1

IMPLEMENTASI TQM (TOTAL QUALITY MANAJEMEN) DALAM PENDIDIKAN

Posted by Unknown on 17.58 in

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan modal yang sangat berharga bagi kemajuan suatu bangsa. Melalui pendidikanlah diberikan tumpuan yang sangat besar akan keberlangsungan kehidupan suatu bangsa di masa depan. Hal itu tidak dapat dipungkiri, karena kebodohan atau tingkat SDM yang rendah adalah awal dari kemiskinan. Nah, melalui pendidikanlah, kemiskinan akan bisa dikikis dan kemudian menjadikan bangsa kita ini diakui di mata bangsa internasional.
Peran pendidikan yang sangat besar membutuhkan upaya yang besar pula untuk bagaimana mengembangkannya. Pendidikan yang bisa mencetak SDM yang handal dan berakhlak, tentu adalah pendidikan yang bermutu tinggi. Banyak lembaga pendidikan yang hanya asal berdiri, tanpa memiliki orientasi dan target yang jelas, akhirnya yang terjadi adalah lulusan yang dihasilkan tidak dapat bersaing pada kompetisi masuk di jenjang yang lebih tinggi ataupun diterima dunia kerja. Dalam hal ini, menjadi tantangan yang serius bagi pemerintah, sekolah dan masyarakat untuk dapat menciptakan pendidikan yang bermutu. Semua itu terwujud dalam sebuah lembaga pendidikan yang berorientasi pada mutu produk anak didik yang siap bersaing di era global dan berkarakter (berakhkaqul karimah).
Saat ini, pendidikan persekolahan dihadapkan dalam berbagai tantangan, baik secara nasional maupun internasional.[1] Tantangan nasional muncul dari dunia ekonomi, sosial, budaya, politik, dan keamanan. Pembangunan ekonomi saai ini masih belum beranjak dari krisis ekonomi semenjak tahun 1997/1998. Bahkan, perkembangan ekonomi pada level bawah masih dalam kondisi yang stagnan, bahkan mundur. Kehidupan sosial kemasyarakatan bangsa ini juga demikian, dimana sering terjadi kerusuhan, konflik antar daerah, pencurian, perkelahian, tawuran, free seks pada berbagai kalangan semakin banyak terjadi dan gejala negatif kemasyarakatan lainnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perkembangan budaya global saat ini malah mengikis berbagai budaya asli bangsa, khususnya budaya daerah. Dari sisi keamanan, masyarakat merasa tidak aman untuk berjalan di malam hari, atau di tempat-tempat sepi, padahal Negara ini sudah merdeka. Maka disini, pendidikan semakin ditantang untuk dapat menghasilkan lulusan yang mampu memecahkan dan membawa Indonesia pada bangsa yang lebih beradab.[2]
Tantangan dunia internasional saat ini menunjukkan bahwa Indonesia akan menghadapi persaingan global, seiring dengan berlangsungnya globalisasi, khususnya dalam bidang perdagangan/ekonomi. Globalisasi mengantarkan pada perubahan lingkungan strategis bangsa di mata bangsa-bangsa lainnya di dunia ini. Selain globalisasi, perkembangan teknologi informasi juga menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia. Perubahan lingkungan strategs pada tataran global tersebut tercermin dalam pembentukan forum-forum internasional seperti GATT, WTO, dan APEC, NAFTA dan AFTA, IMG-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA dan SOSEKMALINDO yang merupakan usaha untuk menyongsong perdangangan bebas, dmana akan terjadi tingkat persaingan yang sangat ketat. Pertanyaannya sekarang, apakah bangsa Indonesia ini akan siap dalam mengahadapi hal tersebut.[3]
Solusi untuk penyelesaian masalah nasional dan tantangan persaingan global ini mengharuskan bangsa Indonesia dapat menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten di bidangnya dan memiliki akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah). Apalagi mayoritas bangsa Indonesia adalah muslim, yang di dalamnya terdapat ajaran keseimbangan yang baik antara hubungan manusia dengan Tuhan (habl min Allah), hubungan manusia dengan sesama (habl min al-nas) dan hubungan manusia dengan alam sekitar (habl ma’a al-alam). Untuk itu, jawaban untuk tantangan nasional maupun internasional ini adalah “pendidikan yang bermutu”untuk menciptakan manusia yang kompeten dan beradab.
Mutu pendidikan sebenarnya menjadi pusaran kegiatan pendidikan, sehingga langkah, strategi, maupun program apapun mesti diorientasikan pada pencapaian mutu pendidikan. Maka pemerintah Indonesia telah melakukan banyak strategi untuk mengejar mutu pendidikan, sehingga kita sulit menghitungnya, antara lain menetapkan desentralisasi pendidikan, merubah paradigma manajemen dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah, memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum, memperbaiki sistem pembelajaran, menaikkan anggaran pendidikan, meningkatkan kesejahteraan pendidik, membangun fasilitas pendidikan, menetapkan standar nasional pendidik, menggunakan sistem penjamin mutu, memperketat akreditasi dan masik banyak lagi.[4] Akan tetapi, segala usaha tersebut akan sia-sia manakala tidak diikuti dengan manajemen yang baik pada tingkat sekolah atau satuan pendidikan. Artinya, sekolah sebagai eksekutor, haruslah menangkap dan melaksanakan semua kebijakan itu dengan profesional dan bertanggung jawab.
Sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan merupakan lembaga yang berfungsi sebagai agen perubahan untuk memecahkan semua permasalahan ini. Oleh karena itulah, dalam rangka menghasilkan mutu pendidikan yang berkualitas, dunia pendidikan sangat perlu untuk mengimplementasikan konsep Manajemen Mutu Total (Total Quality Management) yang dalam sejarah telah sukses mengantarkan dunia bisnis atau dunia usaha dalam menciptakan mutu produksi terbaik yang bahkan dapat melebihi kepuasan standar para pelanggan (customer)-nya.

B.    Rumusan Masalah
       Permasalahan yang ingin penulis kupas dalam paper  ini adalah :
1.  Apa Pengertian Implementasi TQM?
2.  Bagaimana TQM Dalam Dunia Pendidikan?
3.  Bagaimana Prinsip Implementasi TQM dalam Lembaga Pendidikan?
4.  Bagaimana Pilar TQM dalam Lembaga Pendidikan?
5.  Bagaimana Langkah-Langkah Implementasi TQM dalam Lembaga Pendidikan?
6.  Bagaimana Kegagalan dalam Implementasi TQM?

C.     Tujuan Penulisan
1.  Untuk Mengetahui Pengertian Implementasi TQM
2.  Untuk Mengetahui TQM Dalam Dunia Pendidikan
3.  Untuk Mengetahui Prinsip Implementasi TQM dalam Lembaga Pendidikan
4.  Untuk mengetahui Pilar TQM dalam Lembaga Pendidikan
5.  Untuk Mengetahui Langkah-Langkah Implementasi TQM dalam Pendidikan
6.  Untuk Mengetahui Kegagalan dalam Implementasi TQM

PEMBAHASAN
A.   Pengertian Implementasi TQM
Total Quality Manajemen (TQM) atau yang biasa kita sebut dengan Manajemen Mutu Total (MMT) ini sekarang sedang marak dibicarakan dimana-mana. Sebelum membicarakan lebih lanjut bagaimana implementasi TQM dalam pendidikan, kita harus memahami dulu apa dan bagaimana pengertian “implementasi” kemudian kita sandingkan dengan pengertian Total Quality Manajemen (TQM) sehingga dapat ditarik pengertian yang utuh.
Dalam Kamus Ilmiah Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa pengertian “implementasi” adalah penerapan; penggunaan implemen dalam kerja; pelaksanaan; pengerjaan hingga menjadi terwujud; pengejawantahan; dan penerapan implemen.[5]
Kemudian untuk TQM (Total Quality Manajemen) sendiri, Soewarso Hardjosoedarmo memberikan pengertian yang cukup menyeluruh, bahwa TQM adalah penerapan metode kuantitatif dan pengetahuan kemanusiaan untuk: 1) memperbaiki material dan jasa yang menjadi masukan organisasi, 2) memperbaiki semua proses penting dalam organisasi, dan 3) memperbaiki upaya memenuhi kebutuhan para pemakai produk dan jasa pada masa kini dan waktu yang akan datang.[6] Dalam sumber yang lain, Veithzal Rivai menjelaskan, bahwa TQM adalah satu himpunan prinsip-prinsip, alat-alat dan prosedur-prosedur yang memberikan tuntunan dalam praktik penyelenggaraan organisasi. TQM melibatkan seluruh anggota organisasi dalam mengendalikan dan secara kontinu meningkatkan bagaimana kerja harus dilakukan dalam upaya mencapai harapan pengguna atau pelanggan (customer) mengenai mutu produk atau jasa yang dihasilkan organisasi.[7]
            Dari beberapa pengertian ini, bisa kita ambil pemahaman, bahwa Implementasi Total Quality Manajeman (TQM) adalah penerapan atau pengejawantahan konsep manajemen yang melibatkan seluruh komponen dalam organisasi untuk bersama-sama berkontribusi dalam kebijakan organisasi yang berorientasi pada perbaikan mutu produk untuk kepuasan pelanggan (customer).
Oleh karena itu, dalam uraian singkat ini akan dibahas bagaimana teknis dalam penerapan TQM ini khususnya di lembaga pendidikan. 

B.   TQM dalam Lembaga Pendidikan
            Konsep TQM awalnya berasal dan diimplementasikan dalam dunia usaha atau bisnis. Akan tetapi, seiring berkembangnya waktu, maka konsep ini mulai di berlakukan di berbagai macam organisasi, termasuk pada lembaga pendidikan. Hal itu dikarenakan konsep ini tidak hanya bisa bekerja secara spesifik pada perusahaan saja, tetapi sesuai juga pada bentuk organisasi lainnya, mungkin yang berbeda di sini adalah produk yang dihasilkan, tergantung apa jenis organisasinya.
a)   Pendapat Pakar Pendidikan tentang Implementasi TQM
            Dalam bukunya, Encho Mulyasa menjelaskan beberapa pandangan dari para pakar pendidikan yang berbeda tentang adopsi dan penerapan TQM di lembaga pendidikan.[8] Taylor dan Hill (1993), serta McCulloch (1993) berargumentasi bahwa TQM merupakan konsep yang sulit di evaluasi dalam dunia pendidikan tinggi. Sedangkan Holmes dan Gerard (1995) berpendapat bahwa TQM mungkin cocok untuk fungsi pendukung (support function), tetapi tidak untuk fungsi pembelajaran sebagai inti dari penyelenggaraan pendidikan. Kemudian, di sisi lain secara jelas dijelaskan oleh Herbert, Dellana dan Bass (1995) mengemukakan, empat bidang utama dalam pendidikan yang dapat mengadopsi prinsip-prinsip TQM, antara lain:
1.  Penerapan TQM untuk meningkatkan fungsi-fungsi administrasi dan operasi, atau secara luas untuk mengelola proses pendidikan secara keseluruhan.
2.  Mengintegrasikan TQM dalam kurikulum.
3.  Penggunaan TQM dalam metode pembelajaran di kelas.
4.  Penggunaan TQM untuk mengelola aktivitas riset dan pengembangan.
b)   Alasan Menerapkan TQM dalam Lembaga Pendidikan
Ada beberapa pertimbangan yang dijadikan landasan penerapan TQM di lembaga pendidikan. Para pendidik harus bertanggung jawab terhadap tugas mereka secara proaktif. Mereka harus mengembangkan proses pemecahan masalah yang masuk akal dan dapat mengidentifikasi serta menuju pada penyebab utamanya. Sekolah harus mampu menjadi organisasi percontohan dan dapat mengukur apa saja yang berfungsi dengan baik dan apa yang tidak, sehingga akan didapatkan suatu sistem yang baik dalam kelembagaan sekolah. Ada empat alasan utama dalam adopsi TQM di lembaga pendidikan, antara lain:[9]
Pertama, para pendidik harus bertanggung jawab terhadap tugas dan fungsi mereka, karena para pendidik merupakan faktor utama bagi peningkatan sekolah. Para pendidik harus mengendalikan proses penyelesaian masalah yang berdampak pada lingkungan belajar di sekolah.
Kedua, pendidikan membutuhkan proses pemecahan masalah yang peka dan fokus pada identifikasi dan penyelesaian penyebab utama yang menimbulkan masalah tersebut. Semua akar dalam masalah pendidikan bersifat sistemik, yaitu berasal dari akar masalah yang berada dari komunitas sekolah dan berimplikasi pada kegiatan belajar mengajar di sekolah itu sendiri.
Ketiga, organisasi sekolah harus menjadi model organisasi belajar semua organisasi.
Keempat, melalui integrasi TQM di lembaga pendidikan, masyarakat dapat menemukan mengapa sistem pendidikan yang ada saat ini tidak berjalan dengan baik.

C.   Prinsip Implementasi TQM dalam Pendidikan
Sekolah yang menerapkan manajemen mutu total (TQM), sekolah tersebut harus melaksanakan program mutu pendidikan dengan berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut:[10]
a.       Berfokus pada konsumen
Setiap orang di sekolah harus memahami, bahwa setiap produk pendidikan mempunyai pengguna (customer). Setiap anggota dari sekolah adalah pemasok (supplier) dan pengguna (customer). Pelanggan disini ada dua, yaitu pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Pelanggan internal meliputi orang tua siswa, siswa, guru, administrator, staff dan majlis sekolah. Pelanggan eksternal, seperti masayarakat, pemimpin perusahaan-industri, lembaga pemerintah, lembaga swasta, perguruan tinggi, dan lembaga keamanan.
b.       Keterlibatan menyeluruh
Semua orang dalam lembaga pendidikan harus terlibat dalam transformasi mutu, manajemen harus berkomitmen dan terfokus pada peningkatan mutu.
c.        Pengukuran
Dalam paradigma baru, para profesional pendidikan harus belajar mengukur mutu pendidikan dari kemampuan dan kinerja lulusan berdasarkan penggguna (customer). Melalui pengumpulan dan analisis data, para profesional pendidikan akan mengetahui nilai tambah dari pendidikan, kelemahan dan hambatan yang dihadapi, serta upaya penyempurnaannya.
d.       Pendidikan sebagai sistem
Pendidikan sebagai sistem memiliki sejumlah komponen, seperti siswa, guru, kurikulum, sarana-prasarana, media, sumber belajar, orang tua dan lingkungan. Di antara komponen-komponen tersebut, terjalin hubungan yang yang berkesinambungan dan keterpaduan dalam pelaksanaan sistem.
e.       Perbaikan yang berkelanjutan
Dalam filsafat mutu, menganut prinsip, bahwa setiap proses perlu diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna, perlu selalu diperbaiki dan disempurnakan.
Dalam prinsip-prinsip penerapan TQM di sekolah ini, seperti yang dikutip oleh Nana Saodih, bahwa Jerome S. Arcaro (1995) membuat model visual dari sekolah yang menerapkan Total Quality Management (TQM). Model visualnya adalah sebagai berikut:[11]













Isosceles Triangle: Sekolah Mutu Total



Berpusat pada Customer
 

Keterlibatan Total customer
 

Pengukuran
 

Komitmen pada Perubahan
 

Perbaikan  Berkelanjutan
 



Visi                                                                          Kepercayaan dan Nilai
Misi                                                                                         Tujuan Umum dan Khusus
                                                                                                Faktor-Faktor Keberhasilan Kritis

 
 









Sekolah yang menerapkan mutu total ditopang oleh lima dasar, yaitu: 1) berfokus pada pengguna, 2) Keterlibatan secara total semua anggota, 3) melakukan pengukuran, 4) Komitmen pada perubahan, serta
5) Penyempurnaan secara terus-menerus. Pilar-pilar tersebut dibangun atas keyakinan dan nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam pendidikan. Keyakinan dan nilai-nilai tersebut sejalan dengan visi dan misi sekolah, tujuan jangka panjang dan pendek, serta kriteria keberhasilan yang kritis. 

D.   Pilar TQM dalam Lembaga Pendidikan
Dalam mengimplemantasikan TQM di lembaga pendidikan, kita tidak boleh meninggalkan lima pilar yang sangat menentukan tegaknya organisasi kelembagaan dalam rangka menghasilkan produk yang berkualitas. Tokoh yang menemukan lima pilar dalam TQM (Total Quality Management) ini adalah Bill Grech, dia mengatakan bahwa:
“Produk adalah titik pusat untuk tujuan dan pencapaian organisasi, Mutu dalam produk tidak mungkin ada tanpa mutu di dalam proses. Mutu di dalam proses tidak mungkin ada tanpa organisasi yang tepat. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa pemimpin yang memadai. Komitmen yang kuat, dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi semua yang lain. Setiap pilar tergantung pada keempat pilar yang lain, dan kalau salah satu lemah dengan sendirinya yang lain juga lemah.”[12]

LIMA PILAR TQM


 









                                    Lima pilar utama TQM disini adalah adanya produk yang dihasilkan, proses yang dilakukan, dalam menghasilkan produk dan, organisasi yang digerakkan oleh seorang pemimpin, serta adanya komitmen di antara para pemimpin di dalam suatu organisasi. Istilah manager dan pemimpin janganlah dicampur adukkan, karena kepemimpinan merupakan salah satu bagian dari manajemen. Manajer melaksanakan fungsi-fungsi pengawasan, termasuk dalam fungsi itu adalah perlunya memimpin dan mengarahkan.[13] Jadi, antara pemimpin dan manajer adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Kemudian, berjalannya lima pilar ini sangat menentukan keberhasilan implementasi TQM di lembaga pendidikan dan yang menggerakkannya tiada lain adalah pimpinan tertinggi di sekolah. Untuk itu, fungsi dan peran pemimpin untuk menggerakkan sistem mutu ini sangat penting adanya. 

E.   Langkah-Langkah Implementasi TQM dalam Pendidikan
Dalam Total Quality Management (TQM) atau kalau kita terjemahkan adalah Manajemen Mutu Terpadu (MMT), sekolah dipahami sebagai unit layanan jasa, yaitu pelayanan pembelajaran.[14] Jasa merupakan segenap kegiatan ekonomi yang menghasilkan output (keluaran) berupa produk (hasil karya) non fisik, yang lazimnya dikonsumsi pada saat diproduksi dan memberi nilai tambah pada bentuk (form), seperti kepraktisan, kecocokan, kepantasan, kenyamanan dan kesehatan, yang pada intinya menarik cita rasa pada pembeli pertama. Jasa pendidikan di sini merupakan jasa yang bersifat kompleks karena bersifat padat karya dan padat modal. Artinya, dibutuhkan banyak tenaga kerja yang memiliki skill khusus dalam bidang pendidikan dan padat modal karena membutuhkan infrastruktur (peralatan) yang lengkap.
Sebagai unit layanan jasa, yang dilayani sekolah adalah: 1) pelanggan internal: guru, pustakawan, teknisi dan tenaga administrasi; 2) pelanggan eksternal: pelanggan primer (siswa), pelanggan sekunder (orang tua, pemerintah dan masyarakat) dan pelanggan tersier (pemakai/penerima lulusan di perguruan tinggi maupun dunia usaha).
Dalam dunia pendidikan atau lebih tepatnya dalam lembaga pendidikan, konsep Total Quality Management (TQM) ini dapat diimplementasikan dengan beberapa fase teoritik sebagaimana klasifikasi yang disampaikan  Goetsch dan Davis (1994), yaitu fase persiapan, fase perencanaan, dan fase pelaksanaan. Penjabarnnya sebagai berikut:[15]
1.       Fase Persiapan[16]
Fase ini terdiri dari 10 langkah, yang mana sebelum langkah pertama dimulai, syarat utama yang harus dipenuhi adalah adanya komitmen penuh dari manajemen puncak atas waktu dan sumber daya yang dibutuhkan. Langkah-langkahnya antara lain:
a.       Membentuk Total Quality Steering Committee (SC). Pimpinan puncak menunjuk staf terdekat (bawahan langsungnya) untuk menjadi anggota steering committee (SC), kemudian ia sendiri menjadi ketuanya.
b.       Membentuk Tim. Steering Committee perlu mengadakan suatu sesi pembentukan tim  sebelum memulai kegiatan TQM. Biasanya, langkah ini membutuhkan konsultan. Kalau dalam pendidikan, perlu didatangkan dari luar seorang konsultan pendidikan. Lebih baik sesi ini dilakukan di luar lembaga pendidikan. Agar bisa lebih fokus melakukan pembahasan tanpa mengganggu proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar).
c.        Pelatihan TQM. SC (Steering Commitee) membutuhkan pelatihan yang berkaitani dengan filosofi, teknik dan alat-alat TQM sebelum memulai aktifitas TQM. Dalam pelatihan ini, perlu mendatangkan pula seorang konsultan. Kemudian pada jangka panjangnya, juga diadakan pelatihan yang serupa sebagai follow up dari pelatihan yang pertama.
d.       Menyusun Pernyataan Visi dan Prinsip sebagai Pedoman. Usaha yang pertama dalam TQM adalah penyusunan visi organisasi dan pedoman operasi organisasi.
e.        Menyusun Tujuan Umum. SC menyusun tujuan umum dari organisasi (perusahaan atau sekolah) berdasarkan pernyataan visi yang telah ditetapkan.
f.         Komunikasi dan Publikasi. Pemimpin puncak dan SC perlu mengkomunikasikan setiap informasi mengenai visi dan misi, prinsip-prinsip sebagai pedoman, tujuan dan konsep TQM.
g.       Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan. SC harus secara obyektif mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan organisasi. Ini sangat penting untuk mencari pendekatan terbaik dalam pelaksanaan TQM dan bisa untuk menyoroti kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki. Kemudian melakukan perbaikan-perbaikan strategis ke depannya.
h.       Identifikasi Pendukung dan Penolak. Langkah ini di dorong ni bisa dilakukan bersamaan dengan langkah identikasi kelemahan dan kekuatan atau sesudahnya. Di sini, SC mengidentifikasi orang-orang kunci yang mungkin menjadi penolak dan pendukung TQM. Terutama untuk anggota penolak TQM, ini dimungkinkan terjadi, karena ada kemungkinan orang tersebut belum paham dan siap dengan konsep TQM yang telah dijalankan. Dalam hal ini perlu dicari akar permasalahannya dan diadakan langkah-langkah untuk meminimalisirnya.
i.          Memperkirakan Sikap Karyawan. Dengan bantuan personalia atau konsultan luar, SC perlu berusaha memperkirakan sikap karyawan pada saat ini. Pimpinan perlu memberikan judgment yang obyektif. Jika itu sudah dilakukan, akan dapat diketahui apakah TQM berjalan atau tidak.
j.          Mengukur Kepuasan Pelanggan. SC perlu berusaha mendapatkan umpan balik obyektif dari para pelanggan guna menentukan tingkat kepuasan mereka. Survai kepada pelanggan sebaiknya dilakukan secara acak.
2.     Fase Perencanaan[17]
Dalam fase ini ada empat (4) langkah yang harus dijalani secara sistematis. Karena semuanya membentuk sistem yang saling mempengaruhi. Adapun langkah-langkahnya adalah:
a.   Merencanakan pendekatan implementasi, kemudian menggunakan siklus Plan – Do – Check – Adjust. Pada langkah ini, SC merencanakan implementasi TQM. Langkah ini bersifat terus-menerus, karena pasa saat aktivitas pembelajaran berlangsung, informasi –informasi umpan balik akan dikembalikan pada langkah ini untuk melakukan perbaikan, peyesuaian, dan sebagainya.
b.   Identifikasi Poyek. SC bertanggung jawab untuk memilih proyek atau program kegiatan awal TQM, yang didasarkan pada kekuatan dan kelemahan perusahaan, personil yang terlibat, visi dan tujuan, dan kemungkinan keberhasilannya.
c.    Komposisi Tim. Steering Committee membentuk komposisi tim-tim yang akan melaksanakan program TQM tersebut.
d.   Pelatihan Tim. Sebelum tim yang baru terbentuk untuk melaksanakan tugasnya, mareka harus dilatih terlebih dahulu. Pelatihan yang diberikan harus mencakup dasar-dasar TQM dan instrumen yang sesuai untuk melaksanakan program kegiatan yang akan mereka laksanakan.
3.       Fase Pelaksanaan[18]
a.       Penggiatan Tim. Steering Committee memberikan bimbingan kepada setiap tim dan mengaktifkan mereka. Masing-masing tim menggunakan teknik TQM yang telah mereka pelajari. Mereka menggunakan siklus Plan-DO-Check-Action sebagai model proses TQM.
b.       Umpan Balik Kepada Steering Committee. Masing-masing tim memberikan informasi umpan balik dari pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal. Survai formal pelanggan perlu dilakukan setiap tahun. Data yang diperoleh mengenai kepuasan pelanggan dikumpulkan dan diproses secara berkesinambungan.
c.        Umpan balik dari Karyawan. Setiap tim yang berada dibawah kontrol SC secara periodik memantau sikap dan kepuasan karyawan yang ada dibawahnya. Kemudian mengadakan komunikasi ntensif dengan steering committee.
d.       Memodifikasi Infrastruktur. Umpan balik yang diperoleh dari langkah-langkah di atas (dari tim proyek, pelanggan dan karyawan) akan dijadikan dasar oleh steering committee untuk melakukan perubahan yang diperlukan dalam infrastruktur lembaga pendiidkan.
Kemudian pada tataran praktis, implementasi dari konsep teoritis di atas dapat dikembangkan dalam konteks lembaga pendidikan. Kadang-kadang, terjadi kesulitan ketika menerapkan konsep TQM yang memang dari awalnya berasal dari dunia bisnis perusahaan. Oleh karena itu, Edward Sallis memberikan langkah-langkah yang sangat bermanfaat bagi pengelola pendidikan untuk dapat mengimplemantasikan konsep tersebut dalam sebuah lembaga pendidikan. Adapun langkah-langkahnya antara lain sebagai berikut:[19]
1)      Kepemimpinan dan komitmen mutu harus datang dari atas. Seluruh tokoh mutu menekankan bahwa tanpa dukungan dari manajemen senior, maka sebuah inisiatif mutu tidak akan bertahan hidup. Kepala sekolah harus menunjukkan komitmen yang kuat dan selalu memotivasi supervisor lainnya agar selalu berupaya keras dan serius dalam meningkatkan mutu ini.
2)      Menggembirakan pelanggan adalah tujuan TQM. Hal ini dapat dicapai dengan usaha yang terus-menerus untuk mencapai tujuan pelanggan, baik eksternal maupun internal. Kemudian pandangan dari oaring yang tidak bergabung di institusi juga dikumpulkan. Informasi dari konsultasi ini harus disusun dan di analisis kemudian digunakan ketika membuat keputusan.
3)     Menunjuk fasilitator mutu. Fasilitator mutu harus menyampaikan perkembangan mutu langsung kepada kepala sekolah. Tanggung jawab fasilitator adalah mempublikasikan program dan memimpin kelompok pengendali mutu dalam mengembangkan program mutu.
4)     Membentuk kelompok pengendali mutu. Kelompok ini harus merepresentasikan perhatian-perhatian kunci dan harus merupakan representasi dari tim manajemen senior. Perannya adalah untuk mengarahkan dan mendorong proses peningkatan mutu. Ia adalah pengembang ide sekaligus inisiator proyek.
5)     Menunjuk koordinator mutu. Dalam setiap inisiatif dibutuhkan orang-orang yang memiliki waktu untuk melatih dan menasehati orang-orang lain. Koordinator tidak mengerjakan seluruh proyek mutu. Perannya adalah untuk membantu dan membimbing tim dalam menemukan cara baru dalam menangani dan memecahkan masalah.
6)     Mengadakan seminar manajemen senior untuk mengevaluasi program. Pelatihan khusus dalam pendekatan strategis terhadap mutu mungkin dibutuhkan. Hal itu dikarenakan mereka perlu memberi contoh pada tim dalam memajukan institusi.
7)     Menganalisa dan mendiagnosa situasi yang ada. Proses ini tidak bisa diremehkan, karena ia sangat menentukan seluruh proses mutu. Seluruh institusi perlu menjelaskan dimana posisinya dan mana arah yang mereka tuju.
8)     Menggunkaan contoh-contoh yang sudah berkembang di tempat lain. Ini bisa berupa adaptasi dari salah satu “guru” mutu atau seorang tokoh pendidikan khusus atau yang mengadaptasi pola TQM yang diterapkan di tempat lain untuk kemudian diambil sisi positifnya dan bisa diterapkan di sekolah yang dipimpin.
9)     Mempekerjakan konsultan eksternal. Langkah ini sangat baik dilakukan, teruama jika ingin mencapai tingkat standar mutu internasional, semacam ISO. Akan tetapi biayanya cenderung mahal, hanya sekolah yang dengan sumber dana memadai yang bisa melakukan itu.
10)          Memprakarsai pelatihan mutu bagi para staf. Pelatihan adalah tahap implementasi awal yang sangat penting. Oleh karena itu setiap orang perlu dilatih dasar-dasar TQM. Staf membutuhkan pengetahuan tentang beberapa alat kunci yang mencakup tim kerja, metode evaluasi, pemecahan masalah, dan teknik pembuatan keputusan.
11)          Mengkomunikasikan pesan mutu. Strategi, relevansi dan keuntungan TQM harus dikomunikasikan secara efektif. Program jangka panjang harus dirancang seara jelas. Staf harus mendapatkan informasi atau laporan secara regular melalui surat kabar atau jurnal.
12)          Mengukur biaya mutu. Mengetahui biaya dalam implementasi program mutu merupakan hal yang penting. Demikian juga dengan biaya pengabaian mutu. Biaya tersebut bisa muncul dari berkurangnya jumlah pendaftar, kegagalan murid, kerusakan reputasi dan sebagainya. Pengujian terhadap biaya pengabaian mutu itu juga perlu dilakukan, agar disatu sisi tetap berpegang pada program mutu, di sisi lain juga ada kontrol terhadap biaya yang dikeluarkan.
13)          Mengevaluasi program dalam interval yang teratur. Evaluasi teratur harus menjadi bagian yang integral dalam program mutu. Evaluasi itu harus dilakukan eman bulan sekali secara teratur dan hasil dari evaluasi itu benar-bernar dijadikan bahan pertimbangan berjalannya program selanjutnya.

F.    Kegagalan Dalam Implementasi TQM[20]
Banyak lembaga pendidikan yang mampu menerapkan TQM, tetapi tidak sedikit pula yang gagal menerapkannya. Faktor-faktor yang menjadi penghalang bagi perusahaan atau sekolah dalam menerapkan TQM. Hal-hal yang perlu dihindari karena dapat menggagalkan proses TQM adalah sebagai berikut:
a)      Kesenjangan komitmen manajemen puncak
Manajemen puncak (kepala sekolah dan para wakilnya) tidak menghayati sepenuhnya arti TQM, sehingga tidak mampu pula membangun struktur organisasi yang diperlukan untuk pelaksanaan TQM dan tidak mampunya membentuk sistem hadiah (reward system) yang mendorong dilaksanakannya TQM.
b)      Salah memfokuskan perhatian
Salah memfokuskan pada salah satu butir-butir atau sistematika TQM saja, sehingga mengabaikan butir-butir yang lain. Seharusnya semua langkah-langkah dalam TQM dilakukan secara urut dan lengkap. Karena semua bagaikan sistem yang saling mempengaruhi.
c)       Tidak tersedianya karyawan yang memadai dan mendukung
Keberhasilan TQM didasari oleh karyawan yang siap dan mempunyai komitmen akan tanggung jawab menjalani tugasnya pada manajemen mutu terpadu. Komitmen tidak timbul hanya melalui maklumat atau pengumuman resmi, tetapi memerlukan informasi kepada karyawan tentang tujuan TQM dan pentingnya TQM bagi perusahaan mereka.
d)      Hanya mengandalkan pelatihan semata-mata
Setelah latihan dilaksanakan, selanjutnya adalah bagaimana hasil pelatihan itu dilaksanakan (by action). Berarti ini memerlukan hal-hal lain, seperti perbaikan mutu, menciptakan operasi yang lebih baik, jelas dan mengerti para karyawan.
e)      Harapan memperoleh sesaat, bukan hasil jangka panjang
Pelaksanaan TQM memerlukan perubahan organisasi secara mnyeluruh dan budaya kerja. Perubahan tidak dapat segera terjadi dalam waktu singkat dan cepat, bahkan hasilnya mungkin baru dapat dirasakan satu sampai dengan dua tahun. Ketekukan dan kesabaran tim TQM di sini sangat diperlukan.
f)        Memaksa mengadopsi suatu metode padahal tidak cocok
Tidak semua teknik dalam TQM cocok di berbagai lembaga. Hal ini perlu penyesuaian, bila tidak, hanyalah kegagalan yang diperoleh. Pimpinan sekolah perlu secara luwes dalam menerapkan sistem TQM, lalu mereka mempunyai kemauan untuk menelusuri kembali berbagai kekurangan secara tepat. Sehingga, dapat  menentukan apakah sesuatu yang telah diadopsi itu cocok atau perlu penyesuaian dengan kondisi serta situasi sekolah atau perusahaan mereka. 

SIMPULAN
Total Quality Management (TQM) atau yang biasa di sebut di Indonesia sebagai Manajemen Mutu Total (MMT) ini sangat perlu diadopsi, diterapkan dan dikembangkan di dunia pendidikan, lembaga pendidikan, khususnya lagi sekolah. Hal itu adalah sebuah keniscayaan, karena seiring kemajuan IPTEK dan Sumber Daya Manusia (SDM), maka karyawan akan semakin siap untuk diterapkannya konsep manajemen ini. Akan tetapi, TQM ini bisa maksimal pada sekolah-sekolah yang memang sudah besar, dengan fasilitas yang lengkap dan memadai. TQM bisa dilakukan juga di sekolah yang masih berkembang di daerah-daerah pedesaan, dengan catatan perlu adanya usaha ekstra keras dari kepala sekolah yang bersangkutan untuk menyatukan visi, mengadakan pemahaman tantang konsep mutu dan memaksimalkan pendanaan untuk menggaji para karyawannya dengan cukup. Karena di daerah-daerah pedesaan, orientasi masyarakatnya kebanyakan adalah memenuhi kebutuhan hidup mereka masing-masing. Jika ini terkendala, maka proses TQM akan terkendala.
Konsep TQM ini tidak akan mencapai tujuannya apabila prinsip-prinsip dalam TQM sendiri tidak dipegang dengan teguh. Karena TQM ini sangat berhubungan dengan integritas dan loyalitas karyawan, maka dalam jiwa pemimpinnya sampai karyawan tingkat paling bawah, haruslah tertanam akan pentingnya “mutu” dalam kualitas tugas mereka masing-masing. Jika ini sampai melenceng atau goyah, maka proses TQM akan berjalan terseok dan tujuan TQM tidak akan pernah tercapai.
Pilar-pilar TQM yang antara lain adanya produk yang dihasilkan, proses yang dilakukan dalam menghasilkan produk dan organisasi yang digerakkan oleh seorang pemimpin, serta adanya komitmen di antara para pemimpin di dalam suatu organisasi. Nah, semua komponen ini membentuk satu sistem TQM yang saling mempengaruhi dan digerakkan oleh salah satu pilarnya, yaitu pemimpin. Artinya, pemimpin disini harus benar-benar piawai memainkan peranannya dalam menjalankan sistem ini untuk mencapai tujuan program TQM yang telah dicanangkan.
Implemantasi TQM pada dunia pendidikan dan dunia bisnis memiliki perbedaan yang esensial. Hal itu bisa dilihat dari produk dan tujuannya. Produk pada sekolah adalah lulusan yang siap dengan ilmu pengetahuan plus prakteknya dan adanya sikap atau attitude yang baik pada lulusannya. Indikator keberhasilannya adalah lulusan dapat diterima di perguruan tinggi yang berkualitas, dapat diterima di dunia kerja dan bisa menjalani segala peran hidupnya dengan sikap/karakter/akhlaq yang baik dimana pun dia berada. Sedangkan, jika perusahaan bisnis adalah ada pada produk barang atau jasa yang berkualitas dan indikatornya adalah adanya keuntungan yang sebesar-besarnya pada perusahaan. Akan tetapi, dalam langkah implementasinya, keduanya memilki tahapan yang sama, tentunya dengan analogi-analogi yang tepat.
Kegagalan dalam implentasi TQM bisa disimpulkan secara menyeluruh adalah dikarenakan adanya inkonsistensi dari beberapa atau semua komponen mutu yang ada di sekolah. Oleh karena itu, tidak boleh ada satupun komponen mutu atau tim TQM yang asal kerja dan bahkan sembrono dalam melaksanakan tugasnya hingga melakukan kesalahan. Kalaupun itu terjadi, sang pemimpin di sekolah harus segera mengadakan perbaikan dengan secepatnya, agar proses mutu itu terus berlangsung dan berkembang sedikit demi sedikit tanpa terhendi dengan adanya inkonsistensi tersebut.
  

[1] Lihat  Deni Koswara dan Cepi Triatna, Manajemen Peningkatan Mutu Pndidikan, sebagai penulis dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Imdonesia, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabetha, 2008), hal. 288-289.
[2] Ibid, hal. 288.
[3] Ibid, hal. 299.
[4] Mujamil Qomar, Kesadaran Pendidikan; Sebuah Penentu Keberhasilan Pendidikan, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2012), Cet.1, hal. 48.
[5] Tim Gama Jakarta, Kamus Saku Ilmiah Populer, (Jakarta: Gama Press, 2010), Cet.1, hal. 278.
[6] Soewarso Hardjosoedarmo, Total Quality Manajemen, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004), hal. 1.
[7] Veithrizal Rivai, Education Management; Analisis Teori dan Praktik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2009), hal. 479.
[8] E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Cet. 9, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 225.
[9] Ibid, hal. 483-484.
[10] Nana Saodih Sukmadinata, Ayi Novi Jami’at dan Ahman, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah; Konsep, Prinsip dan Instrumen, (Bandung: Refika Aditama, 2006), Cet. 1, hal. 12-13.
[11] Ibid, hal 13-14.

[12] Bill Greech, Lima Pilar Manajemen Mutu Terpadu (TQM), terj. Alexander Sindoro, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1996), hal. 6-7.
[13] M.N. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hal. 150.
[14] Sri Minarti, Manajemen Sekolah; Mengelola Lembaga Pendidikan Secara Mandiri, (Yogyakarta: Arruz Media, 2011), hal. 341.
[15] Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), hal. 67.
[16] Ibid, hal. 343-346.
[17] Ibid, hal. 347.
[18] Ibid, 348-349.
[19] Edward Sallis, Total Quality Management ni Education; Manajemen Mutu Pendidikan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), Cet. 16, hal. 245-253.
[20] Suyadi Prawirosentono, Filosofi Baru tentang Manajemen Mutu Terpadu Abad 21, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 96-97.

1 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 TANPA BATAS All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.