0
Nilai-Nilai Aswaja dan Urgensinya
Posted by Unknown
on
17.10
in
Artikel
Pengertian
Aswaja
Ahl
al-sunnah wa al-jama’ah atau yang lebih dikenal dalam kalangan NU (Nahdhatul
Ulama’) dengan singkatan “aswaja” atau “sunni” adalah salah satu aliran teologi
dalam Islam yang terlahir dari sebagai respon kepada madzhab teologi mu’tazilah
yang melahirkan pertentangan sengit antara aliran qadariyah dan jabariyah.
Kalangan nahdliyyin berpijak pada hadits Nab Muhammad Saw. yang diriwayatkan
oleh Tabrani dan Tirmidzi. Pertama, Rasulullah bersabda: Demi Dzat, yang
jiwaku ada dalam genggamanNya, umatku adakan pecah menjadi 73 golongan; satu
masuk surge dan 72 masuk neraka. Seorang sahabat bertanya: Siapa itu Ya Rasul?
Jawab Nabi: I addalah golongan Ahlussunnah wal Jama’ah (HR. Thabrani).
Kedua, Rasulullah bersabda: Umatku akan pecah menjadi 73 golongan, Satu
selamat (masuk surga) dan lainnya rusak (masuk neraka). Sahabat bertanya:
Siapakah yang selamat itu Ya Rasul? Jawab Nabi: Golongan Ahlussah wal Jama’ah.
Seorang sahabat lain bertanya: Siapakah golongan Ahlussunnah wal Jama’ah itu?
Jawab Nabi: Yang sekarang bersamaku dan sahabat-sahabatku.[1]
Sebelum
pembahasan lebih jauh, maka hal pertama yang harus kita pahami adalah
pengertian dari terma “ahl al-sunnah wa al-jama’ah” itu sendiri. Ahlussunnah
wal jama’ah sendiri terdiri dari tiga kata, yaitu “ahlun”, “al-sunnah” dan
“al-jama’ah”. Ahl berarti keluarga, golongan atau pengikut. Sedangkan al-sunnah
berarti segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Maksudnya
adalah semua yang datang dari Nabi Muhammad Saw. yang berupa perbuatan (fi’l),
ucapan (qaul) dan pengakuan (taqrir) Nabi Muhammad Saw. Kemudian al-jama’ah
adalah apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah Saw. pada
masa al-khulafa’ al-rasyidun (Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib).[2]
Jadi, ahl al-sunnah wa al-jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua
yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Dengan
demikian, maka tingkat kebenaran dan orisinalitas ajaran agama Islam akan
terjaga kemurniannya melalui sanad yang terus bersambung antara masa sahabat sampai
dengan Rasulullah Saw.
Pendiri
madzhab teologi ahl al-sunnah wa al-jama’ah adalah Abu Hasan ‘Ali bin
Isma’il al-‘Asy’ari (la hir di Bashrah 260 H/874 M dan wafat 324H/936 M) yang
bermadzhab syafi’i dan Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al –Maturidi
(lahir di daerah Maturid abad ke 9 M dan wafat 944 M) dari madzhab hanafi.[3]
Imam Asy’ari awalnya adalah pengikut setia Mu’tazilah yang juga murid al-Juba’i
(tokoh penting Mu’tazilah) selama 40 Tahun. Hal yang menjadi penyebabnya adalah
ketidakpuasannya atas jawaban pertanyaan dari gurunya yang meliputi masalah
kedudukan orang mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat nanti. Setelah itu ia
merenung kurang lebih selama 15 hari dan hasilnya, ia memproklamirkan telah
keluar dari madzhab Mu’tazilah. Pemikiran Asy’ariyah muncul sebagai kritik atas
aliran Mu’tazilah.[4]
Sedangkan al-Maturidi memiliki ajaran yang selaras dengan al-Asy’ari, perbedaannya
hanya dalam fiqh-nya saja dan tantangan Imam al-Maturidi saat itu bukan hanya
Mu’tazilah, akan tetapi juga aliran Mujassimah, Qaramithah, dan Jahmiyyah.
Selain itu juga kelompok agama lain seperti Yahudi, Majusi dan Nasrani.[5] Kedua
tokoh ini menjadi tokoh sentral dalam madzhab ahl al-sunnah wa al-jama’ah sebagai
solusi jalan tengah (tawassuth) dalam perdebatan antara kelompok
Jabariyah dan Qodariyah.
Nilai-Nilai
Aswaja dalam Kehidupan
Dari
sikap yang ditunjukkan oleh al-‘Asy’ari dan al-Maturidi ini kemudian dirumuskan
beberapa nilai-nilai ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang berlaku di
kalangan NU (Nahdlatul Ulama’), yaitu: tawassuth, tawazun, tasamuh, dan
i’tidal yang dijadikan pedoman dalam bertindak di segala aspek kehidupan. Adapun
perinciannya sebagai berikut:[6]
Pertama, nilai tawassuth, yaitu jalan tengah, tidak ekstrem kanan atau kiri. Dalam paham
Ahlussunnah wal Jama'ah, baik di bidang hukum (syari’ah) bidang akidah,
maupun bidang akhlak, selalu dikedepankan prinsip tengah-tengah. Juga di bidang
kemasyarakatan selalu menempatkan diri pada prinsip hidup menjunjung tinggi
keharusan berlaku adil, lurus di tengah-tengah kehidupan bersama, sehingga ia
menjadi panutan dan menghindari segala bentuk pendekatan ekstrem.dengan sikap
dan pendirian. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.
(Al-Baqarah: 143).
Tawassuth
merupakan landasan dan bingkai yang mengatur bagaimana seharusnya kita
mengarahkan pemikiran kita agar tidak terjebak pada pemikiran agama an sich.
Dengan cara menggali & mengelaborasi dari berbagai metodologi dari berbagai
disiplin ilmu baik dari Islam maupun Barat. Serta mendialogkan agama, filsafat
dan sains agar terjadi keseimbangan, tetap berpegang teguh pada nilai-nilai
agama dengan tidak menutup diri dan bersikap konservatif terhadap modernisasi.
Kedua, nilai tawazun,
yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara
seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan pribadi dan
masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa datang. Keseimbangan di
sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak
tertentu dan merugikan pihak yang lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu
menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak
yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan dalam hidup.
Firman Allah Swt:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul
Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan…….” (Al-Hadid: 25).
Keseimbangan menjadikan manusia bersikap luwes tidak
terburu-buru menyimpulkan sesuatu, akan tetapi melalui kajian yang matang dan
seimbang, dengan demikian yang diharapkan adalah tindakan yang dilakukan adalah
tindakan yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.
Ketiga, nilai tasamuh,
yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal
yang bersifat furu'iyah,
sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan
sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (ukhuwwah islamiyyah) dengan
mentoleransi perbedaan yang ada bahkan pada keyakinan sekalipun. Tidak
dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada
orang lain, yang dianjurkan hanya sebatas penyampaian saja yang keputusan akhirnya
diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Dalam diskursus
sosial-budaya, Ahlussunnah wal Jama'ah banyak melakukan toleransi terhadap
tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri
dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme
dalam aspek-aspek kebudayaan dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah tidaklah
memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam
tradisi kaum Sunni terkesan hadirnya wajah kultur Syi'ah atau bahkan Hinduisme.
Hal ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah
dunia. Pluralistiknya pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah keniscayaan dan
ini akan mengantarkannya kepada visi kehidupan dunia yang rahmat di bawah
prinsip ketuhanan.
Keempat, nilai i’tidal (adil,
tegak lurus atau menempatkan sesuatu pada tempatnya). Dalam al-Qur’an
disebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Maidah: 8).
Menempatkan sesuatu pada tempatnya
ini asalah salah satu tujuan dari syari’at. Dalam bidang hukum, suatu tindakan
yang salah harus dikatakan salah, sedangkan hal yang benar harus dikatakan
benar, kemudian diberikan konsekuensi hukuman yang tepat sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukan. Dalam kehidupan sosial, rakyat sebagai komponen
yang paling penting dalam negara demokrasi harus mendapatkan keadilan dari
pemerintah sesuai dengan hak-haknya dengan terimplementasikannya Undang-Undang sebagaimana
mestinya tanpa diskriminasi. Perjuangan menuju keadilan sosial harus terus
dikawal sesuai dengan pesan luhur pancasila.
Jika
empat prinsip ini diperhatikan secara seksama, maka dapat dilihat bahwa ciri
dan inti ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah adalah pembawa rahmat bagi alam semesta
(rahmatan lil ‘alamin). Sikap moderasi yang tercermin dalam empat nilai
di atas harus dijadikan pedoman dalam berpikir, bersikap dan bertindak dalam
segala hal yang menyangkut agama dan segala aspek sosial yang lainnya.
Urgensi
Membumikan Nilai Aswaja
Menurut
hemat penulis, penting (urgensi)-nya membumikan nilai-nilai aswaja ini dalam
dunia pergerakan dan kaderisasi ada dua hal, pertama adalah ideologisasi dan
internaslisasi nilai-nilai aswaja ini dalam diri pribadi setiap kader NU/PMII
dan yang kedua adalah menjadikan nilai-nilai aswaja yang sudah tertanam ini
menjadi dasar dan basis kekuatan dalam melahirkan gerakan-gerakan sosial dalam
menjawab tantangan permasalahan kontemporer. Sebagaimana kaidah ushuliyah yang
sangat populer di kalangan pesantren “Al-Muhafadhatu ala al-Qadim al-Shalih
wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (menjaga tradisi lama yang baik dan
mengambil hal-hal baru yang lebih baik).
Tidak dapat dipungkiri bahwa NU/PMII
dihadapkan pada tantangan banyaknya gerakan-gerakan Islam militan transnasional
yang selalu melakukan penyebaran ideologinya dengan tidak segan-segan melakukan
infiltraisi pada kelompok-kelompok Islam moderat lainnya. Selain itu juga kita
dihadapkan pada tantangan global persaingan ekonomi lintas batas. Tidak dapat
dipungkiri dengan banyaknya masuk pengusaha-pengusaha asing dari luar negeri
nantinya akan membawa pula nilai-nilai baru yang dapat mengancam kearifan lokal
Indonesia. Ini semua perlu dirumuskan dalam langkah-langkah gerakan strategis
dengan selalu berbasis pada intelektualitas, dan mahasiswa maupun akademisi
mengambil peran penting dalam hal ini.
Wallahu A’lam.
[1] Dua hadits ini
dikutip dari kitab aslinya oleh Munawwir Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang
NU, Cet. IX, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 8-10.
[2] Lihat dalam
Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis: Jawaban atas Pelbagai Persoalan
Keagamaan Sehari-hari, Cet. VI, (Surabaya: Khalista, 2004), hlm. 1-3.
[3] Lihat dalam
Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis…….hlm. 16 dan 21.
[4] Lihat dalam
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan,
Eds. 2, (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 66-67.
[5] Tim Penyusun, Aswaja
An-Nahdliyah; Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang berlaku di lingkungan
Nahdlatul Ulama’, Cet. 3, (Surabaya: Khalista, 2009), hlm. 15.
[6] Disarikan dan
dielaborasi dari Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis: Jawaban atas
Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari, Cet. VI, (Surabaya: Khalista, 2004),
dan Tim Penyusun, Aswaja An-Nahdliyah; Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang
berlaku di lingkungan Nahdlatul Ulama’, Cet. 3, (Surabaya: Khalista, 2009).