0

DINASTI SHAFAWIYAH DI PERSIA

Posted by Unknown on 08.17 in
 



 
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Cemerlangnya peradaban Islam, berjaya pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Sekian abad kejayaan Islam, berakhir setelah serangan Mongol terhadap seljuk pada tahun 1300 M, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tecabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Namun, kamalangan tidak berhenti sampai di situ. Timur Lenk, pemimpin bangsa mongol saat itu, juga menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Setelah Dinasti Abbasiyah mengalami kehancuran, kondisi politik umat Islam secara keseluruhan mengalami kemajuan, umat Islam bangkit kembali setelah terbentuknya tiga kerajaan besar yaitu : Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India. Kerajaan Usmani di samping yang pertama berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibanding kedua kerajaan lainnya. Turki Usmani dianggap sebagai dinasti yang mampu menghimpun kembali umat Islam setelah beberapa lama mengalami kemunduran politik.
Pada waktu kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaan, kerajaan Safawi di Persia masih baru berdiri. Gerakan Safawiyah memprakarsai penaklukan Iran dan mendirikan sebuah baru yang berkuasa dari 1501 sampai 1722. Sang pendiri mengawali gerakannya dengan seruan untuk memburnikan dan memulihkan kembali ajaran Islam.
Namun pada kenyataannya, kerajaan ini dapat berkembang dengan cepat. Nama safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat Safawiyah menjadi gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi. Kerajaan ini mampu mempersatukan seluruh daerah Persia sebagai satu negara yang besar dan independen. Kerajaan Mughal berdiri, setelah seperempat abad berdirinya kerajaan Safawi, kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kotanya. kerajaan Mughal bukanlah kerajan Islam pertama di anak Benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa khalifah al-Walid dari Dinasti Bani Umayyah. Akan tetapi Kerajaan Mughal termasuk salah satu kerajaan yang sangat berperan penting  dalam membangun peradaban Islam.
B.    Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, rumusan masalahnya antara lain:
a.        Bagaimna Terbentuknya Dinasti Shafawiyah dari Gerakan Tarekat ke Panggung Politik?
b.       Bagaimana Puncak Kejayaan Kerajaan Shafawiyah?
c.        Bagaimana Kemunduran Kerajaan Shafawiyah?
d.       Siapa Saja yang Pernah Memimpin Kerajaan Shafawiyah?
e.        Apa Kontribusi Dinasti Shafawiyah bagi Peradaban Iran Modern?
C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
a.        Untuk Mengetahui Sejarah Terbentuknya Dinasti Shafawiyah dari Gerakan Tarekat ke Panggung Politik.
b.       Untuk Mengetahui Puncak Kejayaan Kerajan Shafawiyah.
c.        Untuk Mengetahui Kemunduran Kerajaan Shafawiyah.
d.       Untuk Mengetahui Siapa Saja yang Pernah Memimpin Kerajaan Shafawiyah.
e.        Untuk Mengetahui Kontribusi Dinasti Shafawiyah bagi Peradaban Iran Modern.

PEMBAHASAN
A.    Terbentuknya Dinasti Shafawiyah dari Gerakan Tarekat ke Panggung Politik
Dinasti Shafawiyah di Persia berkuasa antara Tahun 1502-1722 M. Dinasti Shafawiyah merupakan kerajaan Islam di Persia yang cukup besar. Awalnya kerajaan Shafawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Shafawiyah, yang diambil dari pendirinya, yang bernama Shafiuddin (1252-1334 M), dan mana Shafawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yaitu “Kerajaan Shafawi”.[1]
a)     Dari Gerakan Tarekat
Berdirinya kerajaan Shafawiyah bisa dikatakan sangat aneh. Karena proses pendiriannya semula adalah gerakan religius tarekat, kemudian menjadi besar dan akhirnya orientasinya bergeser berubah menjadi gerakan politik yang merongrong kekuasaan kerajaan. Sampai akhirnya berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang bermadzhab Syi’ah ortodoks. Syi’ah yang tidak mengakui plurarisasi madzhab, sehingga itu pula yang menghantarkannya sampai pada kemundurannya karena perang dengan Kerajaan Turki Utsmani, kerajaan yang lebih besar dan bermadzhab Sunni. Seperti yang diungkapkan oleh Douglas E. Streusand di bawah ini;
“Shaykh Safi, the founder and namesake of the Safavid Sufi order, lived from 1252 or 1253 to 1334. He established a typical order of mystics, without a political agenda or a sectarian Shii allegiance. The Safavid order’s transformation into an organization of religious extremists with a political agenda was not unique in its context. In the thirteenth, fourteenth, and fifteenth centuries, a variety of extremist religio-political movements developed in greater Iran and Anatolia. The Babai movement, mentioned earlier, was perhaps the first of them. They espoused ghuluww ideology, denied the legitimacy of existing political arrangements, and generally focused on a messianic figure who would bring true justice. One such group, the Sarbadars, combined peasants, urban dwellers, and rural notables in an uprising against Mongol rule in Khurasan in 1337 and es- tablished a state that survived for fifty years, the only state in greater Iran in that era not to claim some form of Mongol legitimacy. Another group, the Mushasha, began as an uprising against Timurid rule in Khuistan. Its leader, Sayyid Muhammad ibn Falah, claimed to be the Mahdi but succeeded only in establishing a durable provincial dynasty. Clearly, the political and religious atmosphere of this period fostered revolutionary and messianic expectations. The mixture of political disorder, the breakdown of the structure of Sunni authority after the destruction of the Abbasid caliphate, responses to the presence and rule of the non-Muslim Mongols, and the interaction of popular or folk Islam with Sufi theory all contributed to the mixture.”[2]

Shafiuddin berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Shafiuddin merupakan keturunan dari Imam Syi’ah yang ke enam, yaitu Musa al-Kazhim. Gurunya bernama Syeh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid  al-Ghilani. Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Shafiuddin diambil menantu oleh gurunya tersebut. Shafiuddin mendirikan Tarekat Shafawiyah setelah ia menggantikan guru yang sekaligus juga mertuanya yang wafat pada Tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Shafawiyah bertujuan memerangi orang-orang yang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut sebagai ahli-ahli bid’ah.[3] Gerakan tarekat tersebut semakin penting artinya, terutama setelah ia merubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal, menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia. Untuk memimpin memimpin murid-muridnya di gelar “khalifah”. Dalam perkembangan selanjutnya wakil ini menjadi komandan perang. Kemudian terjadi perubahan yang signifikan, yaitu murid-murid tarekat tersebut berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik terhadap kepercayaannya dan menentang setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka.
b)          Mulai Mengarah ke Politik
Sesuatu konsekuensi logis yang sulit dihindari, bahwa suatu paham yang dipegangi secara fanatik, menghasilkan sikap intoleran terhadap pihak lain yang berbeda paham, bahkan mereka memilki ambisi untuk menguasai pihak lain tersebut. Untuk merealisasikan ambisi tersebut mereka membutuhkan kekuasaan.[4] Demikian halnya dengan gerakan Tarekat Shafawiyah. Setelah berhasil menyebarkan pengaruhnya di berbagai wilayah, mereka mulai mengatur kekuasaan. Kecenderungan untuk memasuki dunia politik mulai tampak wujud nyatanya pada waktu gerakan tarekat tersebut di pimpin oleh Junaid (1447-1460 M). Propaganda yang gencar dilakukan oleh para penerusnya dalam upaya mengembangkan kekuasaan di sekitar Anatolia yang pada masa itu berada pada kekuasaan Qara Qayunlu dan Aq-qayunlu, dua diantara suku kuat di Turki, sehingga terjadi konflik antara Junaid dengan dua penguasa tersebut. Dalam konflik tersebut, Junaid kalah dan akhirnya diasingkan ke suatu tempat. Dalam pengasingannya, dia bertemu dengan Uzun Hasan, yang kemudian juga menjadi saudara iparnya, karena Junaid berhasil mempersunting saudara perempuan Uzun Hasan. Kemudian, dari perkawinan tersebut, Junaid memiliki anak yang diberi nama Haidar, semasa kecilnya, Haidar berada dalam asuhan Uzun Hasan. Hubungan Haidar dan Uzun Hasan makin erat, hal itu dkarenakan setelah dewasa Haidar mengawini salah seorang putri Uzun Hasan. Dari perkawinan tersebut, lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Shafawi di Persia.[5]
c)      Proklamasi Kerajaan Shafawiyah
“The sentere’s conrributions “culture”, broadly construed, during Ismail’s reign recall the somewhat limited scale of thoseo of his Aqquyunlu and especially  Qaraquyunlu predecessors. While these pale in comparison with Mongol nd Timurid, let alone later Safavid, patronage, the Safavids’ early-projected association with a distinctly Persian cultural discourse at once cast the project as an successor to the region’s earlier polities in this regard and bespoke Qizilbash recognition of the cultural legacy of their Tajik ssociates whose skills were so essential to the administration of the realm. Other Tajiks were thereby reassured as to the legitimacy of their presence in, and the importance of their involvement to, the Safavid Project.”[6]
Pada saat itu, pimpinan tarekat Shafawiyah berada di tangan Haidar, sebagai penerus dari Junaid. Secara resmi kepemimpinan gerakan Shafawi diserahkan kepadanya pada Tahun 1470 M. Haidar membuat perlambang baru dari pengikut tarekatnya, yaitu “serban merah” yang mempunyai 12 Jambul, sebagai lambang dari 12 Imam yang diagungkan dalam madzhab Syi’ah Isna Asyariyah.[7] Pada Tahun 1476 M, Aq-Qayunlu melakukan penyerangan terhadap Qara Qayunlu, dan akhirnya berhasil mendapatkan kekuasaan. Aq-Qayunlu yang melihat gerakan militer Shafawiyah di bawah pimpinan Haidar semakin besar, menjadikan ia dijadikan rival politik oleh Aq-Qayunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Akhirnya, Aq-Qayunlu berusaha melenyapkan kekuasaan Dinasti Shafawi. Pasukan Haidar mengalami kekalahan dalam suatu peperangan di wilayah Sircassia yang mengakibatkan Haidar terbunuh. Untuk selanjutnya, kepemimpinan gerakan Shafawiyah diberikan kepada putra Haidar, yaitu Ismail. Selama lima Tahun Ismail bersama pasukannya berarkas di Gillan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syiria, dan Anatolia. Pasukan yang disiapkan tersebut dinamakan “Qizilbash” (Baret Merah).[8]
Pada Tahun 1501 M, Isma’il ibn Haidar (kemudian disebut Ismail I) memimpin pasukan Qizilbash menyerang Aq-Qayunlu di Sharus, dekat Nakhcivan dan berhasil mengalahkannya. Dia dan pasukannya berhasil merebut Azerbaijan. Di sini, ia memplokamirkan dirinya sebagai raja pertama Kerajaan Dinasti Shafawiyah. Ia memerintah selama  23 Tahun (1501-1524 M). Pada sepuluh tahun pertama, ia berhasil mengembangkan sayap kekuasaan hingga meliputi seluruh Persia.[9]
Tidak sampai di situ, ambisi politik mendorong Ismail untuk terus mengembagkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya, seperti Turki Usmani. Namun, itu tidaklah mudah, karena Kerajaan Turki Utsmani adalah Negara yang besar dan juga sangat membenci golongan Syi’ah.
B.  Puncak Kejayaan Kerajaan Shafawiyah
Kerajaan Shafawiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa Raja Abbas I (1588-1628 M). Kebijakan Raja Abbas untuk memulihkan kerajaannya adalah:[10]
1.       Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang berasal dari budak-budak dan tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia.
2.       Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan jalan menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan disamping itu Abbas berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar dan Usman) dalam khutbah-khutbah Jum'at. Sebagai jaminan atas syarat itu, Abbas menyerahkan saudara sepupunya Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul.
Adapun kemajuan-kemajuan peradaban yang dicapai pada Dinasti Shafawiyah yang dipimpin oleh Raja Abbas I ini adalah:
a.        Dalam bidang ekonomi.
Ia berhasil meredam gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Turki Usmani. Stabilitas Hurmuz dikuasai mereka dan pelabuhan lautnya dijadikan salah satu jalur perdagangan laut antara Timur dan Barat yang biasa diperebutkan oleh Inggris, Belanda dan Perancis.[11]
b.       Bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.[12]
Sepanjang sejarah Islam Persia di kenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sejumlah ilmuan yang selalu hadir di majlis istana yaitu Baha al-Dina al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-Din al-Syaerazi, filosof, dan Muhammad al-Baqir Ibn Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog dan seorang yang pernah pernah mengadakan observasi tentang kehidupan lebah.
c.        Bidang pembangunan fisik dan seni.[13]
Kemajuan bidang seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah Isfahan sebagai ibu kota kerajaan ini. Sejumlah masjid, sekolah, rumah sakit, jembatan yang memanjang diatas Zende Rud dan Istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan kebun wisata yang tertata apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat sejumlah 162 masjid, 48 akademi, 1.802 penginapan dan 273 pemandian umum. Unsur lainnya terlihat dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, permadani dan benda seni lainnya.
C.   Kemunduran Kerajaan Shafawiyah
Sepeninggal Abbas I, Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husein (1694- 1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M) dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan Shafawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran. Raja Safi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi penyebab kemunduran Safawi karena dia seorang raja yang lemah dan sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu yang akhirnya mengakibatkan mundurnya kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh dalam pemerintahan sebelumnya (Abbas I).[14] Senyatanya perlawanan yang dilakukan terhadap Kerajaaan Turki Utsmani juga menimbulkan pengaruh yang sangat besar bagi Dinasti Shafawiyah. Antara lain seperti yang diungkapkan Zieneb Hatamzad, seorang kademisi di Azerbaijan, dia mengatakan:
“Eventually in 1603, Shah Abbas waged a war against Ottomans. It was their first war in the centurywith Ottomans, the result of which was Ottoman’s utter defeatand liberation of Tabriz. The four year long period of 1603-1607 was an era of triumph for the Safavid Empire; parts of Kurdistan, Lorestan, East of Armenia and Georgia were recaptured during the period by Safavid Army among whom Allahverdi Khan’s legion was highly distinguished for their valorous actions and skills. Safavid’s victories were due to Ottoman’s internal chaos as well.Internal skirmishes for acquiring authority, civil wars against domestic insurgents, feudal rebels and proletariat separatist of Anatolia and consecutive loss of battles against European countries were some of the internal chaos they should face in their country.”[15]

Dapat diambil pengertian, sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi adalah:
1.       Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani.
2.       Berdirinya kerajaan Safawi yang bermadzhab Syi'ah merupakan ancaman bagi kerajaan Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua kerajaan besar ini.
3.       Terjadinya dekandensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaaan  Safawi, yang juga ikut mempercepat proses kehancuran kerajaan ini. Raja Sulaiman yang pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama tujuh tahun tidak pernah sekalipun menyempatkan diri menangani pemerintahan, begitu pula dengan sultan Husein.
4.       Pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tinggi seperti semangat Qizilbash . Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Shafawi.
5.       Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.
D.  Silsilah Raja-Raja Kerajaan Shafawiyah
Ada 18 Raja yang pernah memimpin Dinasti Shafawiyah dari kemunculannya sebagai gerakan tarekat sampai mada kemundurannya (1252-1736 M). Nama raja-raja yang berkuasa tersebut antara lain:[16]
1.  Safiuddin (1252-1334 M)
Isma’il II (1576-1577 M)
Sadar al-Din Musa (1334-1399 M)
M. Khudabanda (1577-1787 M)
Khawaja Ali (1399-1427 M)
Abbas I (1788-1628 M)
Ibrahim (1427-1447)
Safi Mirza (1628-1642 M)
Junaid (1447-1460 M)
Abbas II (1642-1667 M)
Haidar (1460-1494 M)
Sulaiman (1667-1694 M)
Ali (1494-1501 M)
Husein (1694-1722 M)
Ismail I (1501-1524 M)
Tahmasp II (1722-1732 M)
Tahmasp I (1524-1576 M)
Abbas III (1732-1736 M)

E.   Kontribusi bagi Peradaban Iran Modern.
Pada masa Safawiyah, Iran melakukan perubahan yang luar biasa berkaitan dengan hubungan antara negara dan agama. Islam dipergunakan sebagai alat pemersatu masyarakat ke dalam gerakan moral dan politik yang lebih besar. Dalam hal mengembangkan paham kegamaan, Shafawiyah berhasil menyatukan aspek legal, gnostis dan bentuk-bentuk Islam popular lainnya. Penekanan sufisme yang dilakukan mengarah pada penggabungan sufisme gnostis dengan ide-ide filsafat dalam pembentukan paham Syi’ah Itsna Asy’ariyah dan pada penyebaran sikap pemujaan masyarakat umum terhadap Imam. Paham ini merupakan bagian integral dari Islam-Iran.[17]
Menurut hemat penulis, ada beberapa kontribusi Dinasti Shafawiyah bagi peradaban Iran modern, antara lain:
1.       Gerakan tarekat yang berawal dari Tarekat Shafawiyah pimpinan Shafiuddin yang beraliran Syi’ah ternyata masih dipegang teguh oleh seluruh penduduk Iran sampai saat ini, hal itu menyebabkan ikatan spiritualitas dan kesamaan ideologi seluruh rakyat Iran menyatu, yang menjadikan persatuan Iran menjadi kokoh dan tahan dari perpecahan.
2.       Walaupun Iran telah bermetamorfosis menjadi Negara Republik, pemerintah maupun rakyat Iran tetap berpegang teguh pada petuah atau fatwa Imam.
3.       Sumbangan ilmu pengetahuan dari zaman Kerajaan Shafawiyah masih membekas sampai sekarang, sehingga Iran sampai saat ini menjadi Negara yang independen dari hegemoni Amerika, Negara yang secara terang-terangan membela Palestina yang mayoritas sunni dan berhasil menjadi negara yang maju dalam bidang teknologi.
4.       Reformasi Iran yang di awali oleh Ali Syari’ati pada kisaran Tahun 1967-1973 M dan dilanjutkan dengan revolusi Iran pada Tahun 1979 M oleh Ayatullah Khomeini telah merubah sistem pemerintahan menjadi Republik Islam Iran, akan tetapi nilai-nilai paham Syi’ah tidak luntur sedikitpun dan ketaatan rakyatnya terhadap Imam tetap terjaga.

SIMPULAN
Rasa fanatisme madzhab dalam beragama yang dilakukan oleh tarekat Shafawiyah menyebabkan banyak pertumpahan darah yang mengatasnamakan agama, padahal dalam Islam tidak ada ajaran untuk berperang dengan sesame muslim hanya karena perbedaan madzhab.
Puncak Kejayaan Dinasti Shafawiyah pada masa Abbas menjadikan Negara Iran sekarang sebagai Negara Islam yang kuat dalam bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, persatuan dan sebagainya.
Mundurnya Dinasti Shafawiyah, secara garis besar disebabkan karena rusaknya akhlak pemimpinnya dan terlalu langgeng-nya konfrontasi Syi’ah-Sunni sampai masa kehancurannya. Seharusnya ini sudah tidak boleh terjadi, dan saatnya ada gerakan bersama untuk meneguhkan Ukhuwah Islamiyah yang di dalamnya hidup berbagai madzhab.
Di Iran, Islam telah menampilkan perannya sebagai pemersatu masyarakat yang sedang dalam perpecahan. Iran merupakan masyarakat muslim yang unik disbanding dnegan lainnya. Dalam hal kekuasaan Negara mengendalikan kegiatan keagamaan dan dalam hal kekuasaannya mengikuti perkembangan sistem perpolitikan di dunia Islam.
Revolusi Islam Iran telah menghasilkan penggabungan yang khas antara Negara Iran dan institusi Islam, bahkan ia merupakan sebuah peristiwa besar dalam sejaraah masyarakat Islam. Revolusi tersebut mengandung makna dan pengaruh yang bersifat global.




[1] Hasan Ibrahim Hasan, Sejaraha dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hal. 336.
[2] Douglas E. Streusand, Islamic Gunpowder Empires; Ottomans, Safavids, and Mughals, (London: Westview Press, 2011), hal. 140-141.
[3] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2010), Cet. 2, hal. 187-188.
[4] Siti Maryam (Ed.), Sejarah Peradaban Islam; Dari Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2009), hal. 284.

[5] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2010), Cet. 2, hal. 188.
[6] Andrew J. Newman,Safavid Iran; Rebirth of Perrsian Empire, (New York: I.B. Tauris dan Co.Ltd, 2006), hal. 17-18.
[7] Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1891), hal. 61.
[8] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ……………….op.cit., hal. 189.
[9] Lihat Ira M.Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), hal. 295, dalam Siti Maryam (Ed.), Sejarah Peradaban Islam; Dari Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2009), hal. 284.
[10] Lihat Carl Brockelman, Tarikh as-Syu’ub al-Islamiyyah, (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1974), hal. 503., dalam Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2006), hal. 142-143.
[11] Tim Penyusun Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya,Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2004), Cet. 4, hal 143-142.
[12] Ibid, hal. 142.
[13] Ibid, hal. 142.
[14] Siti Maryam (Ed.), Sejarah Peradaban Islam; Dari Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2009), hal. 289-290.
[15] Zieneb Hatamzad, Foreign Policy of the Safavid Empire During Shah Abbas I, Life Science Journal 2013;10(8s), hal. 405.
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2006), hal. 146.
[17] Ibid, hal. 290.

0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.