0
Cerita Saya (2)
Posted by Unknown
on
07.03
in
Biografi.
Pesantren al-Jihad yang Tradisonal dan Moderat
Mungkin agak berbeda dengan
teman-teman yang getol sekali sebagai
aktifis, saya lebih memilih tinggal di pesantren dari pada di kos atau di
sekretariat organisasi. Padahal dengan tidak terikat dengan pesantren, itu bisa
membuat saya lebih bebas dalam berekspresi dan mengembangkan diri. Memang hal
itulah yang menjadi pilihan saya, dengan mengikat diri dengan pesantren, saya
lebih bisa mengatur jadwal aktifitas
sehari-hari. Tahun pertama sampai dengan tahun ketiga saya menjadi santri Pon.Pes
Mahasiswa “Al-Jihad” Jemursari Surabaya atas bimbingan Drs. K.H. M. Imam
Hambali. Saya memilih pesantren ini karena suasananya yang rapi dan bersih,
selain itu kegiatan ubudiyah-nya juga
terjaga dengan baik. Ada pelajaran
berharga yang saya dapatkan selama berada di sini, yaitu teladan yang diberikan
oleh Sang Pengasuh, tentang pentingnya arti istiqomah
dalam melakukan ubudiyah, pentingnya
sebuah profesionalisme dalam bekerja dan pentingnya disiplin waktu dalam segala
aktifitas kehidupan kita. Secara garis besar, ada tiga poin tersebut yang bisa
saya simpulkan. Banyak sekali aktifitas yang diwajibkan di pesantren ini,
sedikit bisa saya sebutkan adalah diharuskannya mengikuti semua ubudiyah di
pondok, mulai dari Sholat Maktubah, Sholat Tahajjud, Yasinan, Amalan Asma’
al-Husna, pengajian “Rahmatan lil ‘Alamin” setiap bulan, Milad Pondok tiap tahunnya dan lain sebagainya. Selain itu, juga
ada kegiatan ta’lim harian yang harus kami ikuti, antara lain; intensif bahasa
Arab dan Inggris, intensif Al-Qur’an di waktu malam dan ta’lim beberapa kitab
kuning di waktu pagi setelah shubuh. Adapun kitab-kitab yang dikaji antara
lain; Tafsir al-Ibriz yang diasuh
sendiri pengasuh, Nasha’ih al-Ibaad,
Minhaj al-‘Abidin, Qurrah al-‘Uyuun, Fiqh al-Manhaji dan Tuhfath al-Thullab. Kalau dilihat dari macam
kitabnya dangat banyak, akan tetapi sayangnya semua tidak sampai selesai,
karena kurangnya intensitas waktu mengaji dan kurang adanya perencanaan yang
matang tentang target yang diharapkan. Kalau bisa dikatakan, satu kitab pun
tidak akan khatam sampai setahun ditambah lagi saya pindah dari pondok satu
tahun sebelum lulus. Akan tetapi, walaupun begitu, rentang waktu tiga tahun
tersebut memberikan pengalaman spiritual yang sangat berharga bagi saya
pribadi. Kultur tradisional sangat kental disini, artinya tidak jauh beda
dengan di tempat kelahiran saya, disini juga dilaksanakan kegiatan rutinan
sholawat, seperti Shalawat Burdah, Maulid
Diba’i, Maulid Barzanji, Istighosah, Tahlil dan tidak ketinggalan adalah
do’a Qunut di sholat shubuh. Anehnya,
kepengurusan yayasan ini dipegang oleh orang-orang yang berbeda kultur dalam
beribadah, tetapi semuanya rukun dan tidak pernah ada perdebatan yang berarti.
Mungkin hal ini yang menyebabkan jumlah rakaat tarawih di sini cuma delapan
rakaat, berbeda dengan masjid-masjid kebanyakan yang memegang teguh dua puluh
rakaat. Kebersamaan saya dengan teman-teman di sini harus berakhir, karena saya
mengambil keputusan untuk pindah ke tempat lain sebelum lulus kuliah. Di sini
pula saya juga sempat menjadi guru TPQ dan guru intensif al-Qur’an kurang lebih
selama 4 bulan, selanjutnya karena saya harus pindah asrama, maka aktifitas
tersebut juga saya tinggalkan, berat rasanya.
Hijrah ke Ma’had Umar ibn al-Khattab yang
Jauh Berbeda
Tepatnya pada akhir semester 6 atau
awal semester 7, saya hijrah dari
pesantren al-Jihad menuju ke sebuah pesantren/ma’had yang sangat berbeda corak peribadatannya. Sebetulnya saya
sangat enggan untuk pindah ke tempat lain, akan tetapi ada beberapa hal yang
membuat saya sangat tertarik untuk pindah ke sana, ke sebuah ma’had yang
bernama “Umar ibn al-Khattab” di kompleks Perum. Gunung Anyar Surabaya. Hal tersebut
di mulai ketika adanya brosur yang beredar di ponpes al-Jihad, bahwa ada sebuah
ma’had yang juga sebuah kampus, membuka program pendidikan gratis. Bidang
pendidikan yang ditawarkan adalah D2 Bahasa Arab, S1 Syari’ah dan Tahfidz
Qur’an 2 Tahun. Kesemuanya itu gratis tanpa biaya, hanya untuk buku-buku
ajarnya saja kita harus membelinya
sendiri. Karena memang di ponpes al-Jihad saya merasa tidak puas, saya tidak bisa
mengembangkan keilmuan bahasa Arab dengan baik dan maksimal, maka pilihan D2
Bahasa Arab di sana sangat menarik. Akhirnya setelah masa PPL (Praktek
Mengajar) selesai, saya langsung mendaftar disana dan alhamdulillah lulus tes.
Selain mendaftar di kampusnya, saya juga masuk pada asrama mahasiswanya, karena
biayanya memang sangat murah, yaitu satu semester hanya diwajibkan membayar Rp
150.000,-. Dengan harapan bisa meningkatkan kemampuan muhadatsah saya di sana,
maka artinya saya harus pindah ke asrama/maskan
Ma’had Umar ibn al-Khattab. Akhirnya, saya menjalani dua perkuliahan
sekaligus, di IAIN Sunan Ampel yang tinggal setahun lagi dan di Ma’had “Umar
ibn al-Khattab” ini selama dua Tahun. Pertimbangan saya saat itu, saya pasti
bisa menjalani dua kewajiban itu sekaligus, karena memang di kampus IAIN
tinggal ada dua mata kuliah lagi dan jarak dari IAIN ke Ma’had Umar cukup
dekat, hanya sekitar 5 km (butuh waktu sebentar jika ditempuh dengan motor).
Sekilas
tentang Ma’had Umar ibn Khattab, institusi ini berada di bawah naungan Yayasan
Asia Muslim (Asia Muslim Charity Foundation)
yang berada di luar negeri. Selain ma’had ini, ada puluhan ma’had lain di
seluruh Indonesia yang berada di bawah naungannya. Kemudian dalam operasionalnya
di Indonesia, yayasan tersebut berafiliasi
dengan Universitas “Muhammadiyah” di seluruh Indonesia. Semua biaya pendidikan
dari fasilitas kampus, gaji dosen dan sebagainya ditanggung oleh yayasan
tersebut. Hal yang lain adalah bahwa di ma’had ini, budaya keagamaannya sangat
berbeda dengan kampung halaman saya dan ponpes al-Jihad sebelumnya. Sebelumnya masuk
ke sini saya sudah menyadari dan menyiapkan mental, bahwa saya akan masuk di
lingkungan “Muhammadiyah” yang berbeda madzhab dalam masalah ubudiyah. Akan tetapi ada hal lain yang
saya ketahui disini, ternyata sebagian besar mahasiswa dan para dosen justru banyak
yang bukan dari Muhammadiyah, mereka cenderung lebih kaku dalam pandangan
keagamaan. Sering sekali saya mendapat penjelasan di kelas yang menyudutkan
semua amalan yang saya lakukan sejak kecil, di samping itu, topik diskusi para
mahasiswa di asrama juga tidak jauh berbeda dan ujung-ujungnya saya pasti tahu
apa kesimpulannya. Akan tetapi, semua itu adalah sunnatullah, perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan dalam
kehidupan manusia. Hal yang harus kita lakukan adalah bersikap toleran, bukan
sebaliknya merasa benar sendiri dan menyalahkan orang lain. Saya menghadapi
semua itu dengan santai, mengalir dan menganggap hal itu biasa saja, dalam bergaul
saya menghindari pembahasan furu’iyyah
tersebut. Adanya hal ini semakin membuat
saya bersemangat untuk terus mencari dan mencari hujjah yang paling mendekati kebenaran, karena saya sadar bahwa
kebenaran mutlak hanyalah milik Allah. Tapi, dibalik itu semua, belajar disini
sungguh sangat menyenangkan dan menenangkan, karena suasana belajarnya sangat
kondusif ditambah semangat para santri/mahasiswanya yang luar biasa.
Enam
bulan berjalannya perkuliahan, saya merasakan beban yang luar biasa. Pertama adalah dikarenakan seringnya
saya tidak masuk kuliah disini, karena harus masuk di kampus Sunan Ampel yang
sering kali jamnya bertabrakan. Karena terlalu seringnya izin, para dosen sudah
mengeti kalau saya pasti tidak masuk pada hari-hari tertentu. Kedua, dengan padatnya jam kuliah di
ma’had ini, menjadikan saya terlena dan melupakan kewajiban saya menyelesaikan
skripsi saya di kampus IAIN Sunan Ampel. Ketiga,
dikarenakan saya harus mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) di daerah Bojonegoro
–Jawa Timur selama satu bulan, jadi selama satu bulan penuh itu saya tidak
masuk kuliah di ma’had. Tentunya saya harus tau diri, seorang mahasiswa/santri
yang tinggal di maskan akan sangat
tidak etis kalau sering membolos, apalagi di asrama ini semua santri mendapat
keringanan biaya, bisa dibayangkan betapa kondisii saya menjadi semakin sulit.
Pada
akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti kuliah di ma’had Umar ibn al-Khattab
dan menyelesaikan skripsi saya hingga selesai dan lulus. Ternyata berat juga
menjalani dua konsentrasi sekaligus, harus ada yang lebih diutamakan dan harus
dikorbankan. Akhirnya, kuliah di ma’had ini yang harus saya korbankan.
Mampir ke Pesantren an-Nur yang agak Liberal
Pasca kegiatan Kuliah Kerja Nyata
(KKN), saya disibukkan dengan aktifitas membuat laporan KKN. Membuat laporan
KKN itu ternyata lebih sulit dari pada pelaksanaan KKN-nya itu sendiri, karena
kita diharuskan mengingat-ingat lagi pelaksanaan KKN yang telah berlalu dan
harus mengedit semua setoran laporan
dari para anggota KKN yang semuanya terpotong-potong dan sangat sulit untuk
dijadikan satu rangkaian utuh, maklum, menjadi kordes (Koordinator Desa) yang
kelompoknya selalu berkonflik, harus ada pengorbanan. Nah, pada saat itu
status saya sudah tidak mempunyai tempat tinggal, karena sudah menyatakan
keluar dari Ma’had Umar ibn al-Khattab, tapi waktu menuntut saya untuk
secepatnya menyelesaikan laporan itu. Akhirnya, ada tawaran dari seorang teman,
Khafid namanya, dia menawarkan tinggal di UKM Musik Fakultas Tarbiyah sampai
laporan bisa terselesaikan. Jadi, posisi saya pada saat itu seperti orang
hilang yang numpang hidup di kampus.
Sampai kurang lebih lima hari berada di kantor UKM Musik, akhirnya saya
memutuskan harus mencari tempat tinggal secepatnya, untuk menyelesaikan laporan
ini dan mengerjakan skripsi saya nantinya.
Saya sempat mempunyai rencana untuk
kembali ke Pon.Pes al-Jihad, tapi ada rasa segan dengan Bapak Pengasuh, karena
sebelumnya sudah benar-benar pamitan boyong
dan pindah asrama. Akhirnya, di belakang kampus juga terdapat pesantren
mahasiswa lain untuk putra dan putri, di samping itu pengasuh Pondok tersebut
juga sangat terkenal keilmuannya di kampus, khususnya dalam Studi Islam-nya.
Beliau adalah Dr. K.H. Imam Ghazali Said, MA., dosen Sejarah Peradaban Islam
pada Fakultas Adab yang telah menamatkan S1 sampai S2-nya di Mesir dan Sudan –
Timur Tengah, karena hal itulah saya memutuskan untuk masuk di pesantren
tersebut.
Saya tinggal di pesantren ini selama
kurang lebih 6 Bulan, sama ketika di pesantren al-Jihad dahulu, menjadi santri
dan sekaligus menjadi mahasiswa. Kegiatan di pesantren ini hampir sama seperti
pesantren mahasiswa pada umumnya. Sholat maktubah berjamaah, kajian pagi
setelah shubuh, dan intensif bahasa Arab
dan bahasa Inggris. Hanya saja di sini, kegiatan mengaji (ta’lim) setelah shubuh sangat ditekankan dan diutamakan. Dari
sekian banyak santri, dibagi ke dalam tiga kelas yang semuanya diajar oleh guru
yang berbeda dan dengan kitab yang tidak sama. Setiap santri dibebaskan untuk
memilih kelas mana yang menjadi minatnya dan harus konsisten dengan pilihannya,
karena setiap hari diadakan pengabsenan. Kalau saya pribadi, mengikuti kelasnya
Bapak Pengasuh Pondok, dengan kitab yang dikajii antara lain; Muhtashar Ihya’ Ulum al-Din, Riyadh al-Shalihin
dan Kitab Iqadh al-Himam fi Syarh al-Hikam. Sebelum saya masuk di pesantren
ini, sudah banyak pula kitab-kitab lain yang sudah selesai dikaji. Sedangkan
untuk kegiatan intensif bahasa, pembelajarannya dibagi dalam dua bagian. Pada
semester ganjil selama 6 bulan, diajarkan secara intensif materi bahasa Arab,
kemudian pada semester genap berikutnya selama 6 bulan diajarkan materi bahasa
Inggris. Semua itu bertujuan agar materi dapat diserap secara maksimal oleh
para santri. Pelaksanaanya hampir sama, santri dibagi ke dalam beberapa kelompok
sesuai dengan kemampuan. Di masing-masing kelas tersebut, materi yang diajarkan disesuaikan dengan
kemampuan santri.
Melihat program pesantren yang
begitu banyak dan tertata rapi seharusnya semua berjalan dengan baik pula. Akan
tetapi, sebagian besar santri terutama santri putra, enggan melaksanakannya
dengan sepenuh hati. Permasalahannya sama dengan pesantren yang lain, yaitu
banyak santri yang menganggap hidup di pesantren sama dengan di kos-kosan.
Santri di sini aneh, mereka meninggalkan aktifitas pondok bukan karena sibuk
bekerja sampingan atau karena aktif di organisasi, tapi mereka hanya ingin
mencari kesenangan pribadi dan ingin bebas.
Akibatnya, Pak Yai Ghozali marah-marah terus setiap hari.
Di musholla putra yang kecil itulah,
saya mempelajari pemikiran dan argumen Bapak Dr. K.H. Imam Ghazali Said, MA. –
seorang Kyai yang berwawasan luas dan berani mengeluarkan argumennya walau
berbeda dengan kebanyakan orang. Karena jalan pikiran dan argumen beliaulah,
banyak Kyai sepuh di kalangan Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) yang berseberangan
dengannya. Hal itu mungkin yang menyebabkan beliau tidak masuk dalam jajaran
pengurus wilayah NU, hanya duduk di Syuriyah PCNU Surabaya saja. Kalau boleh
saya petakan, ada beberapa pelajaran yang bisa saya ambil dari Pak Yai Ghozali.
Pertama, beliau mengajarkan arti
sebuah objektifitas, dengan objektifitas itu cukup untuk kita jadikan dasar
dalam berpijak, khususnya dalam ritual keagamaan. Dalam hal ini beliau
mengajarkan kita untuk tidak bertaqlid
buta dengan ajaran leluhur, tapi benar-benar selektif melakukan kajian, apakah
ajaran itu sejalan dengan pesan agama atau tidak. Kalau boleh saya berpendapat,
beliau adalah pembawa arus baru dalam NU, bahwa dalam menghadapi tantangan kaum
tekstualis dan literalis kita juga harus melawannya dengan pendekatan yang
sama. Satu contoh, dalam sebuah buku karangan beliau yang berjudul “al-Ad’iyyah wa al-Adzkar” atau kumpulan
doa dan dzikir, di setiap teks dzikir dan do’a yang tertulis disertai dengan in note (catatan perut) sumber dari hadits
dan al-Qur’an. Berbeda dengan buku-buku pada umumnya yang menuliskan banyak
teks dzikir dan do’a tapi tidak jelas rujukannya. Dengan demikian, keterangan
tersebut secara otomatis dapat menghindari anggapan bid’ah dan bahkan sesat. Kedua,
beliau menekankan bahwa kita harus terus berpikir dan mencari jawaban
setiap problematika di masyarakat. Nah, dari pemikiran yang mendalam tersebut
akan tercipta gagasan yang orsinil
dan berasal dari kita sendiri. Kalau kita sudah meyakini bahwa gagasan itu
benar, kita harus berani untuk mengungkapkan gagasan itu dengan rasionalisasi
yang logis, meskipun itu bertentangan dengan kebanyakan orang. Kalau memang
gagasan kita baik, tentu akan banyak yang sepakat, tapi jangan sampai itu
membuat kita besar kepala. Sebaliknya, kalau gagasan kita tersebut terbukti
kurang sesuai sebagai solusi permasalahan, maka kita harus berbesar hati untuk
mengakui bahwa kita salah. Ketiga, beliau
berpesan tentang kesuksesan, masih saya ingat kata beliau yang mengambil sebuah
hasil penelitian di Amerika Serikat. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa
85 % kesuksesan seseorang itu ditentukan oleh relasi (public relations), sedangkan sisanya 15 % ditentukan oleh
kecerdasan dan kekayaan. Jadi, disini dapat ditarik pelajaran bahwa kita harus
memperbanyak silaturrahim dalam hidup ini, dengan siapapun. Aktif di
organisasi, menjadi aktifis sosial, banyak bergaul, semua itu menjadikan kita
dapat memperoleh banyak relasi. Dari banyaknya relasi tersebut akan mempermudah
kita, jika kita mengalami kesulitan dalam hal mengembangkan usaha atau yang
lainnya. Kita tidak boleh cepat bangga dengan jumlah IPK (Indeks Prestasi
Komulatif) yang cumlaude atau puas
dengan kekayaan orang tua, karena semua itu tidak akan bisa berkembang tanpa adanya
relasi yang luas. Melalui public relation
itu, kita dapat terus belajar dari orang lain dan bisa mengembangkan bakat,
ilmu maupun kegiatan usaha yang kita miliki.
Sambil berada di pesantren ini pula,
saya menjalani aktifitas sambilan. Saya sempat menjadi guru privat al-Qur’an
selama 1 bulan dan menjadi guru TPQ kembali di tempat yang berbeda selama kurang
lebih 3 bulan. Walaupun penghasilan yang saya dapatkan tidak ada apa-apanya,
tapi banyak pengalaman mengajar yang saya dapatkan di sini. Akan tetapi,
aktifitas tersebut saya hentikan semuanya, dikarenakan saya harus menyelesaikan
skripsi yang sudah telat deadline,
lagi-lagi saya dihadapkan pada dua pilihan, ingin cepat lulus dengan
meninggalkan segala aktifitas sampingan atau tetap mempertahankannya, tapi
lulusnya belakangan.
Akhirnya Lulus Juga
Tepatnya pada Bulan Oktober 2011, saya
selesai mengerjakan skripsi dan di bulan itu pula saya diwisuda. Setelah
melalui perjuangan panjang dan menjemukan, akhirnya saya bisa lulus ujian juga.
Saya menyelesaikan skripsi atas bimbingan Bapak Syafi’i, M.Ag. yang juga adalah
sekretaris jurusan PBA. Sebelumnya, saya hampir putus asa, karena judul skripsi
saya baru diterima setelah dua bulan lamanya, tentunya dengan berpuluh-puluh
judul yang telah saya ajukan. Ya, judulnya cukup simple, tapi cakupannya luas sekali, yaitu “Dirasah ‘an Nidham Ta’liim al-Lughoh al-‘Arabiyyah fi Fashl al-Lughoh
wa Fashl Ghoir al-Lughoh bi al-Madrasah al-Tsaanawiyyah al-Hukuumiyyah Tuban”
(Studi Tentang Sistem Pembelajaran Bahasa Arab Kelas Bahasa dan Kelas Non
Bahasa di Madrasah Aliyah Negeri Tuban). Dalam skripsi ini, saya harus
menguraikan semua komponen sistem pembelajaran satu persatu. Antara lain;
tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, media pembelajaran dan evaluasi pembelajaran
pada materi bahasa Arab di kelas jurusan Bahasa, IPA dan IPS. Akan tetapi, saya
sangat bersyukur kepada Allah, karena saya dapat melewati ujian skripsi yang
sangat menegangkan kala itu dengan dosen penguji Bapak Al-Qudus NES, Lc, M.HI.
dan Bapak Dr. Muhammad Baihaqi, MA., dua orang dosen yang telah lama belajar di
Timur Tengah.
Tepatnya
pada hari Sabtu, tanggal 8 Oktober 2011, wisuda saya akan dilaksanakan. Malam
sabtu sebelum saya diwisuda, di halaman Pesantren An-Nur Wonocolo diadakan
wisuda terlebih dahulu secara internal pondok. Semua peserta adalah mahasiswa
IAIN Sunan Ampel angkatan 2007 dengan jurusan yang bermacam-macam. Acaranya beraneka
ragam, mulai acara ceremonial yang terdiri dari pembukaan, pembacaan ayat suci
al-Qur’an dan sambutan. Pada acara inti, adalah sambutan dari perwakilan
wisudawan/i yang menyampaikan pesan dan kesan selama kuliah dan selama berada
di pesantren, kemudian dilanjutkan dengan ceramah dari Bapak Pengasuh, Dr.K.H
Imam Ghazali Sa’id, MA., yang akrab disapa dengan “Abi”. Kurang lebih yang disampaikan pengasuh adalah seperti yang
saya uraikan sebelumnya. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemberian cindera mata
dari para wisudawan kepada pengasuh, berupa buku-buku bacaan penunjang
perkuliahan. Buku tesebut dapat dijadikan koleksi perpustakaan An-Nur dan bisa
bermanfaat bagi semua santri. Acara ditutup dengan do’a dari pengasuh dan
diakhiri dengan hiburan drama dari beberapa teman. Dengan sekian banyaknya
acara, tidak terasa semuanya baru selesai pada pukul 23.00 WIB malam, kemudian
sebelum tidur, saya mempersiapkan semua peralatan untuk wisuda keesokan
harinya, mulai dari sepatu, dasi, dan pakaian toga wisuda.
Pagi harinya, Sabtu 8 Oktober 2011,
wisuda sarjana ke 66 dilaksanakan. Saat itu lapangan olahraga IAIN Sunan Ampel
penuh dengan mahasiswa yang berpakaian toga mulai dari program doktor, magister
dan sarjana, jumlah seluruh wisudawan/i adalah 1.233 orang. Acaranya seperti
biasa, mulai dari pembukaan, pembacaan ayat suci al-Qur’an dan sambutan Pgs.
Rektor, saat itu disampaikan oleh Prof. Dr. H. Abd. A’la. MA, pembantu rektor
bidang akademik dan pengembangan SDM, hal itu dikarenakan Pak Rektor-Prof. Dr. H.
Nur Syam, M.Si-sedang ada tugas dinas di Jakarta. Kemudian acara dilanjutkan
dengan prosesi wisuda yang memakan waktu sangat lama, dimulai dari program
doktor (S3) dengan jumlah 13 orang, kemudian magister (S2) sejumlah 217 orang dan
terakhir program sarjana (S1) sejumlah 1.003 orang. Acara selanjutnya adalah
orasi dari wisudawati terbaik program doktor yang mengkritisi tentang salah
kaprahnya praktek pendidikan di Indonesia. Pada acara terakhir, adalah
pengucapan janji wisudawan secara bersama-sama hingga acarapun selesai. Maksud
hati ingin tinggal sekitar 2 mingguan
lagi di Surabaya, akan tetapi orang tua memerintahkan untuk langsung pulang ke
Tuban bersama dengan rombongan setelah bersama berpamitan dengan pengasuh
Pesantren An-Nur. Kurang lebih pukul 16.00 WIB sore saat itu, kami (Bapak, Ibu,
paman dan saudara) berangkat dari Surabaya ke Tuban dan sampai di rumah, sekitar
pukul 21.00 WIB malam, karena ban mobil sempat meletus di Gresik.
Paradoks Gelar Sarjana
Gelar sarjana adalah sebagai akhir
dari sebuah formalitas pencarian ilmu yang terlembagakan dalam sebuah institusi
perguruan tinggi. Tergantung orangnya, apakah dia sudah puas dengan gelar
sarjana-apapun disiplin ilmunya-dan berbangga diri karena menjadi superior di
tempat kelahirannya, ataukah dia hanya menganggap itu adalah formalitas yang
tidak ada artinya, melainkan hanya sebuah pemantik semangat untuk terus memperdalam
disiplin ilmunya dan mencari hakikat kebenaran dengan segala upaya serta ini
menjadi momentum awal perjuangan yang sesungguhnya. Semuanya lagi-lagi kembali
kepada akal dan hati nurani sang penyandang gelar tersebut, karena pada
hakikatnya dapat lulus dari sebuah institusi pendidikan adalah hal sangat
mudah, semua bisa di dapat, bahkan oleh orang yang hanya berniat mencari gelar
sarjana belaka, tanpa berpikir panjang ilmu apa dan kualitas apa yang di dapat
dari proses belajar di perguruan tinggi serta kontribusi apa yang nantinya akan
diberikan kepada msyarakat.
Realitas yang penulis alami sendiri,
adalah banyak diantara teman-teman penulis yang belajar di perguruan tinggi
hanya sebatas bertujuan untuk memperoleh lapangan pekerjaan. Kemudian dengan
pekerjaan itu ia gunakan untuk memperkaya diri. Setelah itu, mereka puas dengan
apa yang dicapai, kemudian menganggap bahwa itu adalah sebuah capaian
kesuksesan. Akibatnya, dalam perkuliahan terjadi kecurangan di mana-mana, semua
cara dilakukan untuk memperoleh nilai A+ atau pujian dosen. Bahkan, skripsi pun
bisa dipesankan, asalkan ada uang, semua bisa jadi sesuai pesanan, kemudian
pada akhirnya dia dapat lulus. Ini adalah fenomena di sebuah perguruan tinggi negeri.
Akhirnya, banyak praktisi dengan gelar sarjana, tapi tidak memenuhi kualifikasi
skill yang memadai di bidangnya masing-masing.
Menurut hemat saya, sebagai agent of change dan agent of social control, kaum intelektual yang memiliki kesempatan
menempuh pendidian tinggi harus terus memupuk idealisme yang dalam dan
konsisten membawanya hingga akhir hayat. Banyak oknum dari kaum intelektual yang
bergelar magister, doktor, bahkan profesor, akan tetapi tidak jarang mereka
melakukan tindakan yang kurang pantas untuk mencapai segala apa yang diinginkan.
Sebut saja semakin menggunungnya kasus korupsi di tanah air, perbuatan tersebut
bukan dilakukan oleh orang yang bodoh, melainkan oleh kaum intelektual lulusan
perguruan tinggi. Bahkan yang disayangkan, penyakit tersebut juga menjangkit
kepada para mantan aktivis yang semasa mudanya sangat konsisten menentang penindasan
terhadap para mustad’afiin yang
khususnya dilakukan oleh para pejabat negara. Mereka lupa dengan apa yang
mereka perjuangkan.
Ini
adalah tantangan kita bersama, bagaimana sebisa mungkin menjadi sarjana yang
berkualitas sesuai dengan bidang keilmuannya dan menghiasi diri dengan al-akhlaq al-karimah dalam
mengimplementasikan ilmu di masyarakat. Semoga segala ikhtiyar saya pribadi dan
kita semua selalu disertai dengan pertolongan Allah Swt., agar kita selalu
ingat bahwa segala perjuangan apapun yang kita lakukan adalah untuk Allah Swt.
Sikap yang harus kita pertahankan
adalah terus belajar tiada henti, sehingga keilmuan kita pasca pesantren maupun
perkuliahan dapat terus berkembang. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah
sikap rendah hati yang harus selalu kita pupuk di dalam hati sanubari kita.
Karena dalam sebuah sya’ir dijelaskan: “Ilmu adalah ibarat air hujan yang tutun
ke bumi manjadi banjir, dia tidak akan mengalir ke tempat yang tinggi,
melainkan akan terus mencari tempat yang lebih rendah. Begitu pula ilmu, dia
tidak akan pernah memenuhi akal dan hati seseorang yang ada rasa sombong di dalamnya,
melainkan akan memenuhi seseorang yang memiliki sifat tawadhu’ dan rendah
hati”. Jadi, dapat dimengerti bahwa indikator orang yang ‘alim adalah adanya
sifat rendah hati yang tertanam dalam sanubari dan tercermin dalam perilaku
sehari-harinya.
Posting Komentar