Dalam
seminar yang bertemakan “Konsep
Kedaulatan dan Politik Hukum Kita” yang lalu di Pascasarjana UIN Maliki Malang,
dialog yang seru terjadi antara audience dengan Narasumber, Prof.
Mahfud. Pada peserta seminar kebanyakan awam masalah hukum tata negara,
sehingga yang ditanyakan pun agaknya melebar dari tema substansial yang
disajikan panitia. Para peserta justru menanyakan kaitan hukum positif dengan agama. Akan tetapi Mahfud
menjawab semua pertanyaan tersebut dengan cukup apik dengan teori-teori
hukum dan contoh-contoh kasus beragam yang pernah dialaminya selama ini.
Berikut tulisan rekaman dialog antara peserta seminar dengan Mahfud MD., yang
dapat kita jadikan rujukan dalam permasalahan hukum di Indonesia.
Persoalan pertama adalah tentang hukum
legal bagi bebagai macam aliran agama yang tumbuh subur di Indonesia ini,
bagaimanakah Indonesia menjamin hak-hak mereka dalam menjalankan ajarannya,
ditengah maraknya kekerasan atas nama agama baru-baru ini?. Mahfud menjawab
dengan tegas, bahwa Indonesia bukanlah negara agama. Oleh karena itu, segenap
pemikiran agama yang berkembang di
Indonesia dilindungi oleh negara. Indonesia adalah negara berketuhanan, yang
segenap warganya menganut agama tertentu. Sedangkan benturan-benturan yang
terjadi selama ini, menurut Mahfud dikarenakan aspirasi mereka tidak
terakomodir. Maka dari itu, semua madzhab atau aliran keagamaan Islam
yang berkembang di Indonesia harus berpolitik dengan memiliki wakil-wakilnya
untuk masuk dalam lembaga legislatif negara sebagai anggota DPR. Kemudian di
dalamnya mereka dapat bersama-sama membuat Undang-Undang dan menyalurkan
aspirasi para pengikutnya.
Masalah
kedua adalah apakah Indonesia ini benar-benar negara demokrasi?, di
tengah maraknya kasus korupsi dan banyak aspirasi rakyat yang tidak
tersalurkan. Mahfud menjawab, bahwa setiap warga negara adalah partisipan
politik, jadi jangan menjadi orang yang anti politik. Kita adalah bagian dari
organisasi politik terbesar, yaitu negara. Ikut atau tidaknya kita dalam
lembaga tinggi negara, kita tetap terlibat dalam kedupan politik, yang artinya
kita juga berpolitik. Oleh karena itu sangat keliru apabila ada orang yang
antipati dengan politik.
Ketiga
adalah dalam sistem pemerintahan di Indonesia adalah
demokrasi. Melalui sistem demokrasi, pemilihan presiden, gubernur, bupati/wali
kota, kepala desa, serta anggota DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat. Berarti
apabila pemimpin yang terpilih buruk dalam kinerjanya, maka rakyat yang
memilihnya juga patut dipersalahkan. Benarkah demikian?. Jawab Mahfud, gambaran
pemimpin yang buruk menggambarkan kondisi rakyat pemilihnya yang juga buruk
adalah salah. Bisa saja orang yang sangat baik pada awalnya, ketika dia
menjabat dan mengetahui banyak peluang korupsi, maka ia tergiur dan menumpuk
harta melalui cara-cara yang korup. Jadi, Mahfud tidak sepakat dengan pandangan
yang seperti itu.
Persoalan
keempat, apakah demokrasi itu memang sistem yang benar-benar terbaik
untuk Indonesia?. Saya tidak mengatakan sistem demokrasi itu baik, dia adalah
sistem yang buruk sebetulnya. Akan tetapi, kata Plato dan Aristoteles, sistem
demokrasi adalah sistem politik yang buruk yang terbaik, dari sistem-sistem
politik yang lain, seperti monarki, aristokrasi dan sebagainya. Oleh karena
itu, yang perlu dilakukan bangsa ini adalah mendorong sedapat mungkin demokrasi
ini dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan cita-cita demokrasi.
Pertanyaaan
kelima mengenai sejauh mana perlindungan pemerintah/negara terhadap para
TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri. Mahfud menjelaskan, banyaknya
kasus yang terjadi TKI Indonesia di luar negeri dikarenakan penanganan sumber
daya manusia dan sumber daya alam di Indonesia yang kurang profesional. Oleh
sebab itu, banyak WNI yang mencari pekerjaan di luar negeri, karena gaji yang
diberikan sangatlah besar dibandingkan gaji pekerjaan di dalam negeri.
Keenam,
ada penanya yang mengatakan bahwa negara Indonesia lebih
dekat pada sistem kedaulatan ada di tangan Tuhan, itu terbukti dari pembukaan
Undang-Undang Dasar yang mengatakan “Dengan rahmat Allah” dan banyak lagi yang
menyebut kata “Tuhan”. Mahfud menanggapi, bahwa di Indonesia ada segala macam
kedaulatan, yaitu kedaulatan hukum, kedaulatan keTuhanan, kedaulatan kerakyaran
dan lain-lain. Posisi kedaulatan Tuhan di sini dijadikan sebagai landasan etis
yang mendasari setiap pengambilan kepusan dalam membuat Undang-Undang dan lain
sebagainya. Yang menarik dari paparan Mahfud adalah, ia bercerita hal ihwal
sejarah penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta yang menyatakan bahwa
negara Indonesia diatur bersasarkan syari’at Islam. Selain itu juga mengenai
tetapnya kata “Atas berkat rahmat Allah” di pembukaan Undang-Undang. Dibalik
semua itu, ada hal aneh yang tidak masuk akal. Menurut Mahfud, orang Papua
(Indonesia Timur) yang menganjurkan kepada Bung Hatta untuk menghapuskan tujuh
kata dalam piagam Jakarta itu tidak pernah ada, ketika dikroscekkan dengan
orang-orang yang lainnya ketika itu. Seperti ada “tangan ketiga” yang
ikut campur dalam pembentukan dasar konstitusi negara di masa-masa awal ini.
Sehingga terbentuklah Negera Kesatuan Indonesia seperti yang sekarang ini.
Mahfud
MD merupakan pendobrak di bidang hukum yang berani bersikap dan tanpa ragu-ragu
menyatakan siapa yang bersalah dalah permasalahan hukum. Berdasarkan background
dirinya yang berlatar belakang NU (Nahdhatul Ulama’), ia banyak banyak
mengadopsi pemikiran-pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid (Gur Dur) dan ketika mahasiswa ia menjadi aktifis HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam), dan banyak menggunakan pemikiran Nurcholis Madjid (Cak Nur)
dalam permasalahan kebangsaan dan keIndonesiaan. Demikian kurang lebihnya
rekaman dari diskusi yang berlangsung, kurang lebihnya mohon maaf.
Wallahu A’lam.