0
Melihat dengan Kearifan; Tanggapan atas Tulisan Sahabat KPMRT Jogja
Posted by Unknown
on
15.01
in
Tubanku
Campus Festival 2017, demikianlah
tajuk sebuah kegiatan yang dikemas dalam pameran perguruan tinggi yang diikuti
oleh tigapuluhan kampus. Peserta dari kegiatan ini adalah mahasiswa asal Tuban
yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia mewakili kampusnya
masing-masing. Tujuan mereka sederhana, dimana agar adik-adik yang sedang
menimba ilmu di bangku SMA-MA-SMK tidak kebingungan, tatkala mempersiapkan diri
melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.
Kegiatan ini
telah rampung dilaksanakan, pada tanggal 21 s/d 23 Januari 2017 yang dirangkai
dengan kegiatan bhakti sosial oleh segenap panitianya. Kegiatan tahun ini
terbilang sukses, karena kampus yang mengikuti pameran meningkat
jumlahnya—hingga 37 perguruan tinggi—yang meliputi perguruan tinggi negeri dan
swasta yang tersebar di Surabaya, Madura, Malang, Bali, Semarang, Solo,
Yogyakarta, Jakarta dan sebagainya, yang tak kalah pentingnya adalah seluruh
perguruan tinggi di Kota/Kabupaten Tuban sendiri ikut meramaikan. Campus
Festival kali ini adalah estafet dari kegiatan serupa yang diadakan tahun lalu
oleh komunitas mahasiswa Tuban yang berada di Malang dan dari tahun-tahun
sebelumnya lagi, dimana kali ini dilaksanakan oleh para mahasiswa Tuban yang
belajar di Surabaya dan Madura yang membentuk kepanitiaan dengan nama
“Suramadu”.
Tulisan ini
bukan saya tujukan untuk lebih jauh mengupas proses berjalannya kegiatan, namun
sekedar tanggapan terhadap sebuah tulisan sahabat KPMRT (Keluarga Pelajar dan
Mahasiswa Tuban) di Yogyakarta yang beberapa hari lalu dirilis di websitenya.
Apa yang ditulis oleh sahabat tersebut kurang lebih berkisar pada dua isu
besar. Pertama, adalah kesan yang terlihat dan terasa oleh ketika
menjadi peserta Campus Festival. Dia merasa bahwa sebagian besar mahasiswa yang
mengikuti pameran ini sedang terjebak dalam euforia egoisitas kampus. Mereka
terlalu membangga-banggakan kampus tempat mereka belajar dan bersifat eksklusif
terhadap kampus-kampus yang lainnya, dengan menonjolkan ke-”aku”-annya dan
seakan tak pernah terlintas di benaknya untuk mengekspresikan ke-“kita”-annya
sebagai warga Tuban. Ini terlihat dalam seragam yang dikenakan masing-masing
kampus, hampir semuanya mengenakan pakaian seragam sebagai identitas Orda
(Organisasi Daerah) di tiap kampusnya dan berbangga diri dengan hal itu. Ini
sangat berbeda dengan kostum yang dikenakan oleh para sahabat KPMRT yang
bergabung satu stand saja (padahal di dalamnya terdiri dari beberapa kampus di
Yogya) dengan pakaian bebas tanpa seragam, sesuka hati mereka. Betapa
teman-teman yang lain tersebut telah terkooptasi dengan indahnya bungkus, tanpa
sama sekali mementingkan isi atau esensi yang ada di dalamnya.
Kedua, adalah
ikon “Tuban Bumi Wali” yang ditanggapi nyinyir oleh sahabat kita ini. Dia
menyatakan entah ada kaitannya atau tidak antara tempat kegiatan yang diadakan
di Budaya Loka yang itu berdekatan dengan ikon “Tuban Bumi Wali” itu di sebelah
timurnya, sehingga mahasiswa yang seharusnya lebih mementingkan isi malah
tertipu oleh silaunya seragam dan kebanggaan kampusnya, tanpa mengetahui lebih
mendalam kondisi real Kabupaten Tuban dengan seabrek permasalahannya. Begitu
halnya slogan “Tuban Bumi Wali” yang sangat besar terpampang di bundaran timur
gedung Budaya loka itu dan satu lagi yang baru-baru ini dipasang di depan
kantor DPRD Tuban. Dengan bahasa lain saya perjelas, menurutnya, slogan ini
adalah slogan bungkus yang mengaburkan esensi kondisi real seperti apa Tuban
itu. Slogan ini menjadikan warga Tuban besar kepala, karena mensiratkan seluruh
warganya itu dekat dengan Tuhan atau dekat dengan surga. Atau malah ikon ini
sengaja dibuat untuk pajangan agar indah sebagai background foto
adik-adik SMA yang sedang lewat. Ia ingin memahamkan bahwa masyarakat telah
sebegitu jauhnya ternina bobokkan oleh bungkus-bungkus yang memang sengaja
dibuat oleh Si pemegang kekuasaan agar lupa dengan isi, lupa dengan kondisi
real yang mereka alami akibat kebijakan-kebijakan penguasa.
Dua entri
point ini tak ingin saya counter atau saya kritisi, karena sedikit banyak saya
sangat setuju dengan isinya. Bahwa kita tetap harus mementingkan isi atau
esensi dari pada bungkus. Akan tetapi hal yang perlu saya jabarkan adalah
perlunya kita memandang fenomena Orda Tuban ini dengan kearifan. Kearifan yang
saya maksudkan adalah kita tak bisa menyamaratakan konteks semua kampus dan
daerah dimana kampus itu berada. Konteks kampus adalah tipikal masing-masing
kampus, dimana ada macam-macam kampus, seperti kampus Negeri dan Swasta, kampus
di bawah Diknas dan Depag, kampus elit dan tidak elit, kampus swasta mahal dan
kampus swasta kecil yang sepi peminat. Sedangkan konteks daerah adalah kondisi
geografis daerah dan iklim akademik di tiap daerah tidaklah sama, dimana
sedikit banyak antara kondisi geografis dan iklim akademik tersebut dapat
terkorelasi. Semisal Surabaya yang panas dan persaingan kerja yang teramat
ketat, membuat pola pikir mahasiswa terkonstruk menjadi pragmatis, bagaimana
mereka bisa dapat nilai bagus dan cepat lulus kuliah kemudian bekerja. Malang
misalnya, kondisi geografis yang dingin dengan menjamurnya tempat wisata, baik
yang alami atau buatan, menjadikan mahasiswa lebih suka berpetualang mendaki
gunung atau menjelajah tempat wisata di waktu luangnya. Berbeda halnya (mungkin)
dengan Yogyakarta yang sudah masyhur di mana-mana sebagai kawah candradimukanya
kaum intelektual, gudangnya para seniman dan tempat bersemainya
multikulturalisme. Kegiatan pergerakan mahasiswa tumbuh subur, diskusi-diskusi
berjalan, idealisme benar-benar dipupuk dan dikembangkan, hal ini menciptakan
iklim akademik yang sangat baik dalam rangka pengembangan kapasitas
intelektual.
Konteks inilah
yang harus kita perhatikan. Perbedaan-perbedaan tipe kampus dan daerah dimana
kampus berada, turut memberi andil dalam mengkonstruk paradigma berpikir, gaya
hidup dan bahkan sampai cara bicara mereka. Artinya, konteks ini jangan kita
abaikan, tatkala ingin mempersatukan semua mahasiswa Tuban. Hal semacam ini
sudah sejak lama dibicarakan sahabat-sahabat mahasiswa Tuban angkatan ‘07-‘08 semenjak
enam tahun yang lalu di warung-warung kopi. Penyatuan dalam wadah yang lebih
luas adalah ibarat payung yang bisa menjadi tempat berteduh bagi semua orda
Tuban yang bertebaran. Payung ini dapat menjadi wadah bergerak secara bersama-sama
dan menanggalkan egoisitas-eksklusifitas masing-masing kampus. Bergerak
bersama-sama dalam artian mengadakan kegiatan dalam skala besar dan dengan satu
nama, “mahasiswa Tuban”, tak peduli dari Desa mana dan dari kampus apa ia
berasal. Tetapi kita jangan berharap intensitas kegiatan dan intensitas
berkumpul mereka, buatlah agenda tahunan tiga atau ampat buah saja. Karena
jarak yang sangat jauh, lintas kabupaten, lintas propinsi dan bahkan lintas
pulau.
Kesepakatan
lain pula yang sudah selesai dibahas kala itu adalah, adanya payung besar ini
sebagai stimulis terbentuknya orda-orda Tuban di kampus-kampus yang belum
terbentuk. Biarlah orda-orda Tuban di tiap kampus terbentuk, dengan apapun
namanya, dengan se-intensif apapun kegiatannya. Karena di internal kampuslah
mereka dapat intensif bertemu dan berkegiatan, sedangkan di luar kampusnya
mereka akan memiliki jaringan orda yang lebih luas dengan payung mahasiswa
Tuban itu tadi. Adanya penyatuan tadi, bukan dalam maksud peleburan semua orda
yang sudah ada dengan namanya masing-masing untuk berubah menjadi satu nama,
akan tetapi justru sebagai penyemai terbentuknya masing-masing orda di internal
kampus yang belum ada. Sedangkan dalam konteks antar kampus, kita memiliki
payung yang lebih luas, se-Indonesia (kalau bisa).
Terakhir satu
hal lagi yang terpenting, adalah keterlibatan semua kampus di dalam Kota dan
Kabupaten Tuban sendiri. Saya sebut Kabupaten karena di wilayah Tuban selatan
juga mulai berdiri kampus-kampus kecil yang juga harus diperhitungkan.
Orda-orda Tuban di luar Tuban boleh berbangga dengan kebesaran kampusnya,
tetapi mereka harus kulo nuwun dan sendhika dhawuh dengan
mahasiswa di dalam wilayah Tuban sendiri—yang terepresentasikan oleh Pengurus
BEM—di tiap kampus. Merekalah yang paling mengerti dengan kondisi riil Tuban,
dari implementasi kebijakan Pemkab Tuban sampai keadaan sebenar-benarnya
masyarakat Tuban sampai di pelosok-pelosok. Oleh sebab itu, dalam proses ini,
mereka wajib dilibatkan dan diajak untuk bicara.
Apabila kita
bisa arif dalam melihat, maka kita akan bijak dalam bersikap, tak terkecuali
dalam merajut simpul-simpul mahasiswa Tuban yang masih terserak. Jangan
khawatir, Anda tidak sendirian, kaum-kaum yang sudah purna kuliah dengan
beragam profesinya selalu mengawasi, melihat dari jauh dan memberikan back up
penuh, karena sedari awal niat ini berangkat dari ketulusan hati semata-mata
untuk Tuban tercinta.
Wallahu A’lam.
Posting Komentar