0
RASIONALISME; SEBUAH ALIRAN EPISTEMOLOGI FILSAFAT
Posted by Unknown
on
23.34
in
Makalah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Manusia
pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas
dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang
sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap
jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya
dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah
kebenaran yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu
kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan
pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti
untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk
terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah
ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori
sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan
penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap
permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku,
artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung
seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap
dunia.
Untuk
itulah setiap manusia harus dapat berfikir filosofis dalam menghadapi segala
realitas kehidupan ini yang menjadkan filsafat harus dipelajari. Filsafat merupakan
sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan
merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia, karena ia dapat menjadikan
manusia untuk bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang
tinggi (actus humanus), bukan asal bertindak sabagaimana yang biasa
dilakukan manusia (actus homoni). Kebijaksanaan tidaklah dapat dicapai
dengan jalan biasa, ia memerlukan langkah-langkah tertenu, khusus, istimewa.
Beberapa langkah menuju kea rah kebijaksanaan itu antara lain: 1) membiasakan
diri untuk bersikap kritis terhadap kepercayaan dan sikap yang selama ini
sangat kita junjung tinggi, 2) Berusaha untuk memadukan (sintesis) hasil
bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusian, sehingga menjadi pandangan yang
konsisten tentang alam semesta beserta isinya, 3) mempelajari dan mencermati
jalan pemikiran para filsuf dan meletakkannya sebagai pisau analisis untuk
memecahkan masalah kehidupan yang berkembang dalam kehidupan konkrit, sejauh
pemikiran itu memang relevan dengan situasi yang kita hadapi, 4) menelusuri
hikmah yang terkandung dalam ajaran agama, sebab agama merupakan sumber
kebijaksanaan hidup manusia.[1]
Pengetahuan dalam filsafat dibahas dalam
epistemologi. Dari epistemologi, lahirlah dua madzhab besar sumber pengetahuan
yang sangat terkenal, yaitu rasionalisme dan empirisme. Dalam tulisan ini,
secara panjang akan diuraikan madzhab yang pertama, yakni rasionalisme. Latar
belakang munculnya rasionalisme adalah adanya keinginan untuk membebaskan diri
dari segala pemikiran tradisional (scholastic), yang pernah diterima,
tetapi ternyata tidak mampu mengenai hasil-hasil ilmu pengetahuan yang
dihadapi. Pada tokoh aliran Rasionalisme diantaranya adalah Descartes (1596-
1650 M). Tema yang kerap kali muncul dalam filsafat adalah hubungan antara
pikiran kita dan dunia. Yakni para filosof yang pandangannya saling berbeda, Descartes
dan John Locke, telah setuju bahwa alam pikiran kitalah yang membedakan manusia
dari binatang, dan sebagian besar filsafat berkaisar pada persoalan yang muncul
didalam fikiran yang demikian itu ketika mereka memikirkan bagaimana wilayah
pemikiran itu berkerja
Aliran filsafat yang berasal dari Descartes ini
di sebut dengan rasionalisme, karena aliran ini sangat mementingkan rasio.
Dalam rasio terdapat ide-ide dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu
pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dalam memahami aliran
rasionalisme, kita harus memerhatikan 2 masalah utama yang keduanya di
warisi dari Descartes. Pertama, masalah substansi dan kedua masalah
hubungan antara jiwa dan tubuh.[2]
Rasonalisme kebanyakan dihubungkan secara
erat dengan filsuf abad ke-18 dan ke-19, seperti Descartes, Leibniz, dan
Spinoza. Bagaimanapun juga, karakteristik yang pasti dari rasionalisme bisa
dideteksi dalam banyak pemikir sebelum dan sesudah mereka. Rasionalisme percaya
bahwa cara untuk mencapai pengetahuan adalah menyandarkan diri pada sumber daya
logika dan intelektual. Penalaran demikian tidak berdasarkan pada data
pengalaman, tetapi diolah dari kebenaran dasar yang tidak menuntut untuk
menjadi dan mendasarkan diri pada pengalaman.
Rene Descartes yang mendirikan aliran
rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya
adalah akal. Hanya oengetahuan yang diperoleh lewat akallah yang memenuhi syarat
yang dituntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan akal, dapat diperoleh
kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti.[3]
Ada anggapan bahwa kaum rasionalis adalah sebagai
“filosof yang mengawang-awang” tidak seluruhnya salah, karena pendekatan mereka
kepada filsafat menyarankan bahwa seluruh kebenaran penting tentang realitas bisa
ditemukan hanya dengan berpikir, tanpa kebutuhan untuk berangkat dan menguji
dunia. Rasionalisme bisa memunculkan sedikit bintik pada pikiran modern, yang
digunakan untuk ide bahwa pengatahuan yang menekankan diri pada percobaan
dan pengamatan, adalah penting untuk mengetahui selanjutnya.[4]
Oleh karena itu, dalam tulisan ini sangat
penting kiranya untuk diulas secara mandalam tentang bagaimana corak pemikiran
rasionalisme sebagai bagian aliran dari epistemologi filsafat, bagaimana cara
kerjanya, metodenya, siapa saja tokohnya dan apa saja pemikiran yang
dihasilkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud Epistemologi dalam Filsafat?
2. Apakah Pengertian Rasionalisme sebagai Aliran Epistemologi?
3. Bagaimana Pemikiran para Tokoh Rasionalisme?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Konsep Epistemologi dalam Filsafat.
2. Untuk Mengetahui Pengertian Rasionalisme sebagai Aliran
Epistemologi.
3. Untuk mengetahui Pemikiran Tokoh-Tokoh Rasionalisme
PEMBAHASAN
A. Epistemologi dalam Filsafat
a) Pengertian Epistemologi
Sebelum
menyelam lebih jauh pada aliran rasionalisme, terlebih dahulu yang harus
dipahami adalah “Epistemologi” dalam filsafat, karena darinyalah dilahirkan
aliran rasionalisme. Epistemologi berasal dari kata Yunani, yaitu epistememe
= pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu.[5]
Epistemologi bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan
syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba
memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan
objektivitasnya.[6]
Jadi,
epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara
memperolehnya. Dengan bahasa yang lain, menurut Mohammad Adib, Epistemologi
adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata cara,
teknik atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.[7]
Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa epistemologi membahas tentang
bagaimana suatu pengetahuan atau keilmuan dapat diperoleh manusia.
Rasionalisme
tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang
sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa
kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang
sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau
yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran
kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.[8]
b) Cara Kerja Epistemologi
Cara
kerja atau metode pendekatan dalam
epistemologi menggambarkan bagaimana ciri khas pendekatan filosofis
terhadap gejala pengetahuan. Ciri khas cara pendekatan filsafat terhadap objek
kajiannya tampak dari jenis pertanyaan yang diajukan dan upaya jawaban yang
diberikan. Filsafat berusaha secara kritis mencoba mengajukan pertanyaan dan
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum, menyeluruh dan
mandasar. Filsafat bermaksud secara kritis menggugat serta mengusik pandangan
dan pendapat umum yang sudah mapan. Semua itu guna merangsang orang lain untuk
berpikir lebih serius dan bertanggung jawab. Tidak asal saja menerima pandangan
dan pendapat umum.[9]
Misalnya, apabila pengetahuan manusia secara umum disamakan dengan ilmu
pengetahuan dan ilmu pengetahuan diidentikkan dengan sains, maka lingkup
pengetahuan manusia akan semakin dipersempit. Penyempitan paham pengetahuan
seperti ini, sebagaimana terjadi dalam paham saintisme, jelas akan memasung
kekayaan budaya manusia dan harus ditanggapi seara ktitis. Dalam hal pengetahuan,
ada beberapa pertanyaan filosofis mendasar yang diajukan, seperti; Apa itu
pengetahuan? Apa ciri-ciri hakikinya dan mana batas-batas ruang lingkupnya? Apa
beda antara pengetahuan dan kepercayaan? dan masih banyak lagi yang lainnya.
c) Macam-Macam Epistemologi
Berbicara
tentang bagaimana macam-macam epistemologi, berarti berbincang tentang
bagaimana macam-macam cara atau metode memperoleh pengetahuan, ilmu
pengetahuan, ilmu atau keilmuan. Menurut Keith Lehrer, ada tiga macam metode
dalam memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu: a) dogmatic epistemology, b)
critical epistemology dan c) scientific epistemology.[10]
Pertama,
dogmatic epistemology adalah pendekatan tradisional terhadap
epistemologi. Dalam prespektif epistemology dogmatik, metafisika (ontologi)
diasumsikan ada terlebih dahulu, baru kemudian ditambahkan epistemologi. Tokoh
pendekatan/metode ini adalah Plato. Setelah realitas dasar diasumsikan ada,
baru kemudian ditambahkan epistemologi untuk menjelaskan bagaimana kita
mengetahui realitas tersebut. Pertanyaan utama epistemologi ini adalah: Apa
yang kita ketahui? Lalu bagaimana cara kita mengetahuinya?, secara singkat
epistemologi dogmatik menetapkan ontologi sebelum epistemology.
Kedua,
critical epistemology. Ini dikenalkan oleh Rene Descartes, yaitu dia membalik
epistemology dogmatik dengan menanyakan apa yang dapa kita ketahui sebelum
menjelaskannya. Pertanyakan dulu secara kritis baru kemudian diyakini. Ragukan
dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau sudah terbukti ada, baru dijelaskan. Berpikir
terlebih dahulu, baru diyakini atau tidak, meragukan dahulu baru diyakini atau
tidak. Metode Descartes disebut juga metode skeptis. Yakni, skeptis
(ragu) bahwa kita dapat mengetahui secara langsung objek di luar diri kita
tanpa melalui jiwa kita. Pertanyaan utama epistemologi jenis ini: Apa yang
dapat kita ketahui? Dapatkah kita mengetahuinya? Mungkinkah kita dapat
mengetahui sesuatu di luar diri kita?. Dengan kata lain, epistemologi kritis
menetapkan ontologi setelah epistemologi.
Ketiga,
scientific epistemology. Pertanyaan utama epistemologi ini adalah apa
yang benar-benar sudah kita ketahui dan bagaimana cara kita mengetahuinya?.
Epistemologi ini tidak peduli apakah batu di depan mata kita adalah penampakan
atau bukan, yang menjadi urusannya adalah bahwa ada batu di depan mata kita dan
kita teliti secara sainstifik.
d) Aliran-Aliran Epistemologi
Dalam
memperoleh pengetahuan, ada beberapa cara yang masing-masing terdapat perbedaan
yang fundamental. Kemudian cara pemerolehan pengetahuan tersebut berkembang
menjadi madzhab atau aliran dalam epistemologi. Dalam filsafat Barat,
ada beberapa aliran yang berkembang, antara lain; empirisme, rasionalisme, positivisme
dan intuisionisme.[11]
Pertama, aliran Empirisme memandang bahwa manusia memperoleh pengetahuan
melalui pengalaman panca inderanya. Manusia tahu es itu dingin karena dia
menyentuhnya, gula terasa manis karena ia mencicipinya. Tokoh aliran ini adalah
John Locke (1632-1704). Kedua, adalah aliran Rasionalisme. Aliran ini
menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang
benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui
kemampuan akal menangkap objek. Tokoh yang sering dibicarakan pada aliran ini
adalah Rene Descartes (1596-1650). Ketiga,aliran Positivisme. Sejalan
dengan empirisme, aliran ini menganut paham empirisme, akan tetapi ada
penambahan di dalamnya, bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh
pengatahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan
eksperimen. Tokoh aliran ini adalah Auguste Comte (1798-1857). Keempat, adalah
aliran Intuisionisme. Menurut aliran ini, tidak hanya indera saja yang
terbatas, akal juga terbatas, objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek
yang selalu berubah, jadi pengetahuan tentangnya tidak pernah tetap. Akal hanya
dapat memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu.
Dalam hal seperti itu, manusia tidak mengetahui keseluruhan, juga tidak mampu
memahami sifat-sifat yang tetap pada objek. Tokohnya adalah Henri Bergson
(1859-1941).
Dalam
makalah ini akan dibahas sebaca spesifik aliran rasionalisme dalam epistemologi
dengan para tokoh pengusungnya.
B. Rasionalisme Sebagai Aliran dalam
Epistemologi
a) Pengertian Rasionalisme
Rasionalisme
adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting untuk memperoleh pengetahuan dan menetes pengetahuan.[12]
Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami
objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan
dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu adalah kaidah-kaidah logis atau aturan-aturan
logika.
Rasionalisme
tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman
indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang
menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia kepada
kebenaran, adalah semata-mata dengan akal. Laporan indera menurut rasionalisme
merupakan bahan yang belum jelas dan kacau. Bahan ini kemudian dipertimbangkan
oleh akal dalam pengalaman berpikir. Akal mengatur bahan itu sehingga dapatlah
terbentuk pengetahuan yang benar. Akal dapat bekerja dengan bantuan indera,
tetapi akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan
inderawi sama sekali, jadi, akal dapat menghasilkan pengetahuan tentang objek
yang betul-betul abstrak.[13]
b) Sejarah Rasionalisme
Sejarah
rasionalisme sudah tua sekali, pada zaman Thales (624-546 SM) telah menerapkan
rasionalisme pada filsafatnya. Pada filsafat modern, tokoh pertama rasionalisme
adalah Descarts, (1596-1650), kemudian dilanjutkan oleh beberapa tokoh lain,
yaitu Baruch De Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716) dan Blaise Pascal
(1632-1662). Setelah periode ini, rasionalisme dikembangkan secara sempurna
oleh Hegel yang kemudian terkenal sebagai tokoh rasionalisme dalam sejarah.
Rasionalisme
lahir adalah sebagai reaksi terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan
Kristen di Barat. Munculnya rasionalisme ini menandai perubahan dalam sejarah
filsafat, karena aliran yang dibawa Descartes ini adalah cikal bakal Zaman
Modern dalam sejarah perkembangan filsafat. Kata “modern” disini hanya
digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat
berbeda, bahkan berlawanan dengan corak filsafat pada Abad Pertengahan Kristen.
Corak berbeda yang dimaksud disini adalah dianutnya kembali rasionalisme
seperti pada masa Yunani Kuno. Gagasan itu disertai argumen yang kuat oleh
Descartes. Oleh karena itu, pemikiran Descartes sering juga disebut bercorak renaissance,
yaitu kebangkitan rasionalisme seperti pada masa Yunani terulang kembali.
Pengaruh keimanan Kristen yang begitu kuat pada Abad Pertengahan, telah membuat
para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dengan tokoh Gereja.
Descartes telah lama merasa tidak puas dengan perkembangan filsafat yang sangat
lamban dan memakan banyak korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang
mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin
filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen. Ia ingin filsafat dikembalikan
pada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.[14]
Zaman
Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke
XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang
eksklusif daya akal budi (rasio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata,
penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu
pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu
alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang
terpelajar makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang
hidup dan dunia.[15]
c) Metode dalam Rasionalisme
Agar filsafat dan ilmu
pengetahuan dapat diperbaharui, kita memerlukan metode yang baik, demikian
pendapat Descartes (tokoh utama rasionalisme). Hal ini mengingat bahwa
terjadinya kesimpangsiuran dan ketidak pastian dalam pemikiran filsafat
disebabkan oleh karena tidak adanya suatu metode yang mapan, sebagai pangkal
tolak yang sama bagi berdirinya suatu filsafat yang kokoh dan pasti. Ia sudah
menemukan metode yang dicarinya, yaitu dengan menyangsikan segala-galanya, atau
keragu-raguan.[16]
Kemudian, ia menjelaskan, untuk mendapatkan hasil yang sahih dari metode yang
hendak dicanangkannya, ia menjelaskan perlunya 4 hal, yaitu:[17]
1. Tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila
saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada
suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak
mungkin bagian, sehingga tidak ada keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
3. Bimbangkanlah pikiran dengan teratur, dangan mulai dari hal
yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampaipada yang
paling sulit dan kompleks.
4. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit,
selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta
pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita yakin tidak ada satu
pun yang diabaikan dalam penjelajahan itu.
C.
Pemikiran Tokoh – Tokoh Rasionalisme
a) Rene Descartes (1596-1650)
Kelahiran dan Pendidikan
Descartes di samping tokoh rasionalisme juga
dianggap sebagai bapak filsafat, terutama karena dia dalam filsafat-filsafat
sungguh-sungguh diusahakan adanya metode serta penyelidikan yang mendalam.Ia
ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu kedokteran.
Ia yang mendirikan aliran Rasionalisme
berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercayai adalah akal. Ia
tidak puas dengan filsafat scholastik karena dilihatnya sebagai saling
bertentangan dan tidak ada kepastian. Adapun sebabnya karena tidak ada metode
berpikir yang pasti. Descartes merasa benar-benar ketegangan dan ketidak
pastian merajalera ketika itu dalam kalangan filsafat. Scholastic tak dapat
memberi keterangan yang memuaskan kepada ilmu dan filsafat baru yang dimajukan
ketika itu kerapkali bertentangan satu sama lain. Rene Descartes adalah tokoh
filsafat abad modern, bahkan dialah pendiri dan pelopor utamanya.
Rene Descartes (Renatus cartesius) adalah
putra keempat Joachim Descartes, seorang anggota parlemen kota britari,
propinsi renatus di prancis. Kakeknya, piere Descartes, adalah seorang dokter.
Neneknya juga berlatar belakang kedokteran, dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596
di La Haye (sekarang disebut La Haye Descartes), propinsi Teuraine. Descartes
kecil yang mendapat nama baptis Rene, tumbuh sebagai anak yang menampakan
bakatnya dalam bidang filsafat, sehingga ayahnya pun memanggilnya dengan
julukan Si Filsuf Cilik. Pendidikan pertamanya diperoleh dari sekolah Yesuit di
La Fleche dari tahun 1604-1612. Disinilah ia memperoleh pengetahuan dasar
tentang karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Prancis, music dan acting, logika
aristoteles dan Etika Nichomacus, fisika, matematika, astronomi dan ajaran
metafisika dari filsafat Thomas Aquinas.[18]
Metode Kesangsian dan “Cogito Ergo Sum”
Untuk memperoleh titik kebenaran pengetahuan,
Descartes mulai dengan esebuah kesangsian atas segala sesuatu. Menurut
Dascartes, sekurang-kurangnya “aku yang menyangsikan” bukanlah hasil tipuan.
Semakin kita dapat menyangsikan segala sesuatu, entah kita sungguh ditipu atau
ternyata tidak, termasuk menyangsikan bahwa kita tidak dapat menyangsikan, kita
semakin mengada (exist). Justru kesangsianlah yang membuktikan kepada
diri kita bahwa kita ini nyata. Selama kita ini sangsi, kita akan merasa
semakin pasti bahwa kita nyata-nyata ada. Jadi, meski dalam tipuan yang lihai, kepastian
bahwa “aku yang menyangsikan” itu ada tidak bisa dibantah. Menyangsikan adalah
berpikir, maka kepastian akan eksistensiku dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian
mengatakan Je pense donce je suis atau cogito ergo sum (aku
berpikir, maka aku ada).[19]
b) Baruch
De Spinoza (1632-1677)
Kelahiran
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan
meninggal dunia pada tahun 1677 M. Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia
mengucilkan diri dari agama Yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de
Spinoza. Ia hidup di pinggiran kota Amsterdam.[20]
Spinoza mengikuti pemikiran Rene Descartes. Spinoza mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran tentang sesuatu,
sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu, bagaimana kebenaran itu
bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya dengan pendekatan yang juga
sebelumnya dilakukan oleh Rene Descartes, yakni pendekatan deduksi matematis,
yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi, kemudian barulah
membuat pembuktian berdasarkan definisi, aksioma, proposisi itu.
De Spinoza memiliki cara berfikir yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah tubuh, yang eksistensinya berbarengan.
De Spinoza memiliki cara berfikir yang sama dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah tubuh, yang eksistensinya berbarengan.
Tentang Pengetahuan
Menurut Spinoza,
ada tiga taraf pengetahuan, yaitu berturut-turut: taraf persepsi indrawi
atau imajinasi, taraf refleksi yang mengarah pada prinsip-prinsip dan
taraf intuisi. Hanya taraf kedua dan ketigalah yang dianggap pengetahuan
sejati. Dengan ini, Spinoza menunjukkan pendiriannya sebagai seorang
rasionalis. Pendiriannya dapat dijelaskan demikian, menurutnya sebuah idea
berhubungan dengan ideatum atau obyek dan kesesuaian antara idea dan ideatum
inilah yang disebut dengan kebenaran. Dia membedakan idea ke dalam dua macam,
yaitu idea yang memiliki kebenaran intrinsik dan idea yang memiliki kebenaran
ekstrinsik. Idea yang benar secara intrinsik menurutnya memiliki sifat
“memadai”, sedangkan idea yang benar secara ekstrinsik disebutnya “kurang
memadai”.[21]
Misalnya, anggapan bahwa matahari adalah bola raksasa yang panas sekali pada
pusat tata surya lebih “memadai” dari pada anggapan bahwa matahari adalah bola
merah kecil. Memadai atau tidaknya suatu idea, tergantung dari modifikasi badan
yang mengamatinya, dan modifikasi ini menyertai pula modifikasi mental. Jadi,
karena kita mengamatinya dari jauh, maka
matahari tampak kecil. Teori pengetahuannya pada akhirnya menyarankan bahwa
setiap idea adalah cermin proses-proses fisik dan sebaliknya setiap proses
fisik adalah perwujudan idea.
c) Leibniz
(1.646-1716 M)
Kelahiran
Leibniz lahir di Jerman, nama kengkapnya Gottfried Wilhem von
Leibniz. Sama halnya Spinoza, Leibniz termasuk pengagum sekaligus pengkritik
Descartes. Baginya, ia khawatir tentang kehidupan dan bagaimana menjalani
hidup. Tetapi berbeda dengan Spinoza yang kesepian, ia justru termasuk orang
yang kaya raya dan dipuja. Leibniz juga dikenal sebagai penemu kalkulus bersama
Newton. Ia adalah ilmuan, pengacara, sejarawan, akademisi, ahli logika, ahli
bahasa, dan teolog. Bagi Leibniz, filsafat adalahhobi yang berkesinambungan dan
ia terlibat dalam diskusi filosofis dan melakukan korespondensi sepanjang
hidupnya bersama para filsuf di zamnnya. Sayangnya, karyanya tidak bisa
dinikmati banyak orang, karena setelah ia meninggal, karyanya tidak
diterbitkan.[22]
Pemikiran
Pemikiran Leibniz yang terkenal adalah “monadologi”-nya, dia
berpendapat bahwa banyak sekali subtansi yang terdapat di dunia ini, yang
disebutnya “monad” (monos: satu, monad: satu unit).
Secaraa singkat, sistem Leibniz dijelaskan dalam lima tesisnya, yaitu:[23]
1. Alam semesta
itu sepenuhnya rasional
2. Setiap
bagian elementer alam semesta berdiri sendiri
3. Ada harmoni
yang dikehendaki Allah di antara segala hal di alam semesta ini
4. Dunia ini
secara kuantitatif dan kualitatif tidak terbatas
5. Alam dapat
dijelaskan secara mekanistis sepenuhnya.
Monad ini semacam cermin yang membayangkan
kesempurnaan yang satu itu dengan caranya sendiri. Tiap-tiap pencerminan yang
terbatas ini mengandung kemungkinan tidak terbatas karena dalam seluruhnya
dapat diperkaya dan dipergandakan oleh sesuatu dari sesuatu yang mendahuluinya.
Dalam rentetan ini ada tujuan yang terakhir, yaitu menuju yang tak terbatas
sesungguhnya. Tuhan itu transendent, artinya Tuhan di luar makhluk, Tuhan
merupakan dasar dari segala rentetan yag ada.[24]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rasionalisme
memiliki peran besar dalam perkembangan filsafat modern. Dimana pada Zaman
Pertengahan, rasio tidak dapat dimaksimalkan karena hegemoni Gereja, bahkan
banyak filosof yang mencoba mengeluarkan ide melalui rasionya dihukum mati.
Munculnya Descartes dengan rasionalisme-nya dan disertai dengan ketekunannya
mendalami ini, menjadi pendobrak kebekuan Gereja dan menjadi pelopor munculnya
pemikir lain yang beraliran rasionalisme.
Pengetahuan
menurut madzhab rasionalisme tidak secara serta merta menafikan peran indera,
tetapi mendudukkan indera di bawah akal. Karena banyak kebenaran hakiki yang
tidak dapat dicapai hanya dengan penginderaan. Tetapi di sini, indera menjadi
alat penerima informasi yang nantinya itu akan diproses lebih jauh oleh
rasio/akal untuk mencapai sebuah kebenaran.
Berpikir
rasional adalah cara berpikir dengan menyangsikan atau tidak mempercayai
kebenaran suatu realitas selama tidak ada dalil logika yang tak terbantahkan
dalam akal kita.
B. Rekomendasi
1. Dalam berpikir, hendaknya kita selalu memaksimalkan kerja
akal dalam aktifitas berpikir, karena akal adalah merupakan anugerah Tuhan.
2. Hendaknya kita tidak terlalu menganggap suatu realitas itu
benar, sebelum melalui proses pemikiran/tafakkur yang mendalam agar tidak
terjebak dalam kesesatan.
3. Dalam melakukan penelitian ilmiah, seyogyanya tidak
beranggapan pada satu aliran saja yang paling benar, karena ada kalanya
kebenaran bersumber dari aliran lainnya.
[1] Rizal Mustansyir dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 1, hal.
1-2.
[2]http://lingkarpenadamayana.wordpress.com/category/filsafat/, diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013, Pukul
13.15 WIB.
[3] Asmoro Akhmadi, Filsafat
Umum, (Jakarta: Raja grafindo Persada, 2007), hal. 115.
[4] Ibid
[5] Lihat di Bdk. A.M.W. Pranarka, Epistemologi
Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987, hal. 3-5 dalam Hardono Hadi, Epistemologi
Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: 2002, hal. 18.
[6] Ibid, hal. 18.
[7] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu;
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar: 2011, hal. 74.
[8] Tedy Machmud, Rasionalisme
dan Empirisme; Kontribusi dan Dampaknya pada Perkembangan Filsafat Matematika, dalam
jurnal INOVASI, Volume 8, nomor 1, Maret 2011, Fakultas MIPA Universitas
Negeri Gorontalo.
[9] Hardono Hadi, Epistemologi
Filsafat Pengetahuan………, hal. 20.
[10]Mohammad Adib, Filsafat Ilmu;
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan………..hal.
76-78.
[11] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum;
Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003,
hal. 23-27.
[12]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum;
Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra……………..hal.127
[13] Ibid, hal. 25.
[14] Ibid, hal. 128-129.
[15]http://mdsutriani.wordpress.com/2012/06/23/aliran-filsafat-rasionalisme/, diunduh pada
tanggal 20 Oktober 2013, Pukul 13.15 WIB.
[16] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran
Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. 2, hal. 95.
[17] Ibid, hal. 95-96.
[18] http://lingkarpenadamayana.wordpress.com/category/filsafat/.....op.cit.
[19] F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran
yang Membentuk Dunia Modern, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 33-34.
[20]http://mujib-ennal.blogspot.com/2012/10/aliran-rasionalisme-dan-empirisme.html,
diunduh pada
tanggal 20 Oktober 2013, Pukul 13.15 WIB.
[21]F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran
yang Membentuk Dunia Modern……………hal. 43.
[22] Ali Maksum, Pengantar
Filsafat; Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Arruzz
Media, 2008), Cet. 1, hal. 131-132.
[23] F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran
yang Membentuk Dunia Modern…..hal. 48-49.
[24] Poedjawijatna, Pembimbing ke
Arah Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. 10, hal. 103.
Posting Komentar