. Yang menarik dari paparan Mahfud adalah, ia bercerita hal ihwal sejarah penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta yang menyatakan bahwa negara Indonesia diatur bersasarkan syari’at Islam. Selain itu juga mengenai tetapnya kata “Atas berkat rahmat Allah” di pembukaan Undang-Undang. Dibalik semua itu, ada hal aneh yang tidak masuk akal. Menurut Mahfud, orang Papua (Indonesia Timur) yang menganjurkan kepada Bung Hatta untuk menghapuskan tujuh kata dalam piagam Jakarta itu tidak pernah ada, ketika dikroscekkan dengan orang-orang yang lainnya ketika itu. Seperti ada “tangan ketiga” yang ikut campur dalam pembentukan dasar konstitusi negara di masa-masa awal ini. Sehingga terbentuklah Negera Kesatuan Indonesia seperti yang sekarang ini. 

Mahfud MD merupakan pendobrak di bidang hukum yang berani bersikap dan tanpa ragu-ragu menyatakan siapa yang bersalah dalah permasalahan hukum. Berdasarkan background dirinya yang berlatar belakang NU (Nahdhatul Ulama’), ia banyak banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid (Gur Dur)  dan ketika mahasiswa ia menjadi aktifis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan banyak menggunakan pemikiran Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam permasalahan kebangsaan dan keIndonesiaan. Demikian kurang lebihnya rekaman dari diskusi yang berlangsung, kurang lebihnya mohon maaf.
Wallahu A’lam.



0

Mahfud MD dan Kedaulatan Politik Hukum di Indonesia

Posted by Unknown on 23.51 in
Pada hari kamis, tepatnya tanggal 8 Oktober 2015 yang lalu, auditorium pascasarjana UIN Maliki Malang penuh sesak dengan peserta seminar yang diisi oleh mahasiswa S2 dan S3. Saya pun tak melewatkan momen yang langka itu  dengan menjadi salah satu peserta seminar, walaupun harus berdiri dari awal sampai akhir acara. Anemo peserta seminar yang besar itu dikarenakan pembicara seminarnya bukanlah orang biasa, dia adalah Prof. Dr. Muhammad Mahfud MD., SH., SU., guru besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang pernah menjadi pejabat pada tiga lembaga tinggi negara, yaitu di lembaga legislatif sebagai anggota DPR RI dari fraksi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), lembaga eksekutif sebagai Menteri Pertahanan dan lembaga yudikatif sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Seminar ini bertajuk “Konsep Kedaulatan dan Politik Hukum di Indonesia”, sangat tepat apabila Mahfud MD yang dijadikan narasumber dalam stadium general ini. Sebenarnya kedatangan Mahfud MD ini adalah awal dari serangkaian kuliah yang akan disampaikannya di Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, karena beliau telah didapuk sebagai Dosen Luar Biasa (DLB) di kampus Islam ini pada mata kuliah politik dan hukum. Dengan gayanya yang blak-blakan dan gaya bicara logat Madura-nya, Mahfud MD membuat dahi para peserta seminar ini terkenyut dengan perhatian yang total, karena sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa program pendidikan, yang tak begitu paham tentang politik dan hukum tata negara.
Mahfud menyatakan bahwa negara Indonesia secara formal sudah berdaulat. Kedaulatan dimaknai sebagai kekuasaan tertinggi di suatu negara, dan Indonesia sudah memilikinya. Indonesia sudah memiliki pemerintahan, rakyat, lembaga tinggi seperti legislatif dan yudikatif. Akan tetapi aplikasinya di lapangan tidaklah demikian. Indonesia seakan-akan tidak berdaya menghadapi negara-negara asing yang secara terang-terangan merendahkan kedaulatan Indonesia. Mahfud mengambil contoh kasus penangkapan polisi Indonesia oleh pihak kepolisian Malaysia dikarenakan polisi Indonesia telah menangkap beberapa nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan (laut) Indonesia. Pemerintah Malaysia tidak terima jika warga mereka—yang dalam hal ini adalah nelayan—ditangkap oleh polisi Indonesia karena mencuri ikan di laut Indonesia. Hal ini jelas-jelas merendahkan kedaulatan Indonesia yang sedang mengadakan penegakan hukum di atas teritorial negaranya sendiri. Kasus tangkap-menangkap ini kemudian diselesaikan dengan diplomasi antara pemerintah Malaysia dengan Indonesia, yang seharusnya penegakan hukum dijadikan landasan utama, ini malah pertimbangan politik yang menjadi alasan. Pemerintah Malaysia mengancam pemerintah Indonesia, apabila kepolisian Indonesia bersi keras menangkap melayan Malaysia yang mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia itu, maka pihak Malaysia akan menangkap dan menjebloskan ke penjara semua imigran gelap asal Indonesia yang ada di Malaysia dengan tuduhan telah melakukan pencurian, karena statusnya yang tidak legal sebagai imigran. Dengan ancaman seperti ini pemerintah Indonesia tidak berkutik dan kedaulatan negara digadaikan gara-gara kemiskinan rakyatnya. Akhirya nelayan Malaysia itu dibebaskan dan polisi Indonesia yang menagkapnya juga dibebaskan. Mahfud memberikan penegasan, dari peristiwa ini menggambarkan, kedaulatan suatu negara sedang diinjak-injak oleh negara lain gara-gara kemiskinan.
Menurut Ilmu Hukum, tegas Mahfud, suatu undang-undang hanya berlaku di negaranya. Suatu negara dengan kedaulatannya, dapat mengambil kebijakan menyangkut negaranya ke dalam dan ke luar. Perdebatannya sekarang adalah dari mana datangnya kedaulatan?, dalam konteks Indonesia, kedaulatan datangnya dari rakyat. Menurut ilmu tata negara, kedaulatan suatu negara datang dari empat sumber, yaitu: 1) Tuhan, 2) negara, 3) rakyat, dan 4) hukum. Uniknya, di Indonesia kedaulatan selalu dikaitkan dengan demokrasi.
Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Akan tetapi, teori yang ideal demikian tidak terealisasi dengan baik di Indonesia. Hal itu dikarenakan perpolitikan di Indonesia hanya dikuasai oleh para elit, setelah para wakil rakyat terpilih atas dukungan suara terbanyak dari rakyat, hubungan rakyat dengan para wakilnya yang duduk di kursi DPR terputus tidak ada tindak lanjut sama sekali, yang terjadi adalah oligarki politik, yaitu transaksi-transaksi kepentingan antara wakil rakyat, eksekutif, bahkan yudikatif dengan para pengusaha. Apabila telah terjadi hal yang demikian, maka hukum menjadi konservatif. Hukum konservatif memiliki tiga ciri-ciri, yaitu: 1) sentralistik (hukum hanya dikuasai oleh para elit saja), 2)  positifistik instrumentalistik (hukum di buat sebagai alat perlindungan bagi sebuah kesalahan/pelanggaran terhadap hukum itu sendiri), dan 3) open interpretatif (mudah ditafsirkan sesuka hati oleh penguasa). Hukum yang seperi ini menjadikan negara menjadi tidak adil terhadap rakyatnya dan hilangnya supremasi hukum. Mahfud mencontohkan bahwa sekarang Undang-Undang perbankan membolehkan modal asing 90 % dalam perusahaan, kemudian banyaknya beroperasi sekarang pom bensin (SPBU) asing di Indonesia dan pemilik saham terbesar di perusahaan-perusahaan rokok besar di Indonesia dikuasai pemodal asing dari Amerika. Apabila produk hukum berupa Undang-Undang yang dibuat melalui sidang legislasi dihasilkan dari transaksi dengan dunia usaha, maka hukum konservatiflah yang akan hidup di negeri ini, dan kita tahu akibatnya, rakyat kecil dan negara yang semakin dirugikan, sedangkan pamodal dan orang-orang kaya akan semakin dapat menumpuk-numpuk hartanya.
Menurut Mahfud, pangkal dari kedaulatan dan politik hukum di Indonesia adalah “moralitas”. Apabila semua pejabat tinggi negara yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif ini melakukan tugas dan fungsinya dengan baik dan berpangkal pada moralitas, maka produk hukum (Undang-Undang) yang tidak memihak pada kepentingan rakyat tidak semestinya diciptakan. Mereka menciptakan Undang-Undang yang pro penguasa dan pengusaha karena ada pesanan, apabila Undang-Undang tersebut berhasil diputuskan dalam sidang, maka pundi-pundi rupiah bahkan dolar akan menanti di depan sana, tanpa harus mempedulikan dampak yang akan ditimbulkan dari terciptanya produk hukum yang seperti itu. Kelemahan sistem politik dan hukum di Indonesia adalah sifat “konservatif” yang diseabkan oleh para pembuat Undang-Undang. Untuk itulah, setiap pejabat lembaga tinggi negara harus memiliki tangung jawab yang berlandaskan nilai moralitas yang luhur, bahwa mereka bekerja bukan untuk mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan, tapi lebih dari itu, adalah kepentingan rakyat, bangsa dan negara.



0

Optimalisasi Peran Ormada (Organisasi Mahasiswa Daerah) Tuban

Posted by Unknown on 10.51 in


Ormada Tuban; Sebuah Cita-Cita Luhur
            Mahasiswa sebagai salah satu simbol golongan insan cerdik cendekia menjadi komponen penting dalam struktur sosial di masyarakat. Keberadaannya diharapkan menjadi gerbong pendobrak menuju kesejahteraan masyarakat yang lebih baik melalui pendidikan dan keterampilan dalam berbagai macam bidang pengetahuan yang dibuka di perguruan tinggi. Selain itu, peran yang tidak kalah penting dari mahasiswa adalah gelar agent of change yang disematkan kepadanya. Hal ini menemukan momentumnya ketika suksesnya gerakan mahasiswa Indonesia 1998 yang mampu menumbangkan rezim otoritarian yang memegang status quo saat itu. Inilah peran mahasiswa yang oleh Antonio Gramsci disebut sebagai “intelektual organik”, yaitu seseorang yang dapat memberikan kesadaran homogenitas bagi kelompoknya dan kelompok lain. Seorang intelektual organik harus merupakan seorang pioner, organisator, dan pejuang militan. Dimana semua diorientasikan lebih mementingkan kepentingan sosial di atas kepentingan pribadi. Posisi ini menempatkan mahasiswa menjadi komponen masyarakat yang memiliki tanggung jawab besar dalam melakukan pembacaaan terhadap realitas sosial dan melakukan perbaikan-perbaikan menuju perubahan tatanan sosial yang lebih baik.
            Kepedulian mahasiswa terhadap nasib bangsanya dengan banyak melakukan aksi-aksi sosial pada level nasional maupun regional juga harus dilengkapi dengan kepeduliannya terhadap nasib daerahnya sendiri di mana ia berasal dan tinggal. Sangat naïf apabila seseorang banyak berkontribusi secara nasional, akan tetapi tidak memperhatikan nasib masyarakat di daerahnya sendiri. Hal inilah yang mengetuk hati kawan-kawan mahasiswa yang berasal atau berdomisili di Kabupaten Tuban. Mereka yang berada di luar kota Tuban untuk menimba ilmu di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS) mengikat diri dengan latar belakang persamaan daerah kelahiran atau persamaan letak geografis dalam sebuah ikatan Organisasi Mahasiswa Daerah (Ormada) Tuban. Melalui Ormada ini para generasi muda Tuban mengikatkan diri dalam persaudaranan yang erat sebagai sesama perantau di luar kota. Dengan latar belakang persamaan itu, mereka melakukan komunikasi intensif dengan mencari informasi tentang mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari Tuban, sampai pada akhirnya membentuk perkumpulan dan diresmikan dalam wadah organisasi. Organisasi tersebut ada yang bersifat sebagai ajang perkumpulan rutin pengisi waktu luang saja dan pada level yang lebih rumit, organisasi tersebut melakukan pengkaderan sistematis dengan program-program yang menyentuh langsung pada masyarakat Tuban, sesuai dengan keterampilan yang dimiliki dan latar belakang kampus masing-masing.
            Di beberapa daerah, telah dibentuk beberapa Ormada Tuban yang telah aktif cukup lama. Ormada-Ormada Tuban itu ada yang eksis di satu kampus saja dan ada pula yang menjalin komunikasi lebih luas dalam Ormada lintas kampus. Untuk Ormada Tuban di internal kampus dapat kita lihat seperti di UIN Sunan Ampel Surabaya mendirikan IMARO (Ikatan Mahasiswa Ronggolawe), di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) mendirikan FORMAT (Forum Mahasiswa Tuban), di Universitas Airlangga mendirikan  KSATRIA (Keluarga Mahasiswa Tuban Universitas Airlangga), di Instutut Sepuluh November (ITS) mendirikan RUMAH ROTAN (Forum Mahasiswa Ronggolawe Tuban). Kemudian di daerah malang beberapa perguruan tinggi juga membuat komunitas yang sama. Sebut saja di UIN Maliki Malang mendirikan PERMATA (Perhimpunan Mahasiswa Tuban), di Universitas Negeri Malang (UM) mendirikan HIMARATU (Himpunan Mahasiswa Ronggolawe Tuban) di Universitas Brawijawa (UB) mendirikan HIMALAYA (Himpunan Mahasiswa Ronggolawe Brawijaya) dan bahkan masih banyak yang lainnya yang berlum terdeteksi. Kemudian dalam bentuk yang berikutnya, Ormada Tuban yang ada di beberapa kampus membentuk himpunan tersendiri, seperti di Surabaya terdapat FKMRT (Forum Komunikasi Mahasiswa Ronggolawe Tuban) yang mengklaim sebagai perhimpunan mahasiswa asal Tuban se-Surabaya, di daerah Yogyakarta juga terdapat KPMRT (Keluarga Pelajar Mahasiswa Ronggolawe Tuban) sebagai wadah persaudaraan mahasiswa asal Tuban yang kuliah di Yogyakarta, dan sekitar daerah ibu kota Jakarta ada IMRT (Ikatan Mahasiswa Ronggolawe Tuban). Ormada Tuban yang dibentuk di beberapa kampus besar di luar kota ini merupakan wujud cita-cita luhur dari generasi muda Tuban untuk berkontribusi terhadap daerah kelahirannya dalam bentuk berbagai macam kegiatan positif yang dilakukan. Melalui organiasai paguyuban seperti ini, peran nyata individu akan lebih termobilisasi dengan baik sehinga menghasilkan peran-peran yang lebih banyak serta dapat dirasakan oleh masyarakat.
Nilai-Nilai Positif Terbentuknya Ormada Tuban
            Sebagai salah satu  bentuk pengabdian terhadap tempat kelahiran, Ormada Tuban memiliki nilai-nilai positif dan bermanfaat. Pertama, Ormada Tuban sebagai wadah persaudaraan sesama mahasiswa yang senasib sepenanggungan di luar kota. Adanya organisasi ini akan semakin memperbanyak relasi sesama teman satu daerah. Dalam Islam, persaudaraan begitu ditekankan dalam hubungan sesama manusia, sebagaimana dalam al-Qur’an surat Al-Hujurat (49): 13, dijelaskan:  Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…….”. Potongan arti ayat ini menyiratkan kita untuk mencari teman atau relasi sebanyak-banyaknya dalam ikatan persaudaraan yang kokoh. Adanya Ormada Tuban akan semakin mempererat jalinan persaudaraan sesama saudara Tuban, yang dahulu tidak pernah kenal, melalui wadah ini dapat aling berinteraksi dan mengenal satu sama lain. Kedua, wadah Ormada Tuban ini menjadi sarana pengabdian mahasiswa Tuban kepada bumi kelahirannya. Ini sejalan dengan salah satu tri dharma perguruan tinggi, yaitu fungsi pengabdian masyarakat. Kalau di perguruan tinggi bentuk pengabdian msyarakat yang dilakukan dalam bentuk KKN (Kuliah Kerja Nyata) adalah tuntutan kewajiban kampus yang implikasinya pada kelulusan, sedangkan di Ormada Tuban pengabdian masyarakat adalah merupakan panggilan jiwa dari putra-putri daerah yang memang sudah seharusnya berkontribusi kepada bumi tempat kelahirannya. Ketiga, Ormada Tuban yang beranggotakan mahasiswa perguruan tinggi merupakan ujung tombak pengembangan ilmu pengetahuan di Kabupaten Tuban. Melalui kemampuan metodologi penelitian, mahasiswa asal Tuban dapat melalukan aksi-aksi sosialnya berlandaskan ilmu pengetahuan. Aksi sosial yang dibentuk dengan berbasis pada intelektualitas akan dapat tepat sasaran dan bermanfaat bagi masyarakat. Di samping itu, keberhasilan para anggota Ormada Tuban ini dapat ditularkan pula kepada para juniornya yang masih duduk di bangku sekolah, agar sejak dini lebih dapat mempersiapkan diri untuk belajar di perguruan tinggi ternama dengan bimbingan para seniornya tersebut. Keempat, terbentuknya Ormada Tuban ini memberikan informasi peluang karir tersendiri kepada para anggotanya. Sebagai mahasiswa, sudah barang tentu tujuan akhirnya adalah dapat berkiprah di dunia kerja sesuai dengan bidang keahlian yang dipelajari di perguruan tinggi tanpa mengesampingkan peran sosialnya. Interaksi yang terjalin di Ormada ini akan semakin memperkaya informasi para anggotanya akan adanya peluang kerja yang dapat dimanfaatkan, baik di daerah Tuban sendiri atau di luar wilayah Tuban. Setelah para alumninya dapat berkiprah di dunia kerja, maka peluang-peluang itu akan dapat dimanfaatkan pula kepada para juniornya yang masih harus menjalankan roda organisasi, begitu pula seterusnya. Nilai-nilai ini harus diinternaslisasikan di setiap ormada Tuban dan menjadi landasan di tiap kegiatannya.
Ekses-Ekses Negatif di Ormada Tuban
            Berdirinya berbagai Ormada Tuban di tiap kampus tidak dapat dupungkiri juga menimbulkan ekses-ekses negatif yang jika terus dibiarkan dalam jangka panjang akan berdampak buruk. Beberapa ekses negatif selama ini dapat penulis kelompokkan ke dalam tiga masalah. Pertama adalah masalah perbedaan kultur kampus. Pengelolaan kampus dalam dua pintu kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan Tinggi (dulu Kemendiknas) dan Kementerian Agama menjadikan beberapa perguruan tinggi yang berada di dua naungan kementerian tersebut memiliki paradigma ilmu pengetahuan yang berbeda. Perbedaan institusional tersebut juga berimbas pada cara berpikir para mahasiswanya, dan bahkan pola hidupnya. Mahasiswa Tuban pun terpolarisasi dalam dua paradigma ilmu pengetahuan ini, dimana perguruan tinggi umum yang dikelola Dikti cenderung meganggap ilmu pengetahuan itu bebas nilai (value free) sebagai adopsi dari world view Barat, sehingga seakan-akan tidak ada campur tangan agama di dalam ilmu pengetahuan. Disisi lain kampus-kampus agama di bawah naungan Kemenag sedang gencar-gencarnya menggalakkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of knowledge) yang menentang keras sekularisasi dan paham ‘ilmu bebas nilai’. Dalam bentuk yang ekstrim, kedua paradigma ini menjadikan Ormada tuban di kedua jenis kampus ini tidak mau melakukan interaksi yang terbuka dan cenderung menutup diri hanya pada internal Ormada-nya saja. Kedua, masalah gengsi antar kampus. Dalam pergaulan, biasanya terdapat perbedaan yang tajam antara mahasiswa Tuban yang kuliah di kampus negeri dan swasta, antara kampus besar dan kampus kecil, dan antara kampus mahal dan kampus murah. Kampus yang ternama mensiratkan para mahasiswanya adalah orang-orang yang cerdas, ber-IQ tinggi, profesional, tergolong kalangan menengah ke atas dan sebagainya. Sedangkan kampus yang kebih inverior terkesan mahasiswanya kurang cerdas, IQ-nya lemah, tidak profesional dan masuk kalangan menengah ke bawah secara ekonomi. Tidak dapat dipungkiri, pandangan dan gelagat seperti ini banyak ditemui di kalangan mahasiswa Tuban, yang menjadikan Ormada Tuban terpolarisasi dalam dua model kampus yang berbeda ini. Ketiga, adalah adanya sentimen ideologis dan politis dari gerakan mahasiswa yang berkembang di dunia kampus. Ormada Tuban adalah perkumpulan paguyuban mahasiswa Tuban yang terdiri dari lintas agama, lintas ideologi dan lintas pandangan politik. Ketika berada dalam naungan Ormada Tuban yang diikat oleh persamaan nasib yaitu sama-sama menimba ilmu di perguruan tinggi luar kota dan  lahir di daerah yang sama, maka berbagai warna bendera yang menjadi identitas setiap individu mahasiswa Tuban harus dilebur jadi satu dalam Ormada Tuban dengan visi yang sama, yaitu persaudaraan dan pengabdian. Latar belakang perbedaan tersebut justru harus dijadikan kekayaan sumber daya para anggota Ormada Tuban yang sangat bermanfaat bagi berjalannya organisasi. Jika di dalam tubuh Ormada Tuban ini ada motif ideologis dan politis yang sengaja disebarkan, maka akan menyebabkan kehancuran Ormada Tuban  sendiri di masa mendatang.

Menghapus Perbedaan Menyemai Kebersamaan
            Beberapa ekses di atas harus segera dicarikan solusinya dan jangan dibiarkan terus berlarut-larut. Segala ekses negatif di atas dapat diminimalisir dan bahkan dihapus dengan jalan tiap Ormada Tuban di  internal kampus yang memiliki beragai macam nama itu mau untuk membuka diri dan berdialog dengan Ormada sejenis di kampus lainnya. Membuka diri berarti bersedia untuk menerima kritik dan saran yang membangun bagi organisasinya, baik yang berasal dari internal organisasi atau dari luar. Kemudian membiasakan mangadakan forum-forum dialog antar Ormada Tuban dari kampus-kampus yang berbeda. Dari komunikasi tersebut akan ada saling share kekurangan dan kelebihan masing-masing, sehingga satu sama lain dapat saling belajar memperbaiki kekurangannya. Proses dialog yang intens perlahan-lahan akan dapat mengurangi ekses-ekses negatif di atas. Beberapa waktu yang lalu sempat ada forum bersama dari berbagai Ormada Tuban yang membahas bagaimana masa depan Ormada Tuban ini. Dari forum itu diputuskan di tiap perguruan tinggi luar kota Tuban harus dibentuk sebuah Ormada Tuban yang bertujuan mengumpulkan dan menyatukan para mahasiswa asal Tuban dengan nama dan model masing-masing kampus. Kemudian dalam tataran yang lebih luas dibentuk semacam forum komunikasi antar Ormada Tuban di semua kampus di tiap kota besar. Contoh baik adalah adanya FKMRT (Forum Komunikasi Mahasiswa Ronggolawe Tuban) se-Surabaya dan KPMRT (Keluarga Pelajar Mahasiswa Ronggolawe Tuban) se-Yogyakarta serta IMRT (Ikatan Mahasiswa Ronggolawe Tuban) di Jakarta. Ketiga bentuk forum komunikasi ini menjadi model yang akan dikembangkan ke depan, walaupun di dalamnya masih banyak kekurangan. Secara internal, Ormada di tiap kampus memiliki wadah sendiri dengan nama-nama yang berbeda dan menjalankan program organisasinya, kemudian agar dapat berinteraksi dengan Ormada-Ormada Tuban lain, maka dibentukah forum komunikasi seperti di atas. Demikian seterusnya, forum tersebut dibentuk di tiap kota besar yang di sana banyak terdapat mahasiswa asal Tuban, sampai pada level nasional. Akan tetapi semuanya masih terhenti pada tataran gagasan, oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang ini adalah aksi tindakan nyata untuk merealisasikan hal itu.
Kerjasama dengan Pemerintah KabupatenTuban
            Soliditas Ormada Tuban baik di internal dan eksternal kampus yang sudah terjalin harus di sertai dengan kejelian membaca peluang yang ada. Peluang-peluang yang dimaksud di sini adalah adanya kebijakan maupun program-program dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi maupun Pemkab Tuban sendiri. Dari program-program tersebut dicari yang berhubungan dengan kegiatan sosial bagi masyarakat Tuban, terutama yang membutuhkan. Apabila di dalam program-program tersebut terdapat peluang kerja sama, maka itu dapat dilakukan, yaitu bekerja sama antara Ormada Tuban dengan dinas pemerintah terkait untuk melalukan program kegiatan secara bersama. Apabila kesepakatan kerjasama itu berhasil, maka Ormada akan mendapatkan bantuan fasilitas dan dana yang memadai. Selama ini, hubungan dengan dinas terkait hanya sebatas koordinasi, belum sampai pada kerja sama yang serius. Seperti pameran pendidikan maupun bhakti sosial, masih dalam batas berkoordinasi dengan dinas pendidikan dan dinas sosial. Oleh sebab itu, diperlukan langkah yang real untuk menuju ke arah kerja sama, yaitu dengan melakukan audiensi atau forum bersama antara semua Ormada Tuban dengan Pemkab Tuban, dimana di sana dijelaskan program-program Ormada selama se-periode yang dicocokkan dengan program pemerintah, dan mencari peluang-peluang kerja sama yang dapat dilakukan. Sebetulnya, sudah menjadi kewajiban Pemkab Tuban untuk memfasilitasi dan mendukung program-program yang dilakukan Ormada Tuban yang sampai saat ini itu sangat minim diberikan. Walaupun begitu, Ormada sebagai bagian dari people power masyarakat Tuban juga tidak boleh kehilangan daya kritisnya terhadap segala penyelewengan yang dimungkinkan dilakukan oleh pemerintah.
Menyiapkan Wadah Lanjutan
            Hal lain yang perlu dilakukan adalah menyiapkan wadah lanjutan bagi para alumni Ormada Tuban tersebut. Selepas menimba ilmu di perguruan tinggi, kesibukan para alumni Ormada Tuban ini adalah masuk di dunia kerja. Mereka banyak yang berkarir di dalam wilayah Tuban sendiri dan ada yang memilih berkarir di luar Tuban. Di dalam wilayah Tuban, mereka dapat memanfaatkan jaringan alumni organisasi ini untuk berkarir dan bersama melakukan kiprah sosial dengan mendirikan sendiri Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Tuban, atau masuk pada Ormas-Ormas agama ataupun sosial yang sudah ada. Di mana semuanya diorientasikan untuk melanjutkan peran sosial dan pengabdian kepada daerah kelahiran kita. Sedangkan bagi para alumni Ormada Tuban yang berada di luar kota—yang kebanyakan kota-kota besar—dapat masuk pada organiasi paguyuban Tuban yang sudah ada, atau yang belum ada dapat mendirikannya. Misalnya di Jabodetabek ada PAWARTA (Paguyuban Warga Jakarta Asal Tuban) dan di Surabaya ada Paguyuban Ronggolawe. Anggota perkumpulan tersebut diisi oleh para pengusaha, dosen, tenaga profesional, pegawai pemerintah dan lain sebagainya yang berasal dari Tuban. Setelah berkiprah di Ormada Tuban selama menjadi mahasiswa, maka wadah selanjutnya adalah masik dalam perkumpulan warga Tuban yang berada dalam perantauan. Jaringan antara Ormada Tuban dan paguyuban warga asal Tuban ini dapat menjadi sarana untuk memberikan kiprah pengabdian bagi Tuban, meskipun mereka berada di luar wilayah Tuban. Demikian terus selanjutnya dari generasi ke generasi, melestarkikan persaudaraan, sukses bersama dan memberikan peran bersama sekecil apapun bagi kebaikan daerah dan masyarakat Tuban.
Wallahu 'A’lam……

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.