0
Cerita Saya (1)
Posted by Unknown
on
06.50
in
Biografi.
Kelahiran
di Kampung
Saya
dilahirkan di Sebuah Dusun yang kecil, Dusun “Banggel” namanya. Dusun kecil itu
berada di Desa Sambonggede Kecamatan Merakurak Kabupaten Tuban, pada tanggal 25
Maret Tahun 1989. Menjadi anak laki-laki pertama, adalah sebuah takdir dari
Tuhan untuk saya, dari pernikahan pasangan Ahmad Bahmulya dan Rasmiyati yang
kemudian keduanya menjadi orang tua kandung saya sampai kapanpun. Bapak saya -Ahmad
Bahmulya- adalah super hero bagi saya. Beliau tumbuh dalam kondisi keluarga
yang kekurangan tanpa asuhan Sang Ayah, yaitu kakek saya sendiri, Almarhum
Bapak Asnawi yang telah lama meninggal ketika bapak masih kecil. Nenek saya-Almarhumah
Hj. Nasifah-mempunyai 7 orang anak yang semuanya adalah laki-laki. Semuanya
hidup dengan seadanya dan berjuang sendiri-sendiri memenuhi kebutuhannya
masing-masing. Tekanan ekonomi yang keras membuat bapak saya hidup mandiri
dalam bertahan hidup. Ini terbukti sampai sekarang, walaupun dengan pendidikan
setingkat SD, bapak saya bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan
anak-anaknya, bahkan sampai perguruan tingi dengan biaya sendiri. Sehari-hari
dalam perjuangan bapak mencari nafkah untuk keluarga, beliau didampingi oleh
Ibu saya yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yaitu lulusan SMA. Ibu
seakan menjadi penasehat bagi bapak yang memang agak emosional dan kurang
pertimbangan, tidak jarang karena perbedaan pendapat keduanya berselisih. Saya
dan saudara-saudara saya menganggap hal itu adalah hal yang sangat wajar dalam
berumah tangga, yang jelas, segala keputusan besar dalam keluarga kami adalah
keputusan yang terbaik, karena melalui berbagai perdebatan panjang, bahkan oleh
kami sendiri sebagai anak-anak mereka. Di rumah, saya juga ditemtani oleh dua
saudara yang sangat lucu dan sangat strategis untuk menjadi sasaran gurauan
saya, sebut saja namanya Khumrotun Nadhifah dan Siti Mu’amaroh. Gara-gara
mereka, saya dibuat menjadi jengkel dan sering kali juga dibuatnya tertawa, walaupun
kini mereka berdua sudah dewasa.
Masa Kanak-Kanak yang Biasa Saja
Dua Tahun lamanya, mulai Tahun 1993 sampai dengan
Tahun 1995 saya menghabiskan waktu di RA
(Roudhotul Athfal) “Muslimat Salafiyah” Mandirejo-Merakurak. Disana bersama
guru-guru yang sabar, saya belajar bernyanyi, berhitung, menulis dan
sebagainya. Masa kecil saya terkesan biasa-biasa saja, karena karakter saya
memang seperti itu, hanya saja ada beberapa kenangan menarik ketika di sekolah.
Saya pernah bertengkar dengan teman sekelas, sampai-sampai anak itu terjatuh di
sungai depan sekolah. Selain itu juga tidak jarang saya berak dicelana, sehingga membuat para guru kebingungan. Disana saya
banyak bersahabat dengan teman-teman se-daerah, yang dulunya lucu-lucu dan
kampungan, sekarang sudah sama-sama dewasa dan berkarir.
Setelah
selesai menempuh pendidikan pra-sekolah, saya meneruskan di yayasan yang sama, yaitu
Yayasan “Salafiyah” Mandirejo Merakurak. Yayasan ini adalah yayasan keluarga yang
didirikan oleh Almarhum K.H. Abdussalam. Yayasan ini terhitung yayasan yang
paling besar di Kecamatan Merakurak.
Lembaga pendidikan yang dinaunginya antara lain; RA “Muslimat Salafiyah”,
MI “Salafiyah”, MTs. “Salafiyah”, MA. “Salafiyah” dan Pon.Pes. “Nurul Jadid”.
Selama kurang lebih 6 Tahun, mulai tahun 1995 sampai dengan Tahun 2001 saya
menghabiskan waktu bersekolah di MI Salafiyah yang terletak di depan sekolah TK
saya ini. Jadi, masa kecil saya sangat akrab dengan wilayah Desa Mandirejo
sebelah selatan ini. Di MI ini, prestasi saya di kelas tidak terlalu buruk,
beberapa kali mulai kelas 1 sampai dengan kelas 6 saya sering mendapat
peringkat 2, 3 dan sesekali peringkat 1. Kalau boleh saya sebut beberapa nama,
ada yang menjadi saingan berat saya di kelas, yaitu Achmad Nahrowi, Dewi
Widayanti, Anik Sholikhah dan yang lainnya. Semuanya menjadi pemacu semangat
saya untuk terus berjuang hingga dapat menyaingi mereka, walau berat rasanya,
karena saya selalu berada di peringkat yang lebih rendah dari mereka.
“Diniyah Darul Ulum”; Pendidikan Agama
Tingkat Dasar
“Darul
Ulum” awalnya adalah sebuah musholla panggung kecil yang terbuat
dari papan kayu, terletak di Dusun Banggel. Di sana ada Kyai yang sangat kharismatik dan
tradisional, nama beliau adalah K.H. Ahmad Jailani. Banyak santri yang belajar
di sana setelah keluar menjadi orang yang alim. Kemudian, pada saat saja kelas
II MI, beliau wafat. Pembelajaranpun dilanjutkan oleh putra beliau, K. Ahmad
Irhamni, yang juga adalah alumni Pon.Pes Sarang Jawa Tengah, sama dengan ayah
handanya. Awalnya saya belajar membaca al-Qur’an di sini ketika masih kelas satu
madrasah Ibtidaiyah atas bimbingan K.H. Jailani, akan tetapi tidak diajar
langsung oleh beliau, melainkan santrinya yang lebih senior. Akan tetapi,
karena tidak kunjung dinaikkan ke surat yang lebih tinggi, maka saya merasa
agak kurang nyaman, akhirnya saya pinda ke musholla di sebelahnya. Di sini saya
belajar bersama teman-teman atas bimbingan Ustad Mulyanto. Beliau adalah murid
K.H. Jailani dan yunior dari K. Ahmad Irhamni selama di pesantren, akan tetapi
secara keilmuan, beliau juga tidak kalah. Akhirnya, di sini saya belajar
membaca al-Qur’an, tajwid, aqidah, fiqh, dan akhlaq. Kitab-kitab yang dikaji
sangat dasar, karena memang untuk
pemula, antara lain safinah al-najah,
sullam safinah, sullam taufiq, aqidah al-awwam, ta’lim al-muta’allim dan
amtsilah al-tashrifiyyah. Semua kitab tersebut dikaji sampai khatam, mulai saya kelas II MI sampai
kelas I SMP, selain untuk pelajaran ta’lim
al-muta’allim dan tashrifan,
karena Ustad Mulyanto harus menikah dan pindah ke rumah isrinya. Akhirnya, saya
pindah kembali ngaji ke Darul Ulum
yang pada saat itu sudah banyak kemajuan. Karena seiring dengan kemajuan zaman,
musholla yang kecil itu telah berubah menjadi lebih megah dan indah serta
terbuat dari tembok batu berlantaikan keramik. Selain itu, statusnya juga telah
berubah, yang semula hanya mushola tempat mengaji biasa menjadi sebuah lembaga
pendidikan resmi, terdiri dari TPQ dan Diniyah. Akhirnya, mulai separo masa SMP saya sampai dengan masa
Aliyah selesai, saya menimba ilmu di sini di bawah asuhan K. Ahmad Irhamni dan
para guru yang lainya. Sebetulnya banyak sekali kitab yang dikaji, akan tetapi
karena belum adanya struktur kurikulum yang memadai, maka banyak kitab tidak
dipelajari secara tuntas. Setiap tahun ajaran berakhir, pelajaran pun berganti,
padahal beberapa kitab belum tuntas diajarkan. Akan tetapi, pelajaran yang
paling berkesan di sini adalah, fiqih dengan kitabnya al-mabadi’ al-fiqhiyyah juz 1-4 dan sullam al-taufiq. Kemudian pelajaran shorof dengan kiabnya al-amtsilah dan al-maqsud, pelajaran nahwu dengan kitabnya matan al-jurumiyyah, al-‘awamil
dan tafrihah al-wildan. Meskipun
tidak terlalu banyak, tapi itu cukup membuat saya untuk berani melanjutkan
kuliah di perguruan tinggi agama dan bersaing dengan teman-teman dari pesantren
lainnya, walaupun sangat jauh dari harapan.
Amanah Datang Menjelang Remaja
Pada
Tahun 2001, saya lulus dari MI (Madrasah
Ibtida’iyah), artinya sekolah pada jenjang yang lebih tinggi dimulai.
Agaknya, pada pendidikan tingkat menengah ini, saya disekolahkan di sekolah
umum yang berbeda dengan kultur sekolah sebelumnya. Seperti pada umumnya, 3
Tahun saya menempuh pendidikan menengah mulai Tahun 2001-2004, di SMP (Sekolah
Menengah Pertama) Negeri 1 Merakurak yang beralamat di Desa Tuwiri Kulon
Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Sepertinya, label sekolah negeri menjadi
tujuan orang tua saya. Di sekolah ini, prestasi akademik saya lumayan di Tahun
pertama. Hal itu dikarenakan belum ada pembagian kelas pararel sesuai dengan
peringkat nilai, jadi saingan saya tidak punya banyak saingan. Selama satu
tahun itu saya selalu mendapat peringkat yang pertama. Berbeda di kelas
berikutnya sampai lulus, peringkat pertama hanya saya dapatkan di semester
pertama pada kelas VIII, selebihnya saya tidak pernah mendapat peringkat dua
besar, apalagi pada hasil ujian, saya harus puas dengan peringkat ke 9 pararel.
Pengalaman akademik saya tidak terlalu sukses di tingkat SMP ini, akan tetapi
ada pengalaman yang tidak ternilai berharganya ketika saya belajar disini,
yaitu saya terpilih menjadi ketua OSIS SMPN 1 Merakurak Tahun 2002-2003
membawahi sekitar 300-an siswa. Di sini, saya mendapat pengalaman pertama kali
berorganisasi dan menjadi pemimpin, walaupun masih dituntun oleh Pembina.
Pembina OSIS saya waktu itu adalah Bapak Witono, M.Pd, sesosok orang yang
cerdas dan bersahaja. Beliau menuntun saya yang tidak bisa apa-apa mulai dari
memimpin rapat, membuat program kerja, belajar berbicara di depan umum, latihan
baris-berbaris, membuat laporan dan lain sebagainya. Selain aktif di OSIS, saya
ada aktifitas lainnya juga di Pramuka Gugus Depan SMPN 1 Merakurak dengan
menjadi Dewan Kerja Galang (DKG). Kedua aktifitas di luar jam pelajaran
tersebut tidak jarang menyita waktu saya belajar di kelas dan di rumah. Karena
memang kemampuan intelegensi saya
yang rendah, kegiatan itu menjadi berpengaruh pada prestasi belajar saya, semua
pelajaran menjadi tidak maksimal. Jujur saja, dengan mentalitas yang masih
labil, posisi itu menjadikan beban berat bagi saya antara mendapatkan nilai
baik dalam pelajaran dan melaksanakan tanggung jawab selama di OSIS atau
Pramuka yang menjadi sorotan banyak guru. Tapi itu semua tidak menjadi masalah,
karena sekarang baru saya sadari bahwa itu adalah proses menuju kedewasaan diri
dan kematangan berpikir.
Rentang
Tahun 2004-2007 adalah masa dimana saya menempuh pendidikan di jenjang menengah
atas. Sekedar cerita saja, pilihan untuk sekolah di Madrasah Aliyah Negeri
Tuban (MAN Tuban) adalah sebuah pilihan yang tanpa sengaja. Sekolah di SMP
mengkonstruk pikiran saya untuk melanjutkan terus di sekolah umum yang bonafid, begitu juga orang tua saya.
Tapi takdir berkata lain, setelah kesana-kemari mendaftar ke SMA-SMA
terfaforit, ternyata posisi saya selalu tergeser, akhirnnya tidak ke-terima. Pada masa itulah di MAN Tuban
masih membuka pendaftaran siswa baru, di saat yang lain sudah menutup masa
penerimaan siswa baru. Berat rasanya ditolak di sekolah-sekolah favorit, tapi
harus saya terima karena itu sebagai konsekuensi atas prestasi saya yang kurang
memadai. Begitulah, hingga saya diterima di MAN Tuban, sekolah umum plus dengan
pendidikan agama Islam yang diberikan. Apabila di kalkulasi, beban pelajaran
dan belajar disini lebih berat dibandingkan dengan sekolah umum (SMA), disini
pelajaran agamanya terbagi ke dalam beberapa bidang studi, antara lain Fiqih, Aqidah
Akhlaq, Sejarah Kebudayaaan Islam, Bahasa Arab dan Keterampilan Agama.
Sedangkan di SMA hanya diajarkan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang
didalamnya terdapat semua sub mata pelajaran tersebut dan itupun sangat kurang.
Hal
yang tidak terlupakan adalah terpilihnya saya menjadi ketua OSIS yang ke-dua
kalinya setelah meyelesaikan tugas yang sama pula di SMP. Di MAN Tuban ini,
jumlah siswa anggota OSIS lebih banyak, yaitu sekitar 800-an siswa, tentu saja
masalah yang saya hadapi lebih kompleks. Berbeda dengan SMP, di sini saya
benar-benar merasakan bagaimana mengelola organisasi yang sesungguhnya. Peran
pembina dan guru-guru yang lain adalah sebatas komunikasi dan koordinasi,
sedangkan mulai dari konsep dan teknis sampai evaluasi kegiatan semuanya
dilakukan oleh pengurus OSIS. Selain berproses di OSIS, pramuka menjadi wadah
tempat saja berdialektika. Dalam tingkat sekolah menengah atas, organisasi
kepramukaannya adalah DKA (Dewan Kerja Ambalan) sebagai pengkaderan lanjutan
dari DKG (Dewan Kerja Galang) yang ada di tingkat SMP. Berproses di dua
organisasi ini memberikan beribu pengalaman yang sangat berharga, khususnya
dalam manajemen sebuah organisasi. Di samping itu, banyak kerja sama yang kami
lakukan dengan sekolah-sekolah lain dan beberapa instansi. Semua interaksi itu
menjadikan relasi yang luas bagi saya baik di internal MAN Tuban ataupun di luar
sekolah. Akan tetapi, sebagaimana sunnatullah,
ada baik pasti ada buruknya, ada lebih pasti ada kurangnya, ada positif
pasti ada negatif. Begitu pula di sini, di samping hal-hal yang saya sebutkan
di atas, ada pula dampak negaifnya, terutama dalam prestasi akademik saya.
Keterbatasan IQ bukan menjadi alasannya, karena betapapun rendah dan tinggi
kecerdasan kita, itu adalah merupakan anugerah dari Tuhan. Kalau kita
menyalahkan IQ kita yang terbatas, itu sama halnya dengan kita tidak mensyukuri
anugerah Tuhan. Hal yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita adalah bagaimana
mengembangkan anugerah Tuhan ini dengan rajin dan tekun belajar, baik secara
teoritik dan praktik yang ditunjang dengan al-akhlaq
al-karimah dalam menuntut ilmu. Jadi, kemerosotan prestasi saya di kelas XI
IPA 1 dahulu adalah karena tidak seimbangnya kesungguhan belajar saya dengan
padatnya aktifitas di organisasi. Pada saat itu saya mendapat peringkat ke-40
pararel dari 42 siswa di kelas, berarti nilai saya adalah nomor tiga terbaik
dari bawah, hal ini bagaikan pukulan telak bagi saya yang membuat badan serasa
jatuh tersungkur. Akan tetapi, ada sebuah motivasi yang masih terniang di
telinga saya, yaitu pesan dari Bu Latifatul Auniyah yang juga wali kelas saya,
berpesan pada saya: “Rouf, kamu nanti
kelas XII (kelas dua belas) sudah tidak menjabat sebagai ketua OSIS, maka harus
lebih rajin belajar”, dengan pandangan yang sayup beliau mengatkan hal itu.
Artinya, kemunduran prestasi yang saya alami ini sudah sangat parah dan di luar
batas. Pada saat itu, saya masih harus menyelesaikan separuh masa jabatan
sebagai ketua OSIS, jadi tantangan saya berikutnya adalah bagaimana meningkatkan
prestasi belajar dan meyelesaikan masa jabatan saya dengan husn al-khotimah. Setelah melalui perjuangan yang keras, akhirnya
buah manis saya dapatkan, pada semester pertama di kelas XII IPA 1, prestasi
saya meningkat hingga mendapatkan peringkat ke-8 dari 42 siswa, prestasi yang
lumayan bagus untuk sebuah persaingan di kelas unggulan kala itu. Selain itu
pada semester ini pula saya menyelesaikan LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) saya
di OSIS dengan akhir yang baik, tanpa adanya hujan interupsi. Karena daftar
nilai semester pertama ini juga akhirnya menghantarkan saya masuk kuliah di
IAIN Sunan Ampel Surabaya memalui jalur PMDK (jalur penerimaan mahasiswa dengan
prestasi) tanpa tes.
Setelah Tamat Aliyah
Kuliah
di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya bukanlah sesuatu yang telah terencana
dengan rapi, akan tetapi walaupun tanpa perencanaan yang matang, kampus itu
menjadi tempat dimana seluruh konsepsi pemikiran dan mental saya terbentuk.
Berawal dari sebuah brosur yang ditempelkan di papan pengumuman kelas, saya
tertarik untuk membacanya, brosur tersebut besar dan di dalamnya terpampang
deskripsi semua fakultas. Sebuah kampus yang dimata anak-anak-yang mengaku
modern saat ini-dianggap kuno dan tidak marketable.
Ya, hal itu betul sekali, bahkan telinga saya sangat sering mendengar bahwa
kata orang-orang, lulusan kampus tersebut hanya bisa mencetak kadernya menjadi Modin (pemimpin ritual keagamaan di
masyarakat Desa). Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel
Surabaya, itulah namanya. Setelah saya menjalani perkuliahan selama kurang
lebih 4 Tahun, akhirnya saya sadari bahwa anggapan mereka itu salah. Berikut
ini akan saya ceritakan bagaimana perjalanan perkuliahan saya.
Belajar di Kampus Basis-nya Kaum
Tradisional
Pada
waktu akhir ujian, saya menyiapkan berkas untuk mendaftar PMDK (pendaftaran
dengan jalur prestasi tanpa tes) di IAIN
Sunan Ampel Surabaya. Saya mendaftar bersama teman setia saya, yaitu Ahmad Saifuddin-seorang
teman selalu menemani setiap perjalanan saya. Dalam penentuan pilihan jurusan,
saya berpedoman pada minat dan bakat akademik, serta hasil tes psikologi yang
telah diselenggarakan sekolah. Melalui pertimbangan tersebut, maka saya
putuskan untuk memilih jurusan bahasa, hal itu dikarenakan hasil tes psikologi
menunjukkan bahwa, bakat terbaik saya adalah di bidang bahasa dan menurut
prestasi raport saya, di bidang IPA nilai-nilai saya kurang baik. Hal itu
sangat kontras, melihat jurusan yang saya ambil di bangku SMA adalah ilmu pasti
(IPA), jadi selama 2 Tahun saya mempelajari dan mendalami ilmu pasti, terutama “matematika”.
Kebingungan yang lain muncul, yaitu ketika saya harus memilih bahasa apa yang
harus saya utamakan. Akan tetapi, kalau di lingkungan IAIN, jurusan bahasa
hanya ada 2, yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris. Untuk bahasa Arab, jurusan
yang dibuka adalah PBA (Pendidikan Bahasa Arab) di Fakultas Tarbiyah dan BSA
(Bahasa dan Sastra Arab) di Fakultas Adab. Sedangkan untuk bahasa Inggris
jurusannya adalah PBI (Pendidikan Bahasa Inggris) di fakultas Tarbiyah, dan
untuk jurusan Sastra Inggris belum dibuka saat itu. Pilihan saya langsung
tertuju pada pada bahasa Arab, karena mengingat pelajaran di Aliyah tidak
terlalu rumit dan ruwet seperti “matematika,
fisika dan kimia”. Kemudian pilihan saya jatuhkan pada Fakultas Tarbiyah,
karena memang sejak kecil ingin menjadi guru, selain itu saya juga bukan alumni
pesantren yang mendapatkan materi bahasa Arab yang lengkap dan sistematis, bisa
dikatakan bahasa Arab yang saya ketahui adalah bahasa Arab karbitan. Ya, pikiran saya masuk di PBA akan lebih mudah saya
jalani dari pada masuk di jurusan BSA.
Waktu
terus berjalan dan satu-demi satu mata kuliah saya lalui. Di sana, saya bertemu
dengan banyak teman yang mayoritas adalah lulusan dari pondok pesantren
bertahun-tahun lamanya, sekelas Gontor, Tebuireng, Madrosatul Qur’an,
Tambakberas, Mamba’us Sholihin, Lirboyo, Sidogiri, Langitan, An-Nuqayah,
Al-Amin dan lainnya. Mulai dari Gus, Neng, Ustad, sampai yang sudah
bergelar Kyai Muda. Dengan perjuangan yang sangat keras, semester demi semester
saya jalani, dengan segala kesulitan yang saya alami, ternyata saya sadar bahwa
basic bahasa Arab yang saya miliki
sangatlah jauh dari yang diharapkan. Sebagaimana pada ilmu kebahasaan lainnya,
ada empat maharah (keterampilan) yang
harus dikuasai, yaitu istima’, kalam,
qiro’ah dan kitabah. Dalam
jurusan PBA kita dituntut untuk dapat menguasai keempat maharah tersebut dan
menguasai metode atau cara untuk mengajarkannya kepada para siswa nantinya.
Masalahnya adalah, di kampus kita tidak lagi dianggap sebagai santri yang lugu dan belum mengerti apa-apa, akan
tetapi kita sudah dianggap mampu dan mahir dalam bahasa Arab sesuai standar
lulusan pesantren. Di pesantren pada umumnya, sudah diajarkan sampai khatam kitab al-Maqsud, al-Jurumiyyah, al-‘Imrithi, Alfiyah, Balaghah, Mantiq dan
lain sebagainya, selain itu mereka juga sudah lancar sekali dalam
bercakap-cakap dengan bahasa Arab. Hal itu semakin menyiutkan nyali saya untuk bersaing dengan mereka. Semua saya
jalani dengan sekuat tenaga dan seakan berlari mengejar ketertinggalan. Akan
tetapi saya hanya bisa bersyukur, dalam empat Tahun saya bisa menyelesaikan
studi ini, walaupun hampir saja saya tidak bisa lulus tepat pada semester 8.
Hal itu dikarenakan saya terlambat menyelesaikan skripsi tepat waktu dan harus
membayar biaya registrasi semester 9.
Mulai
di bangku kuliah inilah pola pikir saya mulai terkonsepsi dengan baik dan
seakan memiliki tujuan hidup yang jelas. Semenjak itu, saya mulai memantapkan
diri untuk membaktikan diri saya di bidang pendidikan dan khususnya pada pendidikan bahasa Arab. Oleh
karena itu, saya bertekad untuk terus melanjutkan studi di bidang keilmuan
pendidikan dan tentunya juga terus memperdalam ilmu bahasa Arab sedalam dan
sejauh apa yang saya bisa sampai nafas ini berhenti berhembus. Kemudian hal
lain yang saya dapatkan selain di bangku kuliah adalah mulai bersentuhannya
kepala ini dengan pemikiran tokoh-tokoh nasional maupun dunia yang menjadi
inspirasi bagi saya dalam mengambil langkah kehidupan ini. Hal ini semuanya
tidak saya dapatkan di bangku kuliah, akan tetapi saya dapatkan di
diskusi-diskusi ringan dan berbagai seminar di luar bangku kuliah.
Aktifitas di Luar Jam Kuliah
Saya
sangat berterima kasih kepada PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), karena
disinilah saya pertama kali merasakan dentuman semangat untuk menggali dan
mencari kebenaran yang haqiqi, serta
belajar beberapa pemikiran modern Islam yang merupakan ramuan dari ilmu-ilmu
keIslaman dengan filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Walaupun proses pengkaderan
yang saya alami tidak karuan, tapi
saya tetap memelihara idealisme yang mulai terbentuk disana, sampai kapanpun.
Saya bergabung di PMII mulai dari semester pertama perkuliahan, segala kegiatan
saya ikuti dengan lengkap dan rutin. Sebut saja beberapa teman setia yang
menemani saya berproses di sini, khususnya angkatan ‘07 “STRESS”, yaitu Arif
‘Asy’ary, Khorul Hidayah, ‘A’yunul Fauziyah, Muhammad Najib, Kendhi Ardiansyah,
A. Rifa’i Hamzah, Arqom Hidayat, ‘A’yun Bongki’, Dias, Atik Zuhriyah, Agung dan
lain-lain. Merekalah yang selalu memberikan inspirasi bagi saya untuk selalu
berpikir dan tidak berhenti untuk bertanya, walaupun tidak jarang mereka
berpikir nakal dan berani. Selain
itu, yang paling besar pengaruhnya adalah bimbingan para senior, antara lain
Cak Iqbal, Cak Umam, Cak Asep, Cak Junaidi, Cak Masyhuri, Cak Suhadi dan lain
sebagainya. Di samping di PMII, saya juga banyak menghabiskan waktu di
organisasi P3SDM (Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), menjadi
pengurus Ormada (Organisasi Mahasiswa Daerah) Tuban IMARO (Ikatan Mahasiswa
Ronggolawe di IAIN) dan FKMRT (Forum Komunikasi Mahasiswa Ronggolawe di
Surabaya), dan sibuk menjadi pengurus Pondok Pesantren Mahasiswa “Al-Jihad”
Surabaya. Akan tetapi pada dua tahun
terakhir menjelang saya lulus, aktifitas itu hampir saya tinggalkan seluruhnya.
Karena memang dengan kemampuan bahasa Arab yang pas-pasan, sulit rasanya
menyelesaikan skripsi yang kesemuanya ditulis dalam bahasa Arab. Oleh karena
itu, keputusan ini harus saya ambil agar tujuan awal saya belajar di bangku
kuliah tidak kandas di tengah jalan, meskipun berbagai hujatan dan teguran
miring saya dapatkan.
Posting Komentar