0
Mahfud MD dan Kedaulatan Politik Hukum di Indonesia
Posted by Unknown
on
23.51
in
Seminar
Pada hari kamis, tepatnya tanggal 8 Oktober
2015 yang lalu, auditorium pascasarjana UIN Maliki Malang penuh sesak dengan
peserta seminar yang diisi oleh mahasiswa S2 dan S3. Saya pun tak melewatkan
momen yang langka itu dengan menjadi
salah satu peserta seminar, walaupun harus berdiri dari awal sampai akhir acara.
Anemo peserta seminar yang besar itu dikarenakan pembicara seminarnya bukanlah
orang biasa, dia adalah Prof. Dr. Muhammad Mahfud MD., SH., SU., guru besar Hukum
Tata Negara pada Fakultas Hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
yang pernah menjadi pejabat pada tiga lembaga tinggi negara, yaitu di lembaga legislatif
sebagai anggota DPR RI dari fraksi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), lembaga eksekutif
sebagai Menteri Pertahanan dan lembaga yudikatif sebagai ketua Mahkamah
Konstitusi (MK).
Seminar ini bertajuk “Konsep Kedaulatan dan
Politik Hukum di Indonesia”, sangat tepat apabila Mahfud MD yang dijadikan
narasumber dalam stadium general ini. Sebenarnya kedatangan Mahfud MD ini
adalah awal dari serangkaian kuliah yang akan disampaikannya di Pascasarjana
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, karena beliau telah didapuk sebagai Dosen
Luar Biasa (DLB) di kampus Islam ini pada mata kuliah politik dan hukum. Dengan
gayanya yang blak-blakan dan gaya bicara logat Madura-nya, Mahfud MD
membuat dahi para peserta seminar ini terkenyut dengan perhatian yang total,
karena sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa program pendidikan, yang tak
begitu paham tentang politik dan hukum tata negara.
Mahfud menyatakan bahwa negara Indonesia secara
formal sudah berdaulat. Kedaulatan dimaknai sebagai kekuasaan tertinggi di
suatu negara, dan Indonesia sudah memilikinya. Indonesia sudah memiliki
pemerintahan, rakyat, lembaga tinggi seperti legislatif dan yudikatif. Akan
tetapi aplikasinya di lapangan tidaklah demikian. Indonesia seakan-akan tidak
berdaya menghadapi negara-negara asing yang secara terang-terangan merendahkan
kedaulatan Indonesia. Mahfud mengambil contoh kasus penangkapan polisi
Indonesia oleh pihak kepolisian Malaysia dikarenakan polisi Indonesia telah
menangkap beberapa nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan (laut)
Indonesia. Pemerintah Malaysia tidak terima jika warga mereka—yang dalam hal
ini adalah nelayan—ditangkap oleh polisi Indonesia karena mencuri ikan di laut
Indonesia. Hal ini jelas-jelas merendahkan kedaulatan Indonesia yang sedang
mengadakan penegakan hukum di atas teritorial negaranya sendiri. Kasus tangkap-menangkap
ini kemudian diselesaikan dengan diplomasi antara pemerintah Malaysia dengan
Indonesia, yang seharusnya penegakan hukum dijadikan landasan utama, ini malah
pertimbangan politik yang menjadi alasan. Pemerintah Malaysia mengancam
pemerintah Indonesia, apabila kepolisian Indonesia bersi keras menangkap
melayan Malaysia yang mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia itu, maka
pihak Malaysia akan menangkap dan menjebloskan ke penjara semua imigran gelap
asal Indonesia yang ada di Malaysia dengan tuduhan telah melakukan pencurian,
karena statusnya yang tidak legal sebagai imigran. Dengan ancaman seperti ini
pemerintah Indonesia tidak berkutik dan kedaulatan negara digadaikan gara-gara
kemiskinan rakyatnya. Akhirya nelayan Malaysia itu dibebaskan dan polisi
Indonesia yang menagkapnya juga dibebaskan. Mahfud memberikan penegasan, dari
peristiwa ini menggambarkan, kedaulatan suatu negara sedang diinjak-injak oleh negara
lain gara-gara kemiskinan.
Menurut Ilmu Hukum, tegas Mahfud, suatu
undang-undang hanya berlaku di negaranya. Suatu negara dengan kedaulatannya,
dapat mengambil kebijakan menyangkut negaranya ke dalam dan ke luar. Perdebatannya
sekarang adalah dari mana datangnya kedaulatan?, dalam konteks Indonesia,
kedaulatan datangnya dari rakyat. Menurut ilmu tata negara, kedaulatan suatu
negara datang dari empat sumber, yaitu: 1) Tuhan, 2) negara, 3) rakyat, dan 4)
hukum. Uniknya, di Indonesia kedaulatan selalu dikaitkan dengan demokrasi.
Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Akan tetapi, teori yang ideal
demikian tidak terealisasi dengan baik di Indonesia. Hal itu dikarenakan
perpolitikan di Indonesia hanya dikuasai oleh para elit, setelah para wakil
rakyat terpilih atas dukungan suara terbanyak dari rakyat, hubungan rakyat
dengan para wakilnya yang duduk di kursi DPR terputus tidak ada tindak lanjut
sama sekali, yang terjadi adalah oligarki politik, yaitu transaksi-transaksi
kepentingan antara wakil rakyat, eksekutif, bahkan yudikatif dengan para
pengusaha. Apabila telah terjadi hal yang demikian, maka hukum menjadi
konservatif. Hukum konservatif memiliki tiga ciri-ciri, yaitu: 1) sentralistik
(hukum hanya dikuasai oleh para elit saja), 2)
positifistik instrumentalistik (hukum di buat sebagai alat perlindungan
bagi sebuah kesalahan/pelanggaran terhadap hukum itu sendiri), dan 3) open
interpretatif (mudah ditafsirkan sesuka hati oleh penguasa). Hukum yang seperi
ini menjadikan negara menjadi tidak adil terhadap rakyatnya dan hilangnya
supremasi hukum. Mahfud mencontohkan bahwa sekarang Undang-Undang perbankan
membolehkan modal asing 90 % dalam perusahaan, kemudian banyaknya beroperasi
sekarang pom bensin (SPBU) asing di Indonesia dan pemilik saham terbesar di perusahaan-perusahaan
rokok besar di Indonesia dikuasai pemodal asing dari Amerika. Apabila produk
hukum berupa Undang-Undang yang dibuat melalui sidang legislasi dihasilkan dari
transaksi dengan dunia usaha, maka hukum konservatiflah yang akan hidup di
negeri ini, dan kita tahu akibatnya, rakyat kecil dan negara yang semakin
dirugikan, sedangkan pamodal dan orang-orang kaya akan semakin dapat
menumpuk-numpuk hartanya.
Menurut Mahfud, pangkal dari kedaulatan dan
politik hukum di Indonesia adalah “moralitas”. Apabila semua pejabat tinggi
negara yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif ini melakukan
tugas dan fungsinya dengan baik dan berpangkal pada moralitas, maka produk
hukum (Undang-Undang) yang tidak memihak pada kepentingan rakyat tidak
semestinya diciptakan. Mereka menciptakan Undang-Undang yang pro penguasa dan
pengusaha karena ada pesanan, apabila Undang-Undang tersebut berhasil
diputuskan dalam sidang, maka pundi-pundi rupiah bahkan dolar akan menanti di
depan sana, tanpa harus mempedulikan dampak yang akan ditimbulkan dari
terciptanya produk hukum yang seperti itu. Kelemahan sistem politik dan hukum
di Indonesia adalah sifat “konservatif” yang diseabkan oleh para pembuat
Undang-Undang. Untuk itulah, setiap pejabat lembaga tinggi negara harus
memiliki tangung jawab yang berlandaskan nilai moralitas yang luhur, bahwa
mereka bekerja bukan untuk mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan, tapi
lebih dari itu, adalah kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Posting Komentar