0
Catatan Harian Soe Hok Gie
Posted by Unknown
on
14.45
in
Book Review
Mengawali tulisan ini, saya ingin terlebih dahulu nyuwun
sewu kepada para aktivis—atau kalau bukan mantan aktivis—dalam artian yang
sesungguhnya. Para pembaca mungkin menjadi inisiator, konseptor dan eksekutor
tiap aksi demonstrasi. Berbeda dengan saya yang kalau boleh saya hitung cuman
dua kali ikut-ikutan turun jalan, yaitu sekali di depan Kejati Jatim dan sekali
lagi di depan pintu gerbang Polda Jatim. Kemudian seingat saya sekali di dalam
kampus, nglurug penyelenggara KKN yang kurang bertanggung jawab kala
itu. Sungguh tiada seujung kukunya dengan peran pembaca sekalian di lapangan,
ketiga aktif dalam berbagai gerakan mahasiswa, apalagi dengan tokoh yang kita
kaji kali ini, Soe Hok Gie.
Buku yang berjudul
“Soe Hok Gie; Catatan Seorang Demonstran” ini terbitan LP3ES, cetakan ke 13.
Jumlah cetakan yang fenomenal menunjukkan banyaknya angka eksemplar yang
terjual ke pasar. Buku ini berisi xxx + 585 halaman, dengan penyunting yang
memang kawakan, yaitu Ismid Haddad, Fuad Hashem, Aswab Mahasin, Ismet Nasir,
dan Daniel Dakhidae. Pengantar diberikan oleh Prof. Harsja W. Backtiar yang
merupakan Dekan Fakultas Sastra UI, tempat Gie belajar, Kakak Gie Sendiri—Arief
Budiman—yang menjadi Dosen di Universitas Melbourne Australia, Mira Lesmana dan
Riri Riza yang merupakan pasangan sutradara-produser yang memiliki ide
memfilmkan buku catatan harian Gie ini. Buku ini terdiri dari 8 bagian, yaitu
bagian I berisi ulasan panjang analitis yang ditulis oleh Daniel Dakhidae
bertajuk “Soe Hok Gie; Sang Demonstran”. Isinya menguliti sosok Gie menurut
kacamatanya sendiri yang sedikit banyak ia bandingkan dengan catatan serupa
milik Ahmad Wahib. Bagian II berisi catatan Gie di masa kecil sekolah, bagian
II meliputi kegiatannya diambang remaja, bagian III tulisannya diambang remaja,
bagian IV bertajuk lahirnya seorang aktifis, bagian V berisi tulisannya semaca
aktif menjadi demonstran, bagian VI bertajuk perjalanan ke Amerika, bagian VII
bertajuk Politik, Pesta dan Penguasa dan kemudian bagian VIII (terakhir)
bertajuk mencari makna.
Namun
sebatas pengamatan dan keterbatasan saya, saya hanya akan mengupasnya dalam
tiga bagian. Pertama adalah bahwa
semenjak kecil Soe Hok Gie adalah anak yang kutu buku, intim dengan teman, idealis,
dan berani melawan ketidak-adilan. Ia lebih banyak menghabiskan waktu membaca
dan membaca buku. Terutama bacaan sastra dan politik. Ia melahap hampir semua
buku sastra baik novel, maupun kumpulan puisi. Ia banyak mengetahuinya bahkan
melebihi gurunya sendiri apalagi teman-temannya. Intim dengan teman, ia adalah
tipe orang yang setia kawan. Dalam catatannya pada bagian awal, hampir semuanya
berisikan kehidupannya dibangku sekolah, tentang teman-temannya lengkap dengan
namanya masing-masing. Tentang nilai pelajarannya yang sangat rigid ia tulis
angka-angkanya dan diperbandingkan dengan nilai teman-temannya. Ini menunjukkan
kesungguhan dan totalitasnya dalam belajar menguasai seluruh mata pelajaran. Idealis
dan berani melawan, ini dapat kita ketahui ketika ia berdebat dengan gurunya
mengenai macam-macam karangan. Dimana ia protes pada gurunya bahwa karya
terjemahan dari Chairil Anwar tidaklah dapat dianggap karangan Chairil Anwar,
yang berjudul “Pulanglah Ia Si Anak Hilang”. Ia menentangnya habis-habisan, karena
dia menilai gurunya ini telah lupa macam-macam karangan. Pertentangan dengan
gurunya yang lain berujung pada tidak dinaikkannya ia ke kelas selanjutnya
sewaktu SMA. Akibatnya ia menentang tetap tak mau tinggal kelas, karena ia
merasa nilainya/prestasinya sangat baik. Akhirnya ia memaksa orang tuanya untuk
memindahkan dirinya ke sekolah lain. Selanjutnya ia pun pindah, demi
mempertahankan harga diri dan idealismenya. Ia tak mau tunduk pada keputusan
yang tidak berkeadilan. Keputusan tidak menaikkan kelas dirinya itu merupakan
bentuk ketidak-adilan atas dirinya yang harus ditentang sampai titik darah
penghabisan. Slogannya yang terkenal, “guru tidak selalu benar dan murid
bukanlah kerbau”.
Kedua,
Ia adalah sosok pemikir muda yang anti tendensi politik. Itu dapat kita lihat
dalam aktifitanya mendirikan MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam). Ia pun
mengirimkan delegasi dari MAPALA untuk mengikuti pemilu raya kampus. Dan
wakilnya berhasil menang menjadi Ketua Senat Universitas Indonesia. Ia membawa
gerbong baru mahasiswa, gerbong mahasiswa yang suka mendaki gunung dengan
berbagai aktifitas pecinta alam dan diskusi pemutaran film. Dari sini dapat
kita pahami bahwa mahasiswa harus bebas menyalurkan minat dan bakatnya
semaksimal mungkin. Kemudian pada sisi lain ia menancapkan sebuah independensi
dalam berpikir. Mahasiswa harus bebas mengeluarkan pikiran-pikirannya terkait persoalan
bangsa sebebas-bebasnya dengan independen. Ia tak boleh terpengaruh dengan baju
politis berbagai gerakan mahasiswa yang memasung kebebasan (saat itu), karena
semuanya seakan menuhankan ideologinya masing-masing dan berjuang hanya demi
kepentingan organisasinya, bukan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.
Terakhir, ia
adalah termasuk penyumbang terhadap robohnya orde lama dibawah kepemimpinan
Soekarno. Soekarno dikritiknya habis-habisan. Terutama yang bisa saya tangkap
adalah ide demokrasi terpimpinnya yang menurut Gie adalah demokrasi yang palsu
belaka. Demokrasi hanya menjadi bungkus, yang didalamnya adalah tetap
bercokolnya otoritarianisme. Kedua adalah tentang kebiasaan gaya hidup Soekarno
yang berlagak bagai raja Jawa yang suka gonta-ganti istri. Baginya wanita tak
lebih hanyalah alat eksploitasi hawa nafsu. Dalam bahasa yang lugas, ia
mengatakan istana saat itu tak ubahnya seperti tempat pelacuran.
`Gie meninggal di usia muda, saat
mendaki gunung Semeru, gara-gara menghirup sara beracun. Seandainya ia bisa
lebih lama lagi hidup, mungkin akan lebih banyak lagi tulisannya yang bisa kita
nikmati hingga sekarang. Namun, mungkin arwah Gie justru bersyukur, karena
memang ia tak ingin mati tua. Ia takut kalau-kalau pada masa tuanya ia akan
mengalami inkonsistensi dalam membela idealismenya. Seperti kaum-kaum tua yang
selalu ia kritik dengan lantang dalam tulisan-tulisannya.
Wallau A’lam.